Mohon tunggu...
Fadli
Fadli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat sejarah dan budaya

Menyukai dunia sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istana Sultan Lingga-Riau yang Terlupakan di Daik

19 Agustus 2023   12:28 Diperbarui: 19 Agustus 2023   12:30 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sultan Lingga-Riau Ke-4Sultan Sulaiman Badrul Alam syah (1857-1883)Foto tahun 1867. Sumber: KITLV 3691

Sebagian Istana Kerajaan Lingga-Riau Telah Terlupakan

          Wilayah Daik terletak di sebelah selatan Pulau Lingga, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Pada masa kini wilayah Daik berada dalam wilayah dua kelurahan yakni Kelurahan Daik dan Kelurahan Daik Sepincan. Perkampungan yang berada di sebelah selatan Sungai Daik bagian dari Kelurahan Daik, dan sebelah utara Sungai Daik bagian dari Kelurahan Daik Sepincan. Wilayah Daik pada masa lalu pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga (1787-1830) dan Kerajaan Lingga-Riau (1830-1913).

          Karena berperang melawan VOC, pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga memindahkan pusat kerajaan dari Riau di Pulau Bintan ke Daik di Pulau Lingga. Pada tahun 1795 suasana kembali damai, Sultan Mahmud Riayat Syah terus menetap di Daik. Pengganti Sultan Mahmud Riayat Syah adalah anaknya Tengku Abdurrahman yang bergelar Sultan Abdurrahman Syah. Pada tahun 1818, Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan Sultan Abdurrahman Syah sehingga mengakibatkan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga masuk ke dalam cengkeraman kekuasaan Belanda.

          Pada tahun 1830, Sultan Abdurrahman Syah terpaksa menyetujui perjanjian baru yang disodorkan Belanda yang mewajibkan sultan melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Karena terikat dengan perjanjian tahun 1818, Sultan Abdurrahman Syah terpaksa melepaskan wilayah Johor, dan Pahang sesuai dengan ketentuan Perjanjian London yang disepakati oleh Belanda dan Inggris tahun 1824. Sultan Abdurrahman Syah merupakan Sultan Lingga-Riau pertama sejak tahun 1830, dan sekaligus Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terakhir. Pada tahun 1900, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911), Sultan Lingga-Riau terakhir memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Penyengat di Riau. Sejak tahun 1900 berakhirlah Daik menjadi tempat kedudukan sultan. Pada tahun 1911, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah dipecat Belanda. Sultan Abdurrahman Muazzam Syah pindah ke Singapura dan pada tahun 1913, Kerajaan Lingga-Riau dihapus oleh Belanda. Terdapat 6 sultan yang pernah berkedudukan di Daik, yakni,

  • Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga
  • Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832), Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terakhir (1812-1830) dan Sultan Lingga-Riau pertama (1830-1832)
  • Sultan Muhammad Syah (1832-1841)
  • Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857)
  • Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)
  • Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911)

          Peninggalan sejarah era kerajaan sebagian masih dapat ditemukan di Daik. Peninggalan yang ada antara lain,  Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau, situs Istana Damnah, pemakaman sultan, kubu pertahanan, meriam dan lain-lain. Selama masa kerajaan terdapat beberapa istana yang ada di Daik, dan pada masa kini hanya ada dua situs istana peninggalan Kerajaan Lingga-Riau yang masih dapat ditemukan dan telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Reruntuhan istana itu terdiri dari Istana Kota Batu yang pernah dibangun oleh Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857) Sultan Lingga-Riau ke-3. dan reruntuhan Istana Damnah milik Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911) Sultan Lingga-Riau terakhir.

          Istana Kota Batu yang  dibangun dari batu bata hanya meninggalkan puing-puing bangunan. Sebelum ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan mendapatkan perhatian pemerintah, istana berada dalam hutan belukar. Kini reruntuhan istana pun masih kurang terawat sehingga banyak ditumbuhi semak belukar dan akibatnya membuat sebagian pengunjung tidak mau ke sana. Istana Damnah juga bernasib sama, istana yang bertongkat semen dan bagian atas dari kayu hanya menyisakan tongkat dan puing-puing. Sebelum dibersihkan, di atas puing Istana Damnah pernah tumbuh pohon-pohon besar dan semak belukar. Di awal tahun 1990-an hanya jalan setapak yang mengarah ke puing-puing Istana yang sering digunakan masyarakat pergi ke kebun.

          Istana Robat Ahmadi, kediaman Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) hanya menjadi nama kampung. Wilayah Kampung Robat meliputi Kantor Bupati Lingga. Masyarakat hanya mengenal nama Kampung Robat tanpa tambahan kata Istana dan Ahmadi. Di Kampung Robat jejak reruntuhan Istana belum ditemukan. Sekarang yang dapat ditemukan hanya bekas kolam-kolam, yang dulunya berada dekat Istana. Sekarang ini kolam telah lama mengering, ditumbuhi semak dan pohon buah-buahan. Istana peninggalan sultan lainnya telah terlupakan. Penulis sejak tahun 2017 telah mulai mencari jejak-jejak istana yang terlupakan lewat membuka berbagai catatan sejarah. Lokasi istana yang dicari diketahui berada dalam lahan masyarakat yang telah menjadi hutan belukar dan telah lama terlupakan.

Catatan Sejarah tentang Istana Sultan Kerajaan Lingga-Riau

          Raja Ali dalam Tuhfat al-Nafis mengisahkan, setelah Sultan Mahmud Riayat Syah mangkat, penggantinya Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832) yang mendapatkan hasil-hasil dari pertambangan timah di Singkep mengadakan perbaikan kota parit dan pembangunan penunjang istananya. Cerita tentang istana Sultan Abdurrahman Syah, dapat dilihat dalam Korte Schets van het Eiland Lingga en Deszelfs Bewoners terbit tahun 1826 yang ditulis oleh Angelbeek seorang pegawai Belanda yang datang ke Lingga tahun 1819. Dari catatan Angelbeek dapat diketahui tentang situasi Daik dan istana sultan kala itu. Dari catatan Angelbeek diketahui, dekat sebelah kiri muara Sungai Daik terdapat benteng yang dilengkapi meriam. Setelah berlayar menyusuri sungai lebih kurang setengah jam akan tiba di Kampung Cina yang terletak di tepi kiri sungai. Di luar Kampung Cina akan ditemukan kampung orang Melayu

          Dalam atau istana sultan berjarak dua jam dari laut dan terletak di sebelah kiri sungai. Ada jalan yang cukup lebar (sesuatu yang istimewa karena jalan lainnya hanyalah jalan setapak) dan kurang dari setengah jam untuk menuju ke arah pedalaman. Istana sultan merupakan bangunan berada di atas lahan besar yang berbentuk hampir persegi dan ada sebuah pintu atau gerbang kayu yang tinggi. Lapangan dalam bahasa Jawa disebut alun-alun dan di sini disebut dengan medan yang berasal dari bahasa Persia. Dari medan istana sultan dapat dilihat di sisi kiri, dikelilingi oleh pagar kayu yang agak tinggi dan dilengkapi dengan gerbang tertutup tanpa hiasan.

          Beberapa langkah sebelum gerbang ini terdapat balai berbentuk persegi yang luas, dilengkapi dengan tiang kayu yang berfungsi untuk menopang atap. Balai terbuka dari semua sisi, dibagi menjadi tiga bagian yang bertingkat-tingkat, dan tingkat ketiga yang terakhir paling atas berukuran paling terkecil. Tingkat yang paling atas berfungsi sebagai tempat duduk sultan dan para bangsawan. Tingkat yang kedua atau ditengah untuk orang-orang terhormat dan para pengiringnya. Tingkat paling bawah yang ke tiga untuk kalangan umum. Di balai ini semua urusan negara ditangani di depan umum. Sultan menerima utusan dan orang asing yang ingin diperkenalkan kepadanya. Di sini rakyat diizinkan untuk menyampaikan keberatan dan keluhan mereka. Sultan muncul di sana sesekali untuk menunjukkan dirinya kepada orang-orang. Di tempat ini semua pesta besar dirayakan.

          Ketika seseorang memasuki gerbang untuk memasuki wilayah istana, pertama-tama melihat sebuah bangunan kecil, mirip dengan balai di dekat medan, yang berfungsi sebagai rumah bermain sultan. Sedikit lebih jauh di belakang adalah rumah sultan, dan di sebelah terletak rumah ibunya. Rumah-rumah ini dibangun di atas panggung tiga atau empat kaki di atas tanah. Bangunan berukuran besar berbahan dari kayu, dan di dalamnya secara khusus terdiri dari ruangan-ruangan yang dilewati koridor. Tidak jauh dari pintu masuk medan, di sisi kanan, terdapat masjid yang dibangun dari batu bata, dan di sebelahnya terdapat kolam batu untuk keperluan bersuci. Tidak jauh dari masjid terdapat tempat pemakaman para anggota keluarga kerajaan.

          Menurut catatan 14 Agustus 1935 tulisan Tengku Muhammad Saleh Damnah keturunan Sultan Lingga-Riau, dikisahkan Sultan Muhammad Syah (1832-1841)  yang menggantikan ayahnya Sultan Abdurrahman Syah pernah mendirikan istana untuk dirinya, yang disebut dengan Istana Keraton. Karena mempunyai Istana Keraton, setelah mangkat, Sultan Muhammad Syah diberi gelar Marhum Keraton. Selepas Sultan Muhammad Syah mangkat, anaknya Sultan Mahmud Muzzafar Syah naik tahta. Keadaan istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang berdekatan dengan alun-alun, dan tidak jauh dari masjid dapat ditemukan dalam catatan perwira angkatan laut Belanda, G. F. de Bruijn Kops dalam tulisannya berjudul Schets van den Riouw-Lingga Archipel, yang dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indi, Deel IV, Nieuwe Serie Deel I tahun 1853. Kops menggambarkan keadaan istana sultan, dan dia juga mencatat tentang pembangunan istana baru yang berjarak satu pal dari istana sultan. Dalam catatannya Kops menerangkan, Kampung Daik ibu kota kerajaan terletak di pulau Lingga. Di dekat muara sungak Daik terdapat belasan rumah nelayan yang kelihatan kumuh. Dalam menyusuri sungai Daik untuk menuju istana sultan, terlebih dahulu melewati Kampung Cina.

          Setelah Kampung  Cina, sedikit lebih ke atas akan ditemukan pemukiman rumah-rumah Bugis dan selanjutnya terdapat rumah-rumah Melayu. Selanjutnya sedikit lebih ke atas lagi akan sampai istana sultan terletak di sebelah kanan sungai. Dalam atau Istana Sultan berada pada lokasi besar yang sebagian tertutup dinding, dan terdapat banyak tempat tinggal. Terdapat bangunan berbahan tembok, dan kebanyakan berbahan kayu. Terdapat gerbang untuk menuju ke bagian dalam, tempat ibu sultan, istri, gundik, dan lain-lain.

          Di depan tempat kediaman sultan terdapat satu balai yang luas terbuat dari kayu yang bertingkat-tingkat. Di depan balai terdapat beberapa meriam tua di atas kereta, yang sering digunakan untuk memberikan penghormatan. Jalanan yang melewati dan mengitari kampung-kampung di luar istana pada tahun yang lalu ditimbun dengan pasir. Terdapat parit sebagai saluran air, dan dulu jika hujan turun jalan akan dipenuhi genangan lumpur. Tidak jauh dari istana sultan terdapat masjid. Sekitar satu pal dari istana sebuah tempat tinggal dibangun untuk sultan. Dijadikan juga untuk benteng, dan dibagian luar bangunan dikelilingi pagar. Rancangan bangunan dibuat di Singapura. Karena kekurangan anggaran untuk sementara waktu pembangunan  dihentikan.

          Seorang penulis Belanda yang berkunjung ke Daik pada tahun 1849 juga mencatat tentang istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah. Tulisan penulis Belanda ini berjudul Bijdragen tot de Kennis der Residentie Rio yang dimuat oleh Dr. W.R Van Hoevell dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi, 15 de Jargaang, Eerste deel terbit tahun 1853. Dalam tulisannya tentang istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah diterangkan, kediaman sultan sedikit lebih jauh dari tepi sungai, tidak tampak sama sekali, dan terdiri dari tiga bangunan yang terbuat dari papan. Bangunan terdiri dari tempat kediaman perempuan, resepsi, dan tempat tinggal sultan. Sultan rupanya berencana mendirikan negeri baru di kaki pegunungan Lingga. Sekarang ia sedang dalam proses mendirikan bangunan kolosal yang menurut gambar dari Singapura. Tempat ini akan menjadi istana baru sultan.

          Istana itu akan terdiri dari dua lantai, yang di atasnya akan dijadikan tempat untuk perempuan yang megah. Lantai bawah akan menjadi tempat tinggal sultan, yang kamar-kamarnya akan dipisahkan oleh koridor di kiri dan kanan, sedangkan di tengah bangunan dijadikan aula resepsi. Proses pembangunan sangat lambat, telah dikerjakan selama lebih dari 3 tahun. Hanya 4 orang Cina yang mengerjakannya dan karena kekurangan bahan terkadang tidak melakukan apa pun selama berminggu-minggu. Di sekitar istana, menurut rencana akan dibangun benteng penting dengan parit dan bastion yang jika perlu bisa menampung 3000 atau 4000 orang. Istana baru tidak boleh terdiri dari bangunan selain batu, ditutup oleh tiga tembok dan gerbang yang kokoh.

          Pembangunan kediaman baru yang berjarak 1 pal dari istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Bruijn Kops dan seorang penulis Belanda lainnya, adalah Istana Kota Batu yang kisahkan di dalam Syair Sultan Mahmud. Dalam Syair dikisahkan Sultan Mahmud Muzzafar Syah membangun istana baru yang bergaya Belanda di lokasi hulu negeri berdekatan dengan hulu sungai. Lokasi yang dipilih pada masa itu lahan yang masih berupa hutan belukar. Gambar rancangan bangunan dibeli di Singapura dari seorang saudagar Cina. Istana dibangun menggunakan batu bata, beratap genting, berlantai ubin dan jendela menggunakan kaca. Istana yang dibangun dijadikan kediaman baru untuk sultan. Kisah istana baru Sultan Mahmud Muzzafar Syah juga dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis yang dikisahkan,

Kemudian daripada itu ianya balik ke Lingga berbuat istana seperti rumah orang putih. Indah-indah juga perbuatannya serta dengan besarnya. Maka belumlah pernah raja-raja yang di dalam negeri Lingga dan Riau  memperbuat istana yang demikian itu. Serta cukup dengan alat perkakasnya yang indah-indah dan halus-halus serta ditaruhnya beberapa makanan orang putih, minum-minuman di dalam istana itu. Serta beberapa gambar-gambar pada dinding-dinding istana itu, dan apabila orang putih seperti Residen Riau dan lainnya datang, maka istana itulah diterimanya serta diperjamunya makan minum demikina halnya. Dan beberapa pula anjing-anjing yang besar ditaruh disitu dengan peliharanya seperti adat peliharaan orang putih jua adanya intiha mulakhasa (Winstedt, 1932:278-279).

          Netscher yang pernah menjabat Residen Riau di zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah pernah datang ke Daik dan menginap di Istana Kota Batu yang disebutnya sebagai rumah batu bekas istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang dipecat tahun 1857. Kisah kunjungannya ke Daik ditulis  dalam Togtjes in Het Gebied van Riouw en Onderhoorigheden bagian Het Eiland Lingga yang dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkunde, Deel XII, Vierde Serie Deel III  terbit tahun 1862. Pada tanggal 26 September 1861, Netscher bersama rombongan mengunjungi Daik dari sungai Resun dengan berjalan kaki melewati jalan setapak. Dari sungai Resun rombongan Netscher melewati kampung dan kebun orang Bangka, Mendekati Daik, rombongan melewati Kampung Sepincan dan seterusnya memasuki Kampung Pahang.

          Dari Kampung Pahang rombongan menyeberangi sungai Daik dengan menggunakan sampan. Selanjutnya rombongan menuju bekas istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah untuk menginap. Pada 27 September, dari Istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah, Netscher mengadakan kunjungan ke kota utama Daik yang berada dekat dengan Kampung Bugis dan terpisah dari Kampung Sepincan. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tinggal di rumah kayu besar di dekat tepi sungai. Sultan mencoba mengumpulkan modal dari perusahaan dagang untuk membangun istana yang layak untuknya. Netscher mengunjungi juga kampung Cina yang paling dekat dengan muara dan terletak di sebelah kanan sungai. Di ujung kampung ada bangunan batu tempat rumah ibadah orang Cina.

          Catatan tentang kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah juga dicatat oleh J. E. Teysmann inspektur kehormatan kebudayaan Hindia Belanda yang datang ke Lingga dalam tulisannya Verslag eener Botanische Reis Naar Bangka, Riouw en Lingga van 10 Mei tot en met 9 Desember 1872 yang dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrif voor Nederlandsch Indie, Uitgegeven door de Koninklijke Natuurkundige Vereenigin, Nederlandsch Indie, Dell XXXIV, Zevendie Serie, Deel IV, terbit tahun 1874. Teysmann berlayar dari Riau ditemani oleh Datuk Setia Abu Hasan menuju ke Daik, Pulau Lingga pada 17 Agustus 1872.  Karena kendala cuaca dilautan yang kurang baik dan singgah ke beberapa pulau mengakibatkan sampai ke Daik tempat kedudukan sultan dan asisten residen Lingga, pada 24 Agustus 1872.

          Menurut catatan, Teysmann bersama Datuk Setia Abu Hasan dan Asisten Residen L. F. Goldman, menyusuri Sungai Daik menuju ke laut untuk mengamati keadaan sekitar. Selepas dari laut mereka masuk kembali ke aliran sungai menuju hulu dan sampai ke Kampung Cina.  Jalan yang sejajar dengan sungai yang  melintasi Kampung Cina melewati kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dan berlanjut menuju ke kediaman asisten residen. Menyusuri lagi ke arah hulu, akan tiba di Kampung Daik dan ditemukan rumah-rumah orang Melayu. Di antara rumah penduduk, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tinggal di tepi sungai di rumah papan yang bagus tapi tidak megah. Sultan sebelumnya yakni Sultan Mahmud Muzzafar Syah membangun istana yang disebut Teysmaan rumah batu, dan berukuran besar. Istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah pada masa itu telah ditinggalkan, tidak dihuni oleh siapa pun. Bangunan telah ditumbuhi oleh tumbuhan perusak dan pada akhirnya akan runtuh. Istana akan menjadi hutan belantara dan hanya jalan setapak berlumpur yang mengarah ke sana.

          Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf (1858-1899) semasa menetap di Daik mempunyai sebuah istana yang disebut Istana Robat Ahmadi. Disebut sebagai Istana Robat Ahmadi karena berkenaan dengan Raja Muhammad Yusuf yang menjadi imam Tarekat Naqsabandiah al-Mujadiddiah al-Ahmadiah dan istana dijadikan tempat pusat penyebaran tarekat. Walau pun telah mempunyai istana di Damnah, Sultan Abdurrahman Syah anak Raja Muhammad Yusuf kadang kala menjalankan urusan pemerintahan di Istana Robat Ahmadi. Nama Kampung Robat yang berada di kawasan Kantor Bupati Lingga diambil dari nama Istana Robat Ahmadi.

          Istana terakhir Kerajaan Lingga-Riau milik Sultan Abdurrahman  Muazzam Syah berada di hulu Damnah yang disebut sebagai Istana Damnah. Letak Istana Damnah berdekatan dengan Sungai Tanda dan berada pada sebelah kanan mudik sungai. Balai rung merupakan bangunan paling depan istana. Di depan balai rung terdapat jalan lurus menuju ke arah simpang tiga di bagian timur. Di simpang tiga, jalan yang mengarah ke utara menuju Istana Robat Ahmadi dan mengubungkan ke pusat Daik tempat beradanya alun-alun kerajaan. Jalan yang mengarah ke selatan menuju ke Tanjung Buton tempat Asisten Residen kala itu dan pelabuhan. Hanya Istana Damnah yang paling terkenal di tengah masyarakat Lingga karena sedari dulu telah ada jalan setapak menuju ke sana dan reruntuhannya dengan mudah dapat dilihat. Kini reruntuhan Istana Damnah, menyisakan pondasi balai rung, teras istana, tongkat beton dan lain-lain.

Lokasi-lokasi bekas Istana Sultan Lingga-Riau

          Merujuk catatan sejarah yang ada, wilayah yang pernah berdiri istana Sultan Abdurrahman Syah hingga zaman Sultan Mahmud Muzzafar Syah terletak di sebelah kiri mudik Sungai Daik dan berdekatan dengan Lapangan Hang Tuah, Kelurahan Daik. Lapangan Hang Tuah merupakan bagian dari alun-alun kerajaan. Jejak-jejak sisa bekas istana perlu dicari di kawasan hutan belukar sebelah barat Lapangan Hang Tuah. Penelusuran ke arah barat sampai batas Kampung Tanjungputus yang merupakan kampung tua yang telah dihuni penduduk sejak zaman kerajaan. Encik Ibrahim anak Syahbandar Riau Abdullah pernah bertugas di Daik, tinggal di Kampung Putus pada zaman Sultan Abdurrahman Syah. Dilihat dari posisi, letak komplek istana sultan antara Kampung Putus dan Lapangan Hang Tuah.

          Sebelah barat daya lapangan Hang Tuah terdapat Kampung Tembaga yang mengarah ke barat berbatasan dengan jalan yang menuju Kampung Tanjungputus. Di seberang jalan, arah barat terdapat deretan rumah penduduk, dan selanjutnya Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau. Wilayah masjid dulunya disebut Kampung Masjid. Kampung Masjid dan Kampung Tembaga dibatasi oleh jalan. Untuk menelusuri istana dari Lapangan Hang Tuah menuju barat daya batasnya sampai memasuki wilayah Kampung Tembaga.

          Masjid yang diceritakan oleh Angelbeek dan Cops berada tidak jauh dari istana, merupakan masjid Jamik Sultan Lingga-Riau yang ada sekarang ini. Letak masjid sebelah barat daya Lapangan Hang Tuah. Masjid pada mulanya dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, dan masih dapat digunakan hingga zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Kemudian karena bangunannya rusak tidak layak digunakan, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah membangun masjid baru di sekitar Kampung Tanjungputus. Sayang masjid yang dibangun baru tidak bertahan lama  karena mengalami kerusakan yang membahayakan. Masjid tidak digunakan lagi, dan untuk shalat berjamaah digunakan bangunan bekas kantor hakim. Pada tahun 1900, sultan pindah ke Pulau Penyengat, Riau. Raja Abdurrahman seorang keturunan bangsawan Lingga-Riau dilantik menjadi wakil kerajaan. Raja Abdurrahman yang membuat kebijakan membangun masjid baru di atas reruntuhan masjid yang dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Masjid selesai dibangun pada tahun 1909 dan masih dapat digunakan hingga masa kini.

          Mengenai letak istana yang dikatakan Cops terletak sebelah kanan Sungai Daik, saat dia menyusuri dari hilir sungai menuju hulu, perlu penulis jelaskan sehingga letak istana sesuai dengan lokasi yang sebenarnya. Letak istana di sebelah kanan sungai bermaksud jika menyusuri dari arah hulu Sungai Daik. Letak istana berada di sebelah kiri jika menyusuri sungai dari arah hilir atau muara. Istana yang terletak di sebelah kiri, satu daratan dan tidak jauh dengan Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau.

          Letak Istana Keraton yang dibangun oleh Sultan Muhammad Syah masih berdekatan dengan istana Sultan Abdurrahman Syah dan alun-alun. Hanya Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857) anak dari Sultan Muhammad Syah, sultan pertama yang membangun istana baru yang jauh dari alun-alun dan jauh dari masjid. Lokasi istana tidak jauh dengan bagian hulu Sungai Daik. Sebelum dibangun lokasi istana merupakan hutan belantara. Istana baru yang dibangun Sultan Mahmud Muzzafar Syah disebut Istana Kota Batu. Sebelum membangun Istana Kota Batu, Sultan Mahmud Muzzafar Syah tinggal di istana yang berdekatan dengan alun-alun dan tidak jauh dengan masjid.

           Istana Kota Batu yang dibangun oleh Sultan Mahmud Muzzzafar Syah terletak di sebelah barat Kantor Kemenag Kabupaten Lingga. Istana Kota Batu dalam peta tulisan tangan yang ditulis  Khalid Hitam tahun 1987 di Daik disebut Kota Marhum Pahang yang menunjukkan istana milik Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang mangkat di Pahang. Khalid Hitam seorang guru ngaji Al-Quran dan guru agama yang mengajar di rumahnya  di Kampung Tanda Hulu, Daik. Dia salah seorang yang berminat dan peduli pada sejarah. Almarhum Khalid Hitam murid dari Tengku Muhammad Saleh seorang ulama Daik, keturunan Sultan Lingga-Riau. Khalid Hitam mendapatkan berbagai informasi sejarah dari gurunya Tengku Muhammad Saleh yang juga seorang peduli sejarah Lingga-Riau.

          Berdasarkan peta tulisan tangan yang ditulis  Khalid Hitam, lokasi Istana Robat Ahmadi berada di sekitar halaman depan halaman kantor Bupati Lingga pada bagian sisi sebelah utara menuju lahan kebun buah-buahan milik masyarakat. Di sebelah utara terdapat kolam besar yang telah mengering dan airnya pernah digunakan untuk kebutuhan pabrik sagu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Di sebelah timur kolam, ditepi jalan terdapat reruntuhan tembok bekas pabrik sagu milik Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Di sebelah utara kolam terdapat aliran Sungai Daik. 

           Untuk mengetahui keadaan bekas-bekas istana, perlu masuk hutan belukar mencari sisa-sisa yang masih tertinggal. Walau pun telah lebih dari satu abad berlalu dan telah menjadi hutan belukar tentunya sisa-sisa bekas istana dan sarana penunjang komplek kediaman sultan diduga masih dapat ditemukan. Kini bekas-bekas istana sultan masih berada dalam semak belukar menunggu untuk ditemukan sebagai situs cagar budaya, peninggalan penting dari sejarah dan tamadun Kerajaan Lingga-Riau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun