Mohon tunggu...
Mata Garuda
Mata Garuda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Kapan Punya Waktu?

30 Agustus 2017   20:25 Diperbarui: 30 Agustus 2017   20:47 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain kebijakan Full Day School yang mulai diterapkan di beberapa sekolah di Indonesia, di tahun ajaran baru 2017/2018 ini peraturan Guru Wajib di Sekolah selama 40 Jam per Minggu sepertinya luput dari perhatian. Dikutip dari laman kemendikbud.go.id per tanggal 14 Juni 2017, dijelaskan bahwa guru memiliki kewajiban untuk bekerja selama 40 jam per minggu. Jatah 40 jam tersebut dapat dipergunakan untuk kewajiban tatap muka 24 jam perminggu, merencanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, hingga melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok.  Seandainya Online dan Offline Conference oleh British Council yang bertajuk IATEFL di bulan April 2017 diikuti oleh para pemangku kebijakan, maka kebijakan 40 Jam per minggu akan dipertimbangkan kembali.

Konferensi bertempat di University of Glasgow, sebuah kampus di utara Inggris. Peserta terdiri atas ratusan orang yang menghadiri konferens secara online maupun offline. Beruntung saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk menghadiri online conferencenya bersama teman -- teman sejawat.

Konferensi diisi materi yang dibawakan oleh pembicara kelas dunia. Sebut saja, Gabriel Diaz Maggioli dari Uruguay, Sarah Mercer dari Austria dan tiga pembicara lainnya.  Mereka semua ahli di bidangnya masing -- masing. Salah satu pemateri yang ingin saya ketengahkan yaitu Gabriel dengan materinya Professional Development (PD) atau pengembangan profesionalitas.

Gabby, panggilan akrabnya, mengutarakan bahwa seorang pengajar memerlukan pengembangan dirinya sendiri agar mampu mengajar dengan optimal. Bisa kita analogikan disini ibaratnya guru adalah sebuah teko dan murid adalah sekumpulan gelas. Teko -- sangat senang membagikan air yang ia tampung sehingga gelas -- gelas terisi penuh. Namun perlu disadari jika teko terus menerus mengisi gelas -- gelas tanpa berusaha memperbarui air yang ia punya maka teko akan kosong hingga tak ada lagi air yang bisa ia tuangkan.  Dengan kata lain, teko yang tidak pernah diisi ulang hanya memberikan kehampaan.

Analogi di atas cukup menggambarkan pentingnya materi yang disampaikan oleh Gabby. Kali ini benar -- benar mampu menyadarkan para guru bagaimana pentingnya PD. Guru yang terus menerus disibukkan rutinitas tanpa adanya pembaruan ilmu lama-kelamaan materi yang diajar akan tersasa hambar ibarat satu lagu yang diputar berulang -- ulang. Lama-kelamaan guru akan merasa bosan terhadap materi yang ia ajar sendiri. Kemudian akan berdampak pada kualitas penyampaian materi.

Di sisi lain, guru juga perlu kembali belajar bagaimana caranya mengajar karena dunia pendidikan sangatlah dinamis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat transformasi pendidikan dari yang konvensional menuju pembelajaran berbasis net. Banyak guru yang paham akan manfaat blended learning (penggabungan antara teknologi dan tatap muka). Tapi sedikit yang bisa mengaplikasikannya.

Menurut pengamatan pribadi, sebagian besar guru memiliki waktu yang minim untuk kegiatan PD. Sebagai contoh, seorang guru yang telah menerima sertifikasi memiliki beban mengajar yang besar di sekolah. Guru tersebut diwajibkan mengajar setidaknya 24 jam mata pelajaran dalam waktu seminggu. Ini artinya, guru tersebut setidaknya mengajar sebanyak dua hingga tiga kelas dalam sehari  dalam rentang Senin hingga Sabtu.

Di sini tugas guru akan terasa ringan jika ia hanya mengajar satu variasi kelas seperti kelas X SMA saja.  24 jam dihabiskan untuk 6 kelas dengan mata pelajaran yang sama dalam sepekan. Jika ini yang terjadi, pastilah si guru memiliki kesempatan melakukan Profesional Development (PD). Kenyataanya, banyak sekolah yang memiliki rombongan belajar dengan jumlah murid tidak sebanyak sekolah besar. Misalnya hanya ada tiga kelas X, dua kelas XI dan satu kelas XII SMA. Apa yang terjadi? Si  Guru harus menyiapkan perangkat pembelajaran yang saling berbeda satu sama lain bagi ketiga rombongan belajar.

Di awal semester, guru wajib menyelesaikan Silabus, Perangkat Pembelajaran, Media Ajar, Evaluasi hingga Remedial. Menurut pengalaman, kegiatan seperti ini bisa menyita waktu libur sekolah. Bahkan beberapa guru harus menyelesaikannya di rumah dengan jam lembur tidak terbatas. Parahnya lagi, ada juga guru yang tidak mampu menyelesaikannya di awal semester, yang berakibat pada tumbukan deadline antara mengajar dan pengumpulan perangkat pembelajaran.

Patah satu hilang berganti, setelah problematika perangkat, muncullah kelas ekstrakurikuler. Beberapa guru diwajibkan oleh pihak sekolah untuk mengisi bidang ekstrakurikuler tertentu. Dengan dalih skill plus yang dimiliki guru, akhirnya seorang guru ditunjuk untuk mengajar bidang ekstrakurikuler. Di antara sibuknya pelaksaan proses pembelajaran selama lima atau enam hari, guru juga mesti hadir ke sekolah memotong jatah liburnya guna mengajarkan bidang tertentu seperti, seni tari, musik, jurnalistik, beladiri, olahraga dan lainnya.  Jangankan untuk PD, untuk menikmati hari libur pun guru tidak punya waktu.

Selanjutnya saat guru harus berhadapan dengan program akreditasi sekolah. Seiring kemajuan standar mutu sekolah, akreditasi sekolah kian gencar diadakan. Manajemen sekolah sering kekurangan  sumber daya manusia untuk mengurus akreditasi sekolah.  Beberapa guru harus membagi waktu antara  tugas harian dan tugas tambahan. Terkadang rapat -- rapat dilaksanakan guna koordinasi proses akreditasi. Guru juga bisa pulang lebih larut dari biasanya saat waktu visitasi akreditasi semakin dekat.

Di tengah hiruk pikuknya kegiatan pembelajaran, ekstrakurikuler, dan akreditasi, tak terasa guru dihadapi deadline ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Guru kembali diporsir untuk menciptakan sejumlah soal beserta kunci jawaban dan indikatornya. Guru harus mengumpulkan dalam rentang deadline yang mepet. Kembali guru kehabisan waktu di sekolah dan mempergunakan waktu istirahat di rumah untuk mengerjakan soal.

Seusai ujian pun, selain mengoreksi dan kembali mengajar, guru dituntut untuk dapat memberikan kesempatan remedial bagi murid -- murid yang  belum mencapai nilai minimal. Otak guru kembali bekerja keras guna menentukan bentuk dari remedial yang bisa memberikan ruang belajar bagi siswa tadi. Tugas atau pun soal tambahan biasanya jadi pilihan guru, tetapi guru wajib mengevaluasi tugas remedial tadi.

Ketahanan fisik guru kembali diuji ketika ada siswa berbakat dan hendak mengikuti kompetisi. Misalnya, lomba menyayi solo.  Guru harus memastikan kalau murid tersebut mendapatkan porsi latihan yang cukup tanpa meninggalkan kewajiban 24 jam mengajar per minggu. Menggunakan waktu jam belajar pastinya akan merugikan guru dan si siswa. Alternatif waktunya biasanya sore hari selepas jam pelajaran. Latihan intens dilakukan biasanya menjelang hari lomba. Kemudian, saat pelaksanaan lomba, guru wajib mendampingi siswa asuhnya.  Hal ini bisa memotong jatah pengajaran di kelas yang harus digantikan di hari lain atau menyita waktu libur jika lomba di akhir pekan.

Di tengah semester atau akhir semester, biasanya sekolah mengadakan kegiatan study tour dan perayaan kelulusan. Kembali guru turut andil dalam kegiatan tersebut. Proses persiapan dari menghubungi travel agent hingga gedung dan catering merupakan contoh dari kerepotan guru yang juga menghabiskan waktu dan tenaga. Saat guru sudah tak punya waktu untuk mengurus kewajiban 24 jam perminggu masih kah kita berfikir guru dapat mengembangkan dirinya?

Gambaran di atas merupakan contoh dari guru berdedikasi, bertalenta, bersertifikasi  dan mau berbagi. Memang tidak semua guru mau bersusah payah seperti ilustrasi di atas. Namun, banyak sekali guru yang pada akhirnya hanya menjalankan tugas dan tugas tanpa henti hingga tersadar ia butuh menimba ilmu lagi. PD yang ada seperti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) saja masih didapati ketidakhadiran guru akibat terlalu sibuk. Lantas kapan lagikah kesempatan untuk memperkaya ilmu bagi guru? Butuh pemikiran serius guna menyiasati waktu supaya guru tidak hanya menjadi teko tanpa isi yang hanya berbagi hampa pada gelas -- gelas kosong.

-------------------

Penulis bernama lengkap Muhammad Rudy, merupakan seorang mantan guru salah satu sekolah menengah swasta yang kini menjadi instruktur bahasa sebuah kampus swasta  di Bandar Lampung. Tersadar akan pentingnya belajar cara mengajar sehingga memutuskan untuk mengambil cuti melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penulis dapat dihubungi melalui muhammadrudy6@gmail.com atau whatsapp: 085 279 075 257.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun