Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina', sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.
Â
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah kabupaten di daerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan menjadi sah dan berkekuatan hukum
Â
Jika kita lihat sebagian pasal pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih katagori anak-anak tapi disi lain dikatakan sudah cukup untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip atau siapapun di Republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H