Tak berselang lama, kami akhirnya sampai di perempatan Ringroad. Tepat disamping kanan kami, ada Masjid yang cukup ikonik karena desain arsitekturnya yang begitu mencolok, bagaikan Masjid yang selalu saya lihat di kalender-kalender. Itulah Masjid Mini Baiturrahman, sebuah masjid dengan desain seperti Masjid Baiturrahman yang ada di Aceh. Masjid ini adalah sumbangan dari warga Aceh kepada Bantul atas musibah gempa Yogyakarta tahun 2006. Tentu saja ukuran masjid ini tidak sama dengan yang ada di Serambi Mekah, karena ukurannya telah diperkecil untuk luas sebesar area pom bensin. meski lebih kecil, tetapi tak mengesampingkan karasteristik dan estetikanya.
Perjalanan yang sesungguhnya dimulai ketika lampu merah di perempatan Ring Road selatan menyala. Rute yang lurus membawa kami melewati kawasan Pabrik Madukismo, pabrik kebanggaan Yogyakarta yang masih beroperasi menghasilkan butiran kristal manis yang kita kenal sebagai gula. Bau tebu yang menyebar menyeringai di kawasan tersebut, berdampingan dengan suara-suara aktivitas manusia di sekitarnya. Bunyi suara klakson bersahut-sahutan di perempatan Madukismo. Cukup wajar bagi saya karena perempatan itu tidak memiliki lampu merah, terlebih di sela-sela aspal ada rel yang menonjol di sisi muka jalan. Perempatan ini memiliki kisah historisnya sebagai jalur rel kereta api tempat lori membawa tebu-tebu yang siap diolah di pabrik. Meski penggunaannya mulai jarang, rel-rel ini masih bisa digunakan. Itulah mengapa rel-rel ini dibiarkan tetap tersingkap dan menonjol di tengah-tengah aspal. Bagi pengguna motor seperti saya, harus sedikit hati-hati karena melewati rel ini bagaikan melompati polisi tidur, tetapi terbuat dari besi.urus menuju jalan Kasongan, mata saya kembali diperlihatkan dengan suasana jalan yang memotong area persawahan yang luas. Kadang ada satu atau dua rumah yang menyelip di sekitar tepi jalan. Ini adalah area persawahan luas yang memisahkan kawasan industri Madukismo dengan kawasan wisata desa Kasongan. Kasongan adalah desa yang terkenal sebagai sentra kerajinan gerabah. Sebagian besar penduduk disana bekerja sebagai pengrajin atau penjual gerabah. Melihat dari tepi jalan sepanjang melewati desa ini, banyak toko-toko memajang hasil kriya mereka seperti tembikar, vas, kendi, dan patung-patung keagamaan seperti patung Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Ganesha, dan Patung Buddha.
Belum semenit saya menikmati menganguk-angukkan kepala ke kiri dan ke kanan melihat hasil gerabah-gerabah itu, jarum indikator bensin di motor saya memalingkan sudutnya ke kanan di arah huruf “E”, tanda jika motor saya kehabisan bensin. Beruntung, sekitar 10 meter di depan saya ada toko kelontong dengan pom mini berdiri satu meter di depan toko tersebut. Saya menyengajakan untuk menepi, mengisi motor saya dengan bensin terlebih dahulu. Harga bensin di pom bensin yang saya singgahi masih berkisar di harga normal, sepuluh ribu seliter. Ibu saya sempat menawarkan untuk membayarnya, tetapi saya menolaknya dengan cepat-cepat memberikan uang saya lebih dulu kepada penjual bensin. Saya pikir, Ibu cukup membayar biaya makan saya saja ketika sudah sampai di tujuan.
Beberapa motor masih terlihat banyak di perempatan tersebut, pun di samping-samping kami masih ada motor yang mengelilingi kami ketika menunggu lampu merah berubah warna. Namun, ketika motor kami berbelok menuju arah jalan bukit Bibis yaitu menuju selatan, kebanyakan motor bergerak ke arah utara dan barat. Jalan yang kami ambil rupanya tidak dilewati oleh banyak motor, sehingga suasana di jalan tersebut serasa sepi, jarang ada motor melintas. Namun semenit kemudian, di arah berlawanan, tiba-tiba banyak rombongan pesepeda berjalan malang melintang. Terlebih ketika kami dipertemukan dengan persimpangan pertigaan kecil, dari gang kecil itu, muncul rombongan sepeda yang bergerak menuju arah yang sama dengan kami. Jalan ini menjadi ramai dengan pesepeda, baik itu rombongan maupun sebatas 2-3 orang saja. Saya lihat tidak hanya bapak-bapak saja yang bersepeda, tetapi juga ibu-ibu. Bahkan beberapa dari mereka telah berumur, lansia pun tak ketinggalan juga.
Saya sekeluarga cukup beruntung, karena untuk menaiki jalanan yang menaik ini, tidak perlu bersusah payah, karena menggunakan motor. Namun, bagaimana dengan para pesepeda ini? Apakah mereka mampu untuk melewatinya juga? Ternyata mereka mampu, rombongan pesepeda ini melewati jalanan menanjak ini serasa biasa saja, tidak menjadi beban, tetapi menjadi tantangan. Tidak kalah dengan beberapa lansia yang menggenjot sepedanya dengan kedua kakinya yang turut menua, mereka juga mampu melakukannya, luar biasa!