Nama : Muhammad Faqih
NIM : 23010400181
Mata kuliah : Komunikasi Massa (UAS)
Dosen penngampu : Sofia Hasna, S.I.Kom., M.A
"Kebebasan Pers dan Regulasi : Perlindungan atau Pembatasan?"
Oleh:
Â
Pengantar
Â
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam sebuah negara demokrasi. Kebebasan ini memungkinkan media untuk menginformasikan publik, mengawasi pemerintah, dan menjadi sarana komunikasi antara masyarakat dan pembuat kebijakan. Namun, kebebasan pers tidak selalu berjalan tanpa hambatan. Regulasi dan kebijakan pemerintah sering kali menjadi faktor penentu sejauh mana kebebasan ini bisa dinikmati. Di satu sisi, regulasi dianggap penting untuk melindungi masyarakat dari informasi yang salah dan menyesatkan. Di sisi lain, regulasi sering kali dianggap sebagai alat untuk membatasi kebebasan pers. Lantas, apakah regulasi ini lebih banyak memberikan perlindungan atau justru pembatasan?
Â
Perlindungan melalui Regulasi
Â
Regulasi dalam dunia pers sering kali dianggap sebagai bentuk perlindungan. Melalui regulasi, pemerintah bisa memastikan bahwa informasi yang disampaikan oleh media adalah akurat dan tidak menyesatkan. Salah satu contoh regulasi yang sering disebut adalah undang-undang tentang pencemaran nama baik. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi individu dari informasi yang salah dan merugikan. Dalam konteks ini, regulasi dapat dianggap sebagai alat yang penting untuk menjaga integritas informasi dan melindungi masyarakat dari berita palsu atau hoaks.
Â
Sebagai contoh, di Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sering digunakan untuk menindak penyebar hoaks dan informasi menyesatkan di media sosial. Meskipun undang-undang ini sering kali menuai kritik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa regulasi semacam ini penting untuk menjaga agar informasi yang beredar di masyarakat tetap akurat dan dapat dipercaya.
Â
Kasus Pembatasan Kebebasan Pers
Â
Di sisi lain, regulasi juga bisa menjadi alat untuk membatasi kebebasan pers. Regulasi yang berlebihan atau digunakan secara tidak tepat bisa menghambat media dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintah dan penyampai informasi. Salah satu kasus yang sering dijadikan contoh adalah pembatasan akses internet di beberapa negara saat terjadi unjuk rasa atau gejolak politik. Pembatasan ini sering kali dilakukan dengan dalih menjaga keamanan nasional, namun pada kenyataannya, hal ini juga bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis yang berusaha menyampaikan informasi kepada publik.
Â
Contoh nyata terjadi di Indonesia pada tahun 2019, ketika pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat saat terjadi aksi demonstrasi besar-besaran. Langkah ini diambil dengan alasan untuk mencegah penyebaran hoaks dan informasi provokatif. Namun, tindakan ini juga mendapatkan kritik karena dianggap membatasi kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Â
Regulasi yang Seimbang
Â
Untuk menjawab pertanyaan apakah regulasi lebih banyak memberikan perlindungan atau pembatasan, jawabannya tergantung pada bagaimana regulasi tersebut diterapkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan dan kebebasan. Regulasi tidak boleh digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau membatasi kebebasan pers, tetapi harus mampu melindungi masyarakat dari informasi yang salah dan menyesatkan.
Â
Namun, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Regulasi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru sering kali digunakan sebagai senjata untuk menekan kebebasan pers. Pemerintah dan pihak berwenang kadang-kadang menggunakan regulasi sebagai tameng untuk menutupi kekurangan dan kesalahan mereka. Ketika media mencoba untuk mengungkapkan kebenaran atau mengkritisi kebijakan yang tidak populer, regulasi tersebut digunakan untuk menekan dan membungkam suara kritis. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Â
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa regulasi yang seimbang dan adil harus didasarkan pada prinsip transparansi dan partisipasi. Proses pembuatan regulasi harus melibatkan berbagai pihak, termasuk media, masyarakat sipil, akademisi, dan pakar hukum. Dengan melibatkan banyak pihak, regulasi yang dihasilkan akan lebih komprehensif dan berimbang. Selain itu, regulasi tersebut harus diawasi oleh lembaga independen yang bebas dari campur tangan pemerintah atau kepentingan politik tertentu.
Â
Regulasi yang baik harus jelas dan tegas dalam membedakan antara kritik yang konstruktif dan informasi yang menyesatkan. Kritik terhadap pemerintah atau kebijakan publik adalah bagian penting dari fungsi pers yang sehat dan demokratis. Regulasi harus melindungi hak media untuk mengkritik dan mengungkapkan pendapat tanpa takut akan tindakan hukum yang tidak adil. Namun, di sisi lain, regulasi juga harus tegas dalam menangani penyebaran berita palsu yang bisa merusak tatanan sosial dan kepercayaan publik.
Â
Kesimpulan
Â
Kebebasan pers dan regulasi adalah dua hal yang saling berkaitan dan membutuhkan keseimbangan yang tepat. Regulasi yang tepat bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat dari informasi yang salah dan menyesatkan, sementara kebebasan pers yang terjamin bisa memastikan bahwa media tetap mampu menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi dan pengawas pemerintah.
REFERENSI
Ariyanti, V. (2010). KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF PERADILAN PIDANA. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 1--13. https://doi.org/10.24090/komunika.v4i1.134
Mahdi, A. (2015). KEBEBASAN PERS DAN HAK PUBLIK. Al-Hikmah, 8(1). https://doi.org/10.24260/al-hikmah.v8i1.67
Wahyudin, A., & Sumanto, L. (2024). Kebebasan Pers Dalam Kerangka Hukum Pelindungan Data Pribadi Di Indonesia. Journal of Law, Administration, and Social Science, 4(5), 683--690. https://doi.org/10.54957/jolas.v4i5.823
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H