Mohon tunggu...
M Faisal Adnan
M Faisal Adnan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, Penulis, Content Creator

Hai, Saya Adnan. Mahasiswa S1 Sejarah Universitas Gadjah Mada. Saya gemar menulis, tetapi saya tidak bisa mengingat setiap kata-katanya, karena itu saya menuliskannya disini.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Surga Tersembunyi di Dekat Kota Jogja: Puncak Bukit Bibis, Rumah Pelepas Penat bagi Pengayuh Sepeda

16 Desember 2021   22:45 Diperbarui: 17 Desember 2021   00:25 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak berselang lama, kami akhirnya sampai di perempatan Ringroad. Tepat disamping kanan kami, ada Masjid yang cukup ikonik karena desain arsitekturnya yang begitu mencolok, bagaikan Masjid yang selalu saya lihat di kalender-kalender. Itulah Masjid Mini Baiturrahman, sebuah masjid dengan desain seperti Masjid Baiturrahman yang ada di Aceh. Masjid ini adalah sumbangan dari warga Aceh kepada Bantul atas musibah gempa Yogyakarta tahun 2006. Tentu saja ukuran masjid ini tidak sama dengan yang ada di Serambi Mekah, karena ukurannya telah diperkecil untuk luas sebesar area pom bensin. meski lebih kecil, tetapi tak mengesampingkan karasteristik dan estetikanya.

Perjalanan yang sesungguhnya dimulai ketika lampu merah di perempatan Ring Road selatan menyala. Rute yang lurus membawa kami melewati kawasan Pabrik Madukismo, pabrik kebanggaan Yogyakarta yang masih beroperasi menghasilkan butiran kristal manis yang kita kenal sebagai gula. Bau tebu yang menyebar menyeringai di kawasan tersebut, berdampingan dengan suara-suara aktivitas manusia di sekitarnya. Bunyi suara klakson bersahut-sahutan di perempatan Madukismo. Cukup wajar bagi saya karena perempatan itu tidak memiliki lampu merah, terlebih di sela-sela aspal ada rel yang menonjol di sisi muka jalan. Perempatan ini memiliki kisah historisnya sebagai jalur rel kereta api tempat lori membawa tebu-tebu yang siap diolah di pabrik. Meski penggunaannya mulai jarang, rel-rel ini masih bisa digunakan. Itulah mengapa rel-rel ini dibiarkan tetap tersingkap dan menonjol di tengah-tengah aspal. Bagi pengguna motor seperti saya, harus sedikit hati-hati karena melewati rel ini bagaikan melompati polisi tidur, tetapi terbuat dari besi.urus menuju jalan Kasongan, mata saya kembali diperlihatkan dengan suasana jalan yang memotong area persawahan yang luas. Kadang ada satu atau dua rumah yang menyelip di sekitar tepi jalan. Ini adalah area persawahan luas yang memisahkan kawasan industri Madukismo dengan kawasan wisata desa Kasongan. Kasongan adalah desa yang terkenal sebagai sentra kerajinan gerabah. Sebagian besar penduduk disana bekerja sebagai pengrajin atau penjual gerabah. Melihat dari tepi jalan sepanjang melewati desa ini, banyak toko-toko memajang hasil kriya mereka seperti tembikar, vas, kendi, dan patung-patung keagamaan seperti patung Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Ganesha, dan Patung Buddha.

Belum semenit saya menikmati menganguk-angukkan kepala ke kiri dan ke kanan melihat hasil gerabah-gerabah itu, jarum indikator bensin di motor saya memalingkan sudutnya ke kanan di arah huruf “E”, tanda jika motor saya kehabisan bensin. Beruntung, sekitar 10 meter di depan saya ada toko kelontong dengan pom mini berdiri satu meter di depan toko tersebut. Saya menyengajakan untuk menepi, mengisi motor saya dengan bensin terlebih dahulu. Harga bensin di pom bensin yang saya singgahi masih berkisar di harga normal, sepuluh ribu seliter. Ibu saya sempat menawarkan untuk membayarnya, tetapi saya menolaknya dengan cepat-cepat memberikan uang saya lebih dulu kepada penjual bensin. Saya pikir, Ibu cukup membayar biaya makan saya saja ketika sudah sampai di tujuan.

1970-01-20-061943076-min-61bb760915739574b83edfd5.jpg
1970-01-20-061943076-min-61bb760915739574b83edfd5.jpg
Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan utama di desa Kasongan menuju arah barat. Tampak beberapa toko mulai berkurang penampakannya di sisi-sisi jalan, seakan memberitahu jika kami sedang memasuki sejenis hutan kecil yang berada di tepi sungai. Benar saja, jalan mulai menurun dengan hutan yang tidak terlalu rindang, berada di kanan kiri jalan. Sebuah jembatan terlihat dari kejauhan, sudah usang dan pagarnya berkarat. Sungai di bawah jembatan seakan tak terdengar bunyi air mengalir. Sungai itu memang kecil, hanya bagaikan kali yang kedalamannya tidak sampai 3 meter, yang arusnya deras hanya ketika hujan mengguyur. Setelah melewati jembatan, kami berpapasan dengan perempatan kecil. Perempatan ini cukup ramai mengingat menjadi gerbang awal untuk memasuki destinasi kami.

Beberapa motor masih terlihat banyak di perempatan tersebut, pun di samping-samping kami masih ada motor yang mengelilingi kami ketika menunggu lampu merah berubah warna. Namun, ketika motor kami berbelok menuju arah jalan bukit Bibis yaitu menuju selatan, kebanyakan motor bergerak ke arah utara dan barat. Jalan yang kami ambil rupanya tidak dilewati oleh banyak motor, sehingga suasana di jalan tersebut serasa sepi, jarang ada motor melintas. Namun semenit kemudian, di arah berlawanan, tiba-tiba banyak rombongan pesepeda berjalan malang melintang. Terlebih ketika kami dipertemukan dengan persimpangan pertigaan kecil, dari gang kecil itu, muncul rombongan sepeda yang bergerak menuju arah yang sama dengan kami. Jalan ini menjadi ramai dengan pesepeda, baik itu rombongan maupun sebatas 2-3 orang saja. Saya lihat tidak hanya bapak-bapak saja yang bersepeda, tetapi juga ibu-ibu. Bahkan beberapa dari mereka telah berumur, lansia pun tak ketinggalan juga.

1970-01-20-061951055-min-61bb75f362a70466ca4d3d34.jpg
1970-01-20-061951055-min-61bb75f362a70466ca4d3d34.jpg
Setiap rombongan yang saya dapati, rata-rata menggunakan kostum yang sama. Kaos pesepeda dengan corak dan desain yang seragam. Adapun tertulis nama komunitas, atau nama daerah asal mereka. Meskipun mendominasi muka jalan, mereka tetap patuh untuk berkendara di tepi jalan, tidak menengah ke tengah jalan, dan mengalah kepada pengendara motor maupun mobil. Saya yang menaiki motor pun menurunkan kecepatan saya, ikut merasakan euforia bersepeda dengan ritme yang pelan sembari menikmati pemandangan sekitar. Hamparan sawah yang luas dengan pohon-pohon berjejer di tepi jalan, serta matahari di timur yang bergerak naik sedikit demi sedikit, menjadi penghias bagi perjalanan kami.

1970-01-20-061951052-min-61bb75cb06310e1613403452.jpg
1970-01-20-061951052-min-61bb75cb06310e1613403452.jpg
Sedikit demi sedikit namun pasti, jejeran perbukitan hijau mulai membesar dan mendominasi tatapan mata kami. Mungkin sedikit aneh jika membayangkan ada sebuah perbukitan yang terletak di pinggir  kota Jogja selain Pegunungan Gunungkidul atau Gunung Merapi, dan berada di daerah selatan pula. Namun, puncak Bibis yang berada di perbukitan Bangunjiwo ini mampu mematahkan anggapan sederhana tersebut, jika ada pula area tinggi yang dekat dan tak jauh dari kota. Perbukitan ini lebih rendah, dan lebih banyak pemukimannya. Namun tetap dengan ciri umumnya, yaitu memiliki jalanan naik yang berkelok.

