Mohon tunggu...
m fajar maulana
m fajar maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - PBA_unisma

Menjadikan ilmu sebagai kewajiban yang harus terpenuhi, dan mengembangkan nya dengan soft kill masing-masing

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Berapakah Ideal Menikah?

18 Maret 2023   12:34 Diperbarui: 18 Maret 2023   12:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya rislah pengutusan nabi muhammad dengan membawa islam, tidak lain bertujuan untuk membawa kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Atau dengan kata lain dari Rahmah lil al-amin yang tertera dalam surat al-anbiya' ayat 107.

Bila dicermati lebih detail proses islam ini bertujuan untuk manusia agar memiliki landasan dalam berfikir dan bergerak sesuai dengan ajaran yang disyaratkan oleh islam. Salah satu contoh sasuatu yang disyariatkan agama islam adalah memelihara keturunan.  Kodrat manusia itu sendiri sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup Bersama dengan manusia lainya. Jika dilihat secara makro hidup Bersama di sini dimulai dari pernikahan untuk membina sebuah keluarga. [1]

 

Dengan aturan yang disyariatkan oleh islam pernikahan merupakan kunci untuk memelihara dan menghargai keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya persoalan perkawinan yang diatur sedimikian rapi oleh islam bukan soal yang sederhana, tetapi merupakan salah satu instansi suci yang mutlak harus diikuti dan diplihara.

 

Pertanyaan nya ??  berpakah umur ideal untuk melaksanakan pernikahan ?. hal ini menarik sekali untuk dibahas, karena terkadang menikah disalah artikan dan hanya untuk menjadi topeng pelindung untuk memuaskan hasrat sexsual dan hawa nafsunya.

 

Misal saja contoh kejadian di daerah Tulung agung. Ratusan anak usia sekolah yang hamil diluar pernikahan dan mengajukan permohonan dispensasi nikah. Dan data yang yang terdeteksi mencapai 307 anak memohon dispensasi nikah ini. Saat dikomfirmasi, Humas pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung Hudana jaya mengatakan jumlah pemohon dispensasi ini rata-rata masih usia sekolah. "Semuanya (pemohon dispensasi nikah) kurang umur, range 13-18 tahun. Faktornya mayoritas karena sudah hamil,"kata Hudana, Kamis (2/2/2023). [2]

 

Hal seperti ini perlu dipertanyakan, factor apa yang menyebabkan terjadinya fenomena yang sangat miris ini. Apakah kurang nya pengawasan dari orang tua, ataukah kurangnya penanaman religious-Nya.

 

Rumah tangga yang harmonis adalah diikat oleh tali pernikahan merupakan hal suci. Namun, terkadang tujuan mulian ini tidak sesuai dengan yang diinginkan. Tugas yang mulia akan mencapai sasaran jika kendali dipegang oleh orang yang pantas untuk itu, termasuk rumah tangga. Dr . Sarlito Wirawan Sarwono pernah berkata :" orang muda yang akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan romantisme belaka. Mereka baru memilki cinta emosi, karena belom diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna. [3]  karena dalam islam semua Tindakan dan prilaku kita harus dipertanggung jawabkan kepada Allah dan masyarkat, termasuk dalam hal pembinaan rumah tangga. 

 

Tanggung jawab disini bermaksudkan dua hal pentiing. Pertama, orang yang bertanggung jawab harus dapat bereaksi dan bertindak secara tepat dalam kondisi apapun. Kedua, berani mengambil resiko dalam setiap perbuatannya. Karena pernikahan harus memiliki rasa tanggung jawab. Maka dalam islam ada sayarat dan ketentuan yang harus diikuti.

 

 

Dalam Al Qur'an maupun Hadits batas usia perkawinan memang tidak dijelaskan secara spesifik. Adapun syarat yang umum adalah sudah sampainya baligh, berakal, sehat, mampu membedakan baik dan buruk sehingga mampu untuk membangun sebuah keluarga. Arti kata bulugh al-nikah para ulama berbeda-beda pendapat. Pertama, ditafsirkan sebagai kecerdasan karena tinjaunnya dititik beratkan pada segi mental yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang. Kedua, ditafsirkan cukup umur dan bermimpi, yang fakus tinjaunnya di titik beratkan pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf.

 

Akan tetapi ada sebuah hadist yang menunjukan bahwa Rasullulah SAW melakukan perkawinan pada usia sebelum baligh, dengan menikahi Aisyah r.a Ketika dia masih berusia enam tahun dan menggaulinya Ketika berusia Sembilan tahun. [4]

 

Jika ditinjau dari hadis diatas maka ada cukup peluang untuk melakukan interprestasi. Dan juga banyak para ulama berbeda kesimpulan dalam menetapkan batas usia perkawinan. Maka dari itu agama hanya mengatur masalah perkawinan melalui prinsipnya saja, sehingga permasalahan kedewasaan untuk menikah termasuk ke dalam maslah ijtihadiyah, yang berarti ada peluang bagi manusia untuk menyesuaikan kondisi sosial dan kultur dalam suatu wilayah dengan yang lainya.

 

Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana pandangan hukum islam tentang batas usia perkawinan. 2) Bagaimana pandangan hukum nasional tentang batas usia perkawinan.

 

Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam 

 

 Dalam syarat dan rukun nikah memang tidak tertera kedewasawsaan termasuk di dalamnya. Namun faktor kedwasaan memang kondisi yang amat sangat penting. Berdasarkan ilmu pengetahuan memang berbeda setiap daerah dan zaman dengan daerah dan zaman yang lain, bahkan jika ditelsik lebih dalam makai slam tidak pernah memberikan batasan yang definitive pada usia berapa seorang dianggap dewasa.

 

Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar manusia (mu'amalah) yang oleh agama diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya syariat islam menentukan batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu Rahmat. Maka, sudah jelas bahwasanya perkara ini merupakan masalah ijtihadiyah, maksudnya diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seorang pantas menikah.

 

Dalam suatu Hadist, nabi pernah berseru kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian batasan usia. Yang diriwatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud. Kendati pun, al-syabab, jamak dari syabab , berarti pemuda yang berusia sebelum 30 tahun.

 

Dan juga dalam hukum Islam (fiqh) terdapat berbagai macam pendapat. Sebagaimana diketahui bahwa kebolehan menikahkan anak di usia 6 tahun (belum baligh) berdasarkan dalil hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim : "Dari Aisyah bahwasannya Nabi menikahinya dalam usia enam tahun tetapi menggaulinya dalam usia sembilan tahun."

 

Dari hadis ini Ulama memahaminya ada dua pandangan : pertama memahami hadis secara tekstual, sehingga menurut golongan Ulama ini beranggapan akad bagi anak 6 tahun atau lebih adalah sah. Karena pertumbuhan fisik anak tersebut sudah tergolong dewasa. Dan perlu digaris bawahi, bahwa pernikahan ini hanya sebatas sah akadnya saja dan belom digauli (berkumpul). Kedua memahami hadis secara kontektual, yang mana hadis ini bersifat berita (khabar) bukan doktrin untuk melakukan nya. Karena kemungkinan pada saat itu di daerah Hijaz, umur 9 tahun kebawah sudah dianggap dewasa. Dan dua pendapat Ulama di atas sudah jelas bahwasanya tidak ada batasan pernikahan dalam hukum Islam. Tetapi yang diatur Islam hanya rukun dan prinsip-prinsip nikah. 

 

Istilah baligh sendiri bersifat relatif berdasarkan kondisi sosial dan kultur, sehingga para Imam Madzhab yang 4 ( Imam Abu hanifah, Imam Mali, Imam Syafi'I , Imam Ahmad ibn Hambal) berbeda pendapat terkait dewasa dalam pernikahan, baik ditentukan dengan umur maupun fisik. Misalnya, golongan Syafi'iyah dan hanbaliyah mengukur ss seorang anak itu dimulai umur 15 tahun, walaupun tidak ada tanda-tanda kedewasaan. Dengan mimpi bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Karena golongan ini berpendapat Kedewasaan antara laki-laki dan perempuan sama, karena kedewasaan ditentukan dengan akal. Dengan adanya akal ditentukan taklif dan adanya hukum.

 

Perbedaan pendapat dalam batas usia perkawinan, terjadi karena dalam Al Qur'an dan hadis tidak dijelaskan secara sehingga masalah ini termasuk sebagai masalah ijtihadiyah (usaha maxsimal guna memperoleh dan memutuskan perkara dalam Al Qur'an dan Hadis menggunakan akal sehat). Ulama Salafi Sebagian besar berpendapat mensyaratkan pernikahan dengan sampainya balig. Indicator balig itu bahwa adanya perubahan fisik dan umur yang matang. Meski demikian orang tua/wali diberi hak menikahkan anaknya yang belum balig tanpa persetujuan (Hak Ijbar). Sedangkan Ulama Kontemporer menyikapi dan memahami naskah-naskah suci yang berkaitan dengan batasan kedewasaa menikah itu secara kontekstual, sehingga muncul berbagai pemahaman yang dipahami dari berbagai aspek, seperti aspek budaya, aspek kesehatan dan aspek psikologis. Ulama kontemporer menyatakan bahwa ulama salafi/tradisional dalam memahami nash Alqur'an dan Hadis tentang pernikahan Nabi dengan Aisyah waktu berumur 6 tahun dipahami secara tekstual. Oleh karena itu kelompok tradisional membolehkan terjadinya perkawinan dibawah umur dengan pemahaman yang kaku. Padahal hadits tersebut dapat dipahami kebolehan secara khusus (lex spesialis) bukan kebolehan secara umum (lex gneralis)[5]

