Takdir adalah rangkaian peristiwa yang sudah ditentukan sebelumnya, dan kita hanya ada untuk menaatinya. Ketiadaan kemampuan untuk melawan takdir adalah bukti bahwa kita hanyalah "wayang" yang bergerak dengan benang ilusionis.
Takdir memang tak layak dipikirkan terlalu dalam, karena takdir sejatinya hanyalah ilusi yang memabukkan. Layaknya fatamorgana di tengah padang pasir, takdir adalah oase bagi para musafir yang kehausan.
Lagi-lagi, pertanyaan yang harus diingat adalah, Apa yang membuktikan bahwa takdir bisa diubah?
Coba bayangkan dan pahami analogi berikut ini.
Ketika kita ingin mengadakan suatu kegiatan di kampus, tentunya kita harus membuat proposal kegiatan dan menyerahkannya kepada pihak yang akan bertanggung jawab. Apabila proposal kita diterima oleh mereka, maka kita bisa melaksanakan kegiatan tersebut dengan aman dan lancar. Namun, apabila proposal kita ditolak, maka kita tidak bisa melaksanakan acara tersebut sama sekali.
Analogi tersebut sangat sesuai untuk menjelaskan bagaimana konsep tentang takdir dipahami. Kita bisa bertindak apapun, sebenarnya adalah atas Kehendak Tuhan. Bukan atas kehendak kita pribadi.
Kita bisa melakukan ini dan itu, bergerak dan berbicara, menulis dan membaca, ataupun mengambil keputusan, pada dasarnya bukan atas kehendak kita sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan.
Perasaan kita untuk melakukan ini dan itu, hanyalah sebatas "ilusi" yang Tuhan berikan agar kita tetap merasa hidup. "Ilusi" tersebut yang menjadikan kita bisa tetap berusaha dan bekerja keras mencapai apa yang kita inginkan.
Jadi, perasaan bahwa kita bisa melakukan ini dan itu hanyalah sebuah ilusi agar kita bisa tetap merasa hidup. Itulah yang disebut Ilusi takdir.
Apa yang bisa membuktikan bahwa takdir bisa diubah?
Tidak ada yang bisa membuktikannya. Nikmatilah takdirmu, Cintailah Takdirmu, Walaupun itu Menyakitkan.