Seringkali cemohan itu datang dari mulut mereka "Manusia Modern", Mencemohkan tradisi nenek moyang yang banyak mengandung sarat makna dalam menjaga keberlanjutan antara Manusia dan Alam-Nya. Cemohan itu berupa pandangan yang tidak rasional bagi mereka "Manusia Modern", sebab seringkali norma-norma dan nilai-nilai itu sebagai pranata sosial dikalangan "Manusia Tradisional" dominan disamarkan dalam kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut (Mansoben, 2003)1.
Dalam pandangan kosmis masyarakat tradisional etnik Papua menurut Mansoben (2003) tergolong dalam kelompok yang mengintegrasikan person atau pribadinya dan Alam sebagai entitas. Misalnya perwujudan masyarakat Amungme yang mengintegralkan personifikasi tubuhnya dengan Alam, dan orang Asmat yang menganggap pohon sebagai penjelmaan jati diri mereka serta beberapa kelompok etnik tertentu yang mempercayai bahwa mereka adalah keturunan dari burung atau berasal dari jenis hewan tertentu lainnya.
Pandangan ini membentuk sebuah keyakinan dalam pembentukan norma-norma dan nilai-nilai tertentu sebagai fungsi pengendali sosial bagi masyarakat tradisional yang mendukungnya, sehingga membentuk sebuah diskursus sosio ekologis manusia dan Alam-Nya. Norma-norma dan nilai-nilai kelokalan tersebut menjadi sebuah pranata sosial dalam tatanan hidup mereka sekaligus menjadi supremasi hukum sosio cultural yang kuat dan diyakini oleh masyarakat tradisional.
Keyakinan pranata sosio cultural tersebut dikemas sebagai supremasi hukum Adat yang kuat dalam bentuk lisan dan diturunkan secara turun temurun atau dari generasi ke generasi, kendati tidak memiliki aturan secara tertulis. Namun, nampak jelas dalam prakteknya disertai dengan pemberlakuan sanksi-sanksi layaknya hukum konvensional. Norma-norma dan nilai-nilai ini memberikan penetapan terhadap apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam pemanfaatan dan pengelolaan dari isi Alam, seperti yang dikaji oleh Mansoben (2003) bahwa penetapan masyarakat tradisional Papua dalam pemanfaatan dan pengelolaan isi Alam berupa larangan-larangan untuk membunuh jenis hewan-hewan tertentu , menebang sembarangan pohon-pohon di kawasan hutan tertentu, merusak atau mencemarkan lingkungan Alam tertentu atau melakukan perbuatan a-sosial ditempat-tempat tertentu.
Perwujudan tersebut menurut keyakinan masyarakat tradisional merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam yang diintegralkan dengan tubuh manusia. Jika tindakan-tidakan larangan diatas dilanggar, maka akan memberikan dampak negatif yang serius terhadap Alam dan secara tidak langsung dapat merusak tatanan struktur tubuh anggota masyarakat tradisional itu sendiri. Oleh sebab itu masyarakat percaya bahwa bencana alam yang terjadi adalah dampak negatif jika Alam tidak diberlakukan dengan baik dari kalangan mereka sendiri, Maka sanksi-sanksi akan diberikan kepada para pelanggar berupa hukuman fisik atau cemohan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakatnya. Sebab, pemberian sanksi dianggap lebih efektif dalam memberikan efek jerah (Mansoben, 2003).
Pranata tersebut dibuat untuk mengatur pemanfaatan lingkungan Alam-Nya. Anggapan mereka (masyarakat tradisional), Alam merupakan sumber penghidupan yang mengandung nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai ekologi. Inilah integrasi dari sebuah konsep perwujudan yang melebihi diskursus antara manusia dan Alam-Nya, yakni interaksi vertikal secara langsung antara manusia dan Tuhan-Nya melalui penghormatan terhadap Eksistensi Alam.
Diskursus Manusia dan Alam
Dua pemahaman yang selalu diasosiasikan dan saling kontradiktif, yakni pemahaman tentang anthroposentrisme (Manusia sebagai pusat segalanya) dan ekosentrisme (Alam sebagai pusat segalanya), keduanyaa sangat mempengaruhi eksistensi lingkungan Alam yang ditempati oleh Manusia dan ekosistem lainya yang menjadi satukesatuan komponen Alam secara entitasnya (Solanta, 2016).
Kendati perlahan, paham ini (anthroposentrisme) ditentang oleh paham biosentrisme yang secara harfiah lebih menitik beratkan Alam sebagai pusat tertinggi dan memiliki keyakinan bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan seluruh kosmos. Artinya, manusia dianggap sebagai satu makhluk hidup yang memiliki hubungan rasa saling ketergantungan dengan makhluk hidup lainnya di Alam Semesta. Sedangkan ekosentrisme menitik beratkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam masing-masing diri makhluk hidup itu sendiri yang masih selaras dengan paham biosentris yang bersifat feminisme.
Paham anthroposentris, biosentris dan ekosentris memiliki persamaan yang kontradiktif layaknya perdebatan perspektif antropologi dekolonisasi dan perspektif antropologi indigeneus yang terkonsep dalam sebuah diskursus manusia dan Alam. Diskursus manusia dan Alam dapat dipahami melalui gagasan Julian Steward (1902-1972)2 melalui kajian ekologi budayanya (ecology cultural) sebagai konsep panduan untuk memahami diskursus tersebut.
Konsep ecology culural bermula dari sebuah aliran yang dikembangkan dalam ilmu antropologi yang mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Sehingga proses adaptasi ini memberikan pemahaman interaksi antara manusia dan Alam yang mampu menumbuh kembangkan tingkat kreatifitas manusia sebagai faktor determinan dalam perubahan kebudayaan manusia.
Adanya perubahan budaya menurut gagasan Kluckohn dan Strodtbeck (1961)3 dipengaruhi oleh adanya tiga perbedaan orientasi nilai budaya terhadap Alam yang diwujudkan manusia dalam konteks diskursus tersebut. Pertama, masyarakat yang berorientasi bahwa alam merupakan sesuatu yang potensial dan harus dieksploitasi untuk membahagiakan kehidupan manusia. Kedua, masyarakat yang berorientasi bahwa alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya dan juga sebagai medan yang memungkinkan perubahannya untuk berjuang hidup melalui karya-karyanya sehingga terdapat suatu hubungan struktural antar manusia dengan lingkungan Alamnya yang tak terpisahkan. Ketiga, masyarakat yang berorientasi budaya bahwa alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh diganggu.
Gagasan Kluckohn dan Strodtbeck (1961) merupakan fenomena-fenomena alam yang perlu dikaji dan ditelusuri lebih jauh, tentang bagaimana manusia memperlakukan sesamanya dan bagaimana manusia memperlakukan Alamnya yang merupakan bagian parsial dari lingkungan hidupnya sendiri. Untuk mencoba menelusuri semua itu dapat dimulai dari diri sendiri untuk peka terhadap lingkungan hidup disekitar kita. Atas wujud anthroposentris sebagai makhluk yang berakal, manusia dapat merekayasa lingkungannya sehingga ada berbagai macam bentuk perubahan lingkungan hidup disekitarnya, ada yang masih seperti dahulu dan ada juga yang telah berubah bahkan hilang eksistensinya.
Perubahan kebudayaan tersebut menurut Mansoben (2003) adalah perubahan komunitas ekosistem dengan komunitas ekosistem lainnya perihal pemanfaatan Alam. Kendati perubahan-perubahan tersebut tidak selalu sama antara satu komunitas ekosistem dengan komunitas ekosistem lainnya. Perubahan kebudayaan ini dapat berimplikasi pada ekosistem-ekosistem tertentu yang dapat mengancam komunitas ekosistem (manusia) itu sendiri, sedangkan disisi lainnya terdapat pula komunitas-komunitas yang mengalami perubahan kecil sampai yang hampir tidak mengalami perubahan.
Alam diibaratkan oleh Henryaja (2009) sebagai rumah yang melindungi manusia dari panas dan hujan, sedangkan dalam arti yang luas dalam aspek psikologi rumah diibaratkan olehnya sebagai masyarakat. Masyarakat yang memiliki interaksi sesamanya sebagai makhluk sosial dan mampu memahami Alam secara ecology cultural, fenomena ini masih dimiliki oleh masyarakat tradisional dan tidak dimiliki oleh masyarakat modern yang apatis terhadap lingkungan sosialnya, maka dengan sendirinya bagi masyarakat modern eksistensi lingkungan Alam jauh dari entitasnya dan tidak dipandang lagi sebagai rumah tempat berlindung dari panas dan hujan.
- Staf Dosen Antropologi FISIP Universitas Cenderawasih dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih.
- Seorang sarjana Amerika Utara bernama Julian Steward (1902-1972); Ia adalah orang pertama yang memasukkan kajian tentang hubungan antara budaya dengan lingkungan ke dalam bidang kajian ekologis.
- Kajian mendalam tentang "Teori Orientasi Nilai Budaya" terkait konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya, yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia, dikembangkan secara berangsur oleh C. Dan F. Kluckhohn dan diuraikan dalam serangkaian karangan (Kluckhohn 1951; 1953; 1956).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H