Catatan tentang kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah juga dicatat oleh J. E. Teysmann inspektur kehormatan kebudayaan Hindia Belanda yang datang ke Lingga dalam tulisannya Verslag eener Botanische Reis Naar Bangka, Riouw en Lingga van 10 Mei tot en met 9 Desember 1872 yang dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrif voor Nederlandsch Indie, Uitgegeven door de Koninklijke Natuurkundige Vereenigin, Nederlandsch Indie, Dell XXXIV, Zevendie Serie, Deel IV, terbit tahun 1874. Teysmann berlayar dari Riau ditemani oleh Datuk Setia Abu Hasan menuju ke Daik, Pulau Lingga pada 17 Agustus 1872.  Karena kendala cuaca dilautan yang kurang baik dan singgah ke beberapa pulau mengakibatkan sampai ke Daik tempat kedudukan sultan dan asisten residen Lingga, pada 24 Agustus 1872.
     Menurut catatan, Teysmann bersama Datuk Setia Abu Hasan dan Asisten Residen L. F. Goldman, menyusuri Sungai Daik menuju ke laut untuk mengamati keadaan sekitar. Selepas dari laut mereka masuk kembali ke aliran sungai menuju hulu dan sampai ke Kampung Cina.  Jalan yang sejajar dengan sungai yang  melintasi Kampung Cina melewati kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dan berlanjut menuju ke kediaman asisten residen. Menyusuri lagi ke arah hulu, akan tiba di Kampung Daik dan ditemukan rumah-rumah orang Melayu. Di antara rumah penduduk, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tinggal di tepi sungai di rumah papan yang bagus tapi tidak megah. Sultan sebelumnya yakni Sultan Mahmud Muzzafar Syah membangun istana yang disebut Teysmaan rumah batu, dan berukuran besar. Istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah pada masa itu telah ditinggalkan, tidak dihuni oleh siapa pun. Bangunan telah ditumbuhi oleh tumbuhan perusak dan pada akhirnya akan runtuh. Istana akan menjadi hutan belantara dan hanya jalan setapak berlumpur yang mengarah ke sana.
     Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf (1858-1899) semasa menetap di Daik mempunyai sebuah istana yang disebut Istana Robat Ahmadi. Disebut sebagai Istana Robat Ahmadi karena berkenaan dengan Raja Muhammad Yusuf yang menjadi imam Tarekat Naqsabandiah al-Mujadiddiah al-Ahmadiah dan istana dijadikan tempat pusat penyebaran tarekat. Walau pun telah mempunyai istana di Damnah, Sultan Abdurrahman Syah anak Raja Muhammad Yusuf kadang kala menjalankan urusan pemerintahan di Istana Robat Ahmadi. Nama Kampung Robat yang berada di kawasan Kantor Bupati Lingga diambil dari nama Istana Robat Ahmadi.
     Istana terakhir Kerajaan Lingga-Riau milik Sultan Abdurrahman  Muazzam Syah berada di hulu Damnah yang disebut sebagai Istana Damnah. Letak Istana Damnah berdekatan dengan Sungai Tanda dan berada pada sebelah kanan mudik sungai. Balai rung merupakan bangunan paling depan istana. Di depan balai rung terdapat jalan lurus menuju ke arah simpang tiga di bagian timur. Di simpang tiga, jalan yang mengarah ke utara menuju Istana Robat Ahmadi dan mengubungkan ke pusat Daik tempat beradanya alun-alun kerajaan. Jalan yang mengarah ke selatan menuju ke Tanjung Buton tempat Asisten Residen kala itu dan pelabuhan. Hanya Istana Damnah yang paling terkenal di tengah masyarakat Lingga karena sedari dulu telah ada jalan setapak menuju ke sana dan reruntuhannya dengan mudah dapat dilihat. Kini reruntuhan Istana Damnah, menyisakan pondasi balai rung, teras istana, tongkat beton dan lain-lain.
Lokasi-lokasi bekas Istana Sultan Lingga-Riau
     Merujuk catatan sejarah yang ada, wilayah yang pernah berdiri istana Sultan Abdurrahman Syah hingga zaman Sultan Mahmud Muzzafar Syah terletak di sebelah kiri mudik Sungai Daik dan berdekatan dengan Lapangan Hang Tuah, Kelurahan Daik. Lapangan Hang Tuah merupakan bagian dari alun-alun kerajaan. Jejak-jejak sisa bekas istana perlu dicari di kawasan hutan belukar sebelah barat Lapangan Hang Tuah. Penelusuran ke arah barat sampai batas Kampung Tanjungputus yang merupakan kampung tua yang telah dihuni penduduk sejak zaman kerajaan. Encik Ibrahim anak Syahbandar Riau Abdullah pernah bertugas di Daik, tinggal di Kampung Putus pada zaman Sultan Abdurrahman Syah. Dilihat dari posisi, letak komplek istana sultan antara Kampung Putus dan Lapangan Hang Tuah.
     Sebelah barat daya lapangan Hang Tuah terdapat Kampung Tembaga yang mengarah ke barat berbatasan dengan jalan yang menuju Kampung Tanjungputus. Di seberang jalan, arah barat terdapat deretan rumah penduduk, dan selanjutnya Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau. Wilayah masjid dulunya disebut Kampung Masjid. Kampung Masjid dan Kampung Tembaga dibatasi oleh jalan. Untuk menelusuri istana dari Lapangan Hang Tuah menuju barat daya batasnya sampai memasuki wilayah Kampung Tembaga.
     Masjid yang diceritakan oleh Angelbeek dan Cops berada tidak jauh dari istana, merupakan masjid Jamik Sultan Lingga-Riau yang ada sekarang ini. Letak masjid sebelah barat daya Lapangan Hang Tuah. Masjid pada mulanya dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, dan masih dapat digunakan hingga zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Kemudian karena bangunannya rusak tidak layak digunakan, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah membangun masjid baru di sekitar Kampung Tanjungputus. Sayang masjid yang dibangun baru tidak bertahan lama  karena mengalami kerusakan yang membahayakan. Masjid tidak digunakan lagi, dan untuk shalat berjamaah digunakan bangunan bekas kantor hakim. Pada tahun 1900, sultan pindah ke Pulau Penyengat, Riau. Raja Abdurrahman seorang keturunan bangsawan Lingga-Riau dilantik menjadi wakil kerajaan. Raja Abdurrahman yang membuat kebijakan membangun masjid baru di atas reruntuhan masjid yang dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Masjid selesai dibangun pada tahun 1909 dan masih dapat digunakan hingga masa kini.
     Mengenai letak istana yang dikatakan Cops terletak sebelah kanan Sungai Daik, saat dia menyusuri dari hilir sungai menuju hulu, perlu penulis jelaskan sehingga letak istana sesuai dengan lokasi yang sebenarnya. Letak istana di sebelah kanan sungai bermaksud jika menyusuri dari arah hulu Sungai Daik. Letak istana berada di sebelah kiri jika menyusuri sungai dari arah hilir atau muara. Istana yang terletak di sebelah kiri, satu daratan dan tidak jauh dengan Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau.
     Letak Istana Keraton yang dibangun oleh Sultan Muhammad Syah masih berdekatan dengan istana Sultan Abdurrahman Syah dan alun-alun. Hanya Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857) anak dari Sultan Muhammad Syah, sultan pertama yang membangun istana baru yang jauh dari alun-alun dan jauh dari masjid. Lokasi istana tidak jauh dengan bagian hulu Sungai Daik. Sebelum dibangun lokasi istana merupakan hutan belantara. Istana baru yang dibangun Sultan Mahmud Muzzafar Syah disebut Istana Kota Batu. Sebelum membangun Istana Kota Batu, Sultan Mahmud Muzzafar Syah tinggal di istana yang berdekatan dengan alun-alun dan tidak jauh dengan masjid.
      Istana Kota Batu yang dibangun oleh Sultan Mahmud Muzzzafar Syah terletak di sebelah barat Kantor Kemenag Kabupaten Lingga. Istana Kota Batu dalam peta tulisan tangan yang ditulis  Khalid Hitam tahun 1987 di Daik disebut Kota Marhum Pahang yang menunjukkan istana milik Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang mangkat di Pahang. Khalid Hitam seorang guru ngaji Al-Quran dan guru agama yang mengajar di rumahnya  di Kampung Tanda Hulu, Daik. Dia salah seorang yang berminat dan peduli pada sejarah. Almarhum Khalid Hitam murid dari Tengku Muhammad Saleh seorang ulama Daik, keturunan Sultan Lingga-Riau. Khalid Hitam mendapatkan berbagai informasi sejarah dari gurunya Tengku Muhammad Saleh yang juga seorang peduli sejarah Lingga-Riau.