 

Dari perbedaan pendapat antara Golongan Salafi dan Golongan Kontemporer masing memiliki ijtihadiyah masing-masing, Salafiyah lebih condong menitik beratkan kedewasaan menikah itu pada saat dia balig atau sering ditandai dengan kematangan fisik. Sedangkan Ulama kontemporer melihat, bahwa sampainya waktu untuk menikah tidak hanya dilihat dari ciri-ciri fisik semata (baligh) akan tetapi lebih menekankan pada kesempurnaan akal dan jiwa (rusyd). Oleh karena itu pernikahan tidak hanya membutuhkan kematangan fisik saja, tetapi juga perlu kematangan psikologis, social, agama dan intelektual.

 

 Usia Perkawinan Menurut Hukum Nasional

 

  • UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa "anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan".[6]
  •  
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45 menyebutkan " Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah[7]
  •  
  • UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan "Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin" Pasal 4 Ayat (2) "Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak"[8]
  •  
  • Setelah berusia 18 tahun dia dianggap mampu untuk menentukan kewarganegaraannya, hal ini terlihat dalam pasal 6. Meski tidak diterangkan secara gamblang, namun hal ini berarti bahwa seorang anak yang telah berusia 18 tahun atau telah menikah dianggap telah dewasa sehingga dia dapat menentukan sendiri kewarganegaraannya. Selain itu umur 18 tahun pun menjadi patokan bagi seorang warga negara asing untuk mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia, tidak mungkin seseorang yang masih dianggap di bawah umur diperkenankan mengajukan permohonan perubahan kewarganegaraan. Oleh karena itu sangat jelas sekali bahwa undang- undang kewarganegaraan menetapkan dewasa tidaknya seseorang dilihat dari umurnya yang telah mencapai 18 tahun atau sudah menikah[9]
  •  
  • UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Pasal 13 menyebutkan "Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih"[10]

 

Akhir-akhir ini begitu sexi tentang masalah kedewasaan setelah berlakunya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, karena undang-undang ini ternyata tidak mengatur bidang Perkawinan saja, tetapi lebih menyerupai pengaturan dasar hukum keluarga. Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 ini memberi batasan tentang usia dewasa yaitu 18 (delapan belas) tahun hal mana tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) dan pada Pasal 50.

 

Dari keluarnya Undang-undang tentang masalah kedewasaan, tidak sedikit juga yang keberatan dengan batas usia 18 Tahun, karena Sebagian masyarakat menggap bahwa usia 18 Tahun belum selayaknya diminta tanggung jawab secara hukum atas perbuatan hukum yang mereka lakukan. Pendapat tadi, dikemukan oleh masyarakat kota yang jumlahnya relif lebih kecil dibandingkan masyarakat desa. Akan tetapi sangat berbeda dengan masyarakat desa, anggapan mereka anak 14 -- 16 Tahun telah dewasa, maka dari sini perlu dikaji lebih dalam dengan kacamata yuridis yang tepat.

 

Prof. Subekti menyebutkan bahwa batasan usia 18 tahun tersebut dapatlah dipandang sebagai suatu jalan tengah antara batas usia dalam alam pikiran di desa dan di kota. Perbedaan pendapat diantara para ahli hukum tentang batas usia dewasa, disebabkan adanya berbagai peraturan yang menyebut suatu batas usia untuk hal tertentu. Sebagaimana juga dipertajam oleh dasar pandangan dan penafsiran yang berbeda. Karena itu perlu ditelaah secara mendalam sebetulnya peraturan mana yang dapat atau lebih tepat untuk dijadikan pegangan secara yuridis dalam menentukan kedewasaan itu. Perlu pula dikaji apa yang akan merupakan patokan dalam menentukan bahwa suatu peraturan itu betul-betul menyangkut suatu dasar hukum bagi terlaksananya suatu perbuatan hukum tertentu[11]

 

Dewasa sendiri jika dilihat secara Yuridis adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya adanya bantuan pihak lain, baik orang tua si anak atau walinya. Kesimpulanya, seseorang dianggap dewasa apabila diakui oleh hukum untuk perbuatan hukum sendiri, dan tanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan.

 

Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi "Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun[12]. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 "Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan". [13]Dan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam(KHI) Pasal 98 Ayat (1) menyebutkan bahwa "batas usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan". [14]

 

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina', sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.

 

Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah kabupaten di daerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan menjadi sah dan berkekuatan hukum

 

Jika kita lihat sebagian pasal pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih katagori anak-anak tapi disi lain dikatakan sudah cukup untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip atau siapapun di Republik ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun