Perwujudan merupakan cara atau proses suatu perihal dengan perbuatan yang konkret. Akulturasi budaya Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu contoh perwujudan yang benar-benar ada.
Umumnya, akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Percampuran budaya tersebut menyerap sebagian masyarakat secara perlahan-lahan dan selektif. Salah satu contohnya yaitu hasil dari pertemuan kebudayaan itu menghasilkan bahasa yang dipahami satu sama lain.
Akulturasi sama dengan kontak budaya, yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).
Proses dari wujud akulturasi kebudayaan terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama yang kemudian kebudayaan tersebut saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan, salah satunya kebudayaan orang Tionghoa dan Indonesia. Di Indonesia, banyak ditemui orang Tionghoa yang datang bahkan menetap dan sudah memiliki sejarah yang panjang.
Orang Tionghoa sudah mengenal Indonesia sejak abad ke-5 Masehi, dan selama beberapa abad jumlahnya terus bertambah (Handinoto, 2009:72). Sejak dahulu, orang Tionghoa sudah memiliki peran dalam perkembangan bangsa Indonesia, baik dari budaya, seni, maupun agama.
Oleh karena itu, dalam artikel ini akan membahas mengenai “Perwujudan Akulturasi Budaya Tionghoa-Indonesia” diantaranya seperti, sejarah orang Tionghoa memasuki wilayah Indonesia, bagaimana orang Tionghoa bisa menyebar di wilayah Indonesia, apa pengaruhnya, serta apa perwujudan akulturasi dari budaya Tionghoa ke Indonesia.
Sejarah Orang Tionghoa Memasuki Wilayah Indonesia
Orang Tionghoa dikenal memiliki proses berpikir yang berkualitas. Seperti pepatah mengatakan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”, ini bukan hanya sebagai uraian kata-kata yang tidak bermakna namun memiliki makna yang menyatakan bahwa peradaban dan kebudayaan yang dimiliki negeri China perlu diperhitungkan.
Sebelum Islam datang, negeri China sudah menunjukkan kemajuan lewat teknologi dan ilmu pengetahuan. China sudah mengenal ilmu astronomi, perkapalan dan perkisaran mata angin sehingga membuat orang-orang negeri China mudah untuk melanglang-buana sampai ke Timur Tengah hingga Asia termasuk Indonesia.
Kontak pertama etnis Tionghoa dengan penduduk asli negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan terjadi pada abad ke-13 SM mulai dari Tongkin dan Aman ke Kamboja, Siam, Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Jawa (Hidajat Z. M., 1993).
Sekitar abad ke-7, agama Islam mulai dikenal di Nusantara termasuk Jawa. Perkenalan agama Islam ini tidak lepas dari pengaruh China yang sebelumnya telah berlayar ke Timur Tengah dan membawa serta mengenalkan agama Islam ke sebagian wilayah Nusantara. Orang-orang Tionghoa mendarat di Banten dan juga Cirebon atau lebih tepatnya di pantai utara dengan menggunakan jalur perdagangan.
Selain menyebarkan agama Islam, orang-orang Tionghoa memperkenalkan kebudayaan asli mereka kepada penduduk setempat. Pengenalan kebudayaan tersebut mempengaruhi persilangan budaya dan persimpangan niaga antar negara sebagai akibat dari Jawa yang memberikan celah kepada orang-orang asing untuk turut berpartisipasi dalam menciptakan sebuah tatanan sosial, politik, ekonomi yang dinamis.
Penyebaran, Pengaruh dan Perwujudan Akulturasi Budaya Tionghoa-Indonesia
Orang-orang Tionghoa sudah datang ke Indonesia sebelum orang Belanda. Orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan penuh kedamaian. Mata pencaharian mereka yaitu berdagang hingga bertani. Selama tinggal di Indonesia, orang Tionghoa dikenal rajin dan pintar mencari uang apalagi dibidang perdagangan. Akibat kedatangan orang Tionghoa maka penyebaran maupun akulturasi budaya tidak bisa dipisahkan.
Penyebaran budaya Tionghoa di Indonesia dimulai ketika jalur perdagangan pantai utara Jawa memberikan kebebasan orang asing ikut berpartisipasi untuk menciptakan sebuah tatanan sosial, politik, ekonomi yang dinamis. Akibat adanya ruang keterbukaan ini, perlahan-lahan budaya China mampu membaur dengan budaya setempat termasuk membaur dengan bahasa, makanan, pakaian hingga agama di Indonesia.
Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Pada permulaan abad ke-19, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Batavia lebih dari 100.000 orang, dari populasi penduduk pulau Jawa kurang lebih 5.000.000 orang (Scott Merrillees dalam Benny G. Setiono, 2003). Pada tahun 2004, etnis Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang (Megawati dan Etnis Tionghoa, 2004).
Menurut J.J. Honingmann ada tiga gejala kebudayaan, yaitu Ideas, Activities, dan Artifact (Koentjaraningrat, 2003:74). Hal ini berkaitan dengan penyebaran budaya yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, yang memberikan pengaruh terhadap kebudayaan Indonesia dan menjadi sebuah berkah juga insiprasi bagi seniman-seniman lokal Indonesia serta dapat memperkaya kebudayaan bagi Indonesia.
Salah satu contoh akulturasi budaya China dengan Indonesia yaitu suku Betawi. Kesenian di Betawi yaitu kesenian Cokek dan Lenong merupakan hasil dari akulturasi budaya China dan Betawi. Dikutip dari islamcendekia.com, musik Tanjidor yang identik sebagai musik khas Betawi pun menggunakan alat musik khas ala China seperti Rebab. Selain kesenian, orang Tionghoa juga memperkenalkan ilmu bela diri yaitu silat yang dipelajari orang Betawi secara turun-temurun. Lebih dari itu, sikap pemberani orang Betawi juga merupakan hasil peleburan budaya orang Tionghoa.
Fenomena akulturasi budaya banyak terdapat pada budaya Jawa dan Islam. Al Qurtuby menyebut fenomena ini sebagai Sino-Javanese Muslim Culture atau perpaduan Tionghoa, Jawa, Islam (Al Qurtuby, 2003: 175). Bentuk Sino-Javanese Muslim Culture salah satunya dapat terlihat pada beberapa arsitektur masjid. Adanya Muslim Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu faktor terjadinya akulturasi budaya tersebut.
Perkembangan masjid di Indonesia dimulai sejak abad ke-7. Tapi, pada abad ke-16, terdapat adaptasi dari bangunan bergaya Hindu-Budha pada bangunan masjid. Ciri khasnya adalah bangunan bertiang tunggal, atapnya perisai dan bersusun, semakin banyak susunannya, semakin tinggi kesuciannya.
Di Jawa, bentuk-bentuk seperti ini berkembang menjadi tempat ibadah Agama Islam (Tjahjono, 2009:244-248). Corak-corak candi juga sangat familiar dalam desain bangunan masjid pada jaman Hindu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok 2 perkembangan masjid adalah kebudayaan lama yang di-Islamkan (Rochym, 1995:53).
Di Bandung, ada sebuah masjid yang didirikan dengan nuansa Tionghoa yaitu Masjid Lautze 2. Bentuk bangunan Masjid Lautze 2 lebih menyerupai kelenteng daripada masjid. Eksterior dan interior masjid yang di dominasi oleh warna merah cerah mengingatkan pengunjung pada warna-warna vihara dan kelenteng.
Dilihat dari bangunan fisik masjid ini, terdapat akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Islam. Akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).
Adanya pengaruh dan perwujudan akulturasi Tionghoa di Indonesia merupakan proses suatu perihal dengan perbuatan yang konkret. Percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi melahirkan sebuah ciri khas atau menjadikan sesuatu yang sukar diubah. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya.
Daftar Sumber
FKR. 2004. Megawati dan Etnis Tionghoa. FKR
Handinoto. (2009). Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Intisari Mediatama dan Komunitas-Lintas Budaya Indonesia
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Mutakin, Hidayat Z. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito
Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Yogjakarta : Inspeal Ahimsakarya Press
Rochym, A. (1995). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa
Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia
Tjahjono, Achmad. 2009. Akuntansi Suatu Pengantar 2. Yogyakarta : Ganbika
“Chinese Values” melalui diakses [30/04/17]
“Akulturasi Budaya Dalam Aritektur Bangunan Masjid Lautze 2 Bandung” melalui < repository.maranatha.edu> diakses [30/04/17]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H