Saya sekeluarga cukup beruntung, karena untuk menaiki jalanan yang menaik ini, tidak perlu bersusah payah, karena menggunakan motor. Namun, bagaimana dengan para pesepeda ini? Apakah mereka mampu untuk melewatinya juga? Ternyata mereka mampu, rombongan pesepeda ini melewati jalanan menanjak ini serasa biasa saja, tidak menjadi beban, tetapi menjadi tantangan. Tidak kalah dengan beberapa lansia yang menggenjot sepedanya dengan kedua kakinya yang turut menua, mereka juga mampu melakukannya, luar biasa!

1970-01-20-061951054-min-61bb75501573953a283e9942.jpg
1970-01-20-061951054-min-61bb75501573953a283e9942.jpg
Saya bersama sekelurga yang sampai lebih dulu di atas (karena menggunakan motor pasti lebih cepat) dipertemukan oleh persimpangan yang bercabang dua, satu menuju kanan dan satu menuju kiri. Tidak sulit untuk memilih rute mana yang kami ambil, karena terdapat rambu yang menuliskan jalan ini akan membawa ke mana. Saya sebenarnya tidak tahu destinasi mana yang dituju keluarga kami, karena saya hanya tukang sopir, dan Ibu saya yang merencanakan semua ini. Ibu saya langsung berkata kepada saya, “ke kanan”. Ke kanan? gumam saya dalam hati. Oh, rupanya kami dibawa menuju Angkringan Puncak Bibis, sebuah warung makan yang menyediakan view untuk melihat pemandangan dari ujung tebing.

1970-01-20-061942528-min-61bb74c515739570693b9453.jpg
1970-01-20-061942528-min-61bb74c515739570693b9453.jpg
Papan bertuliskan “Angkringan Puncak Bibis” dengan simbol arah panah, memberitahu jalan masuk ke area tersebut. Ketika kami memasuki pintu masuk warung, terdapat di tepi kanan ada area parkir bagi sepeda. Area parkir sepeda tampak baru selesai dibangun sehingga masih bagus, sedang untuk parkir motor harus masuk ke dalam lagi. Area warung ini luas, terdiri dari dua rumah penduduk (yang saya kira merupakan rumah pemilik warung ini), area parkir sepeda dan motor yang terpisah, warung, joglo, dan spot view yang dilengkapi tempat makan outdoor. Area parkir motor berada di belakang rumah pemilik, uniknya ada atap seng luas yang dipasang menempel dengan rumah pemilik ini sebagai pelindung panas untuk motor yang diparkir. Area parkir mobil juga berada di sini, hanya berada di sisi yang berlawanan.

1970-01-20-061943089-min-61bb74ad62a7040b5b060973.jpg
1970-01-20-061943089-min-61bb74ad62a7040b5b060973.jpg
Saya bersama keluarga kemudian masuk ke area warung. Sebelum masuk, kami harus mencuci tangan terlebih dahulu sesuai dengan protokol kesehatan. Lalu masuk menuju warung untuk mengambil menu makanan. Warung ini sangat ramai, kebanyakan diisi oleh para pesepeda dan pelancong. Sistem pengambilan menu disini adalah dengan mengambil sendiri (self-service), kemudian dibawa ke kasir untuk dihitung harganya. Saya mengambil nasi sayur bening, dengan snack berupa burger mini, sosis bakar, sempol, telur puyuh, dan dinsum. Bapak, Ibu, dan adik saya juga mengambil menu dan snack yang berbeda pula. Harga total makan sekelurga lumayan murah, hanya 60 ribu rupiah termasuk minum dan snacknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun