Mohon tunggu...
Meyta Salma
Meyta Salma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hot and young

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mengurai Kompleksitas Persoalan Melalui Puisi

19 Juni 2023   16:51 Diperbarui: 19 Juni 2023   17:08 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Judul Buku         : Ikan Adalah Pertapa

Pengarang         :  KO Hyeong Ryeol

Penerjemah      : Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah

Penerbit             :  KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta

Tahun Terbit   :  2023

Tebal                   :  xxiii + 259

            Puisi itu sakit, putus asa, tertunda dan terasing, demikian menurut KO Hyeong Ryeol. Kutipan tersebut terdapat dalam ”Prosa Penyair” yang sekiranya dapat menggambarkan kecenderungan tema dari sebagian puisi dalam antologi puisi Ikan Adalah Pertapa ini. Buku ini merupakan kumpulan puisi dwi bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Awalnya berbahasa Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Penyair KO menuliskan puisi ini menjadi empat bagian, yang setiap bagiannya memuat lima belas buah puisi. Selain itu, dalam buku ini pun disertakan karya prosa berupa esai. Pada 60 puisi tersebut, kita akan menemukan tema yang berkaitan dengan permasalahan sosial dan renungan penyair mengenai nilai-nilai kehidupan.

            Kita mulai dengan puisi yang menyorot permasalahan sosial, salah satunya ialah puisi yang berjudul ”Sebuah Puisi yang Tak Dapat Ditulis”. Dalam puisi tersebut, penyair menggambarkan kemiskinan yang terjadi di Kota Seoul. Penyair menggambarkan hal tersebut dengan:

Kota Seoul di mana sepuluh juta penduduk mengambil jalan yang berbeda//

Bagian bawah kursi yang terasa sejuk, membuat hati terasa nyeri/

Kenapa mereka menginjak es batu dengan telanjang kaki//

(”Sebuah Puisi yang Tak Dapat Ditulis”, Ryeol, hlm. 60 )

            Kesengsaraan dan kenyerian penduduk yang digambarkan dengan menginjak es batu dengan kaki telanjang/. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda, ada yang memang terlahir menjadi orang berada dan ada juga yang perlu bekerja sangat keras demi bertahan hidup. Ditemukan juga persoalan sosial yang berkaitan dengan ketimpangan sosial, seperti dalam puisi ”Kodok Sawah yang Memandang Lantai Dua”. Dalam puisi tersebut, penyair menggambarkan perasaan aku lirik: Pada malam hari setelah menanam padi/ dengan tangisan massal punggung mereka yang diperas/ (”Kodok Sawah yang Memandang Lantai Dua”, Ryeol, hlm. 132). Kesenjangan sosial antara seorang petani yang tenaganya dikuras habis dengan seseorang yang berada di gedung bertingkat.

            Permasalahan sosial yang diangkat dalam tema puisi di atas merupakan realitas sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Kehidupan di kota-kota besar yang di mana memperlihatkan kehidupan yang sebenar-benarnya. Ketimpangan sosial dalam kedua puisi di atas mencerminkan kesenjangan ekonomi yang signifikan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kelompok yang lebih kaya memiliki akses lebih besar terhadap pendapatan, kekayaan, dan kesempatan ekonomi, sementara kelompok yang lebih miskin mengalami keterbatasan tersebut.

            Selain persoalan sosial, penyair pun menyoroti tentang renungannya mengenai perbandingan hidup dengan orang lain. Dalam puisi ”Di Kotak Pos Nomor 203”, penyair mencoba mengungkapkan kecemburuan terhadap kehidupan orang lain yang tampak lebih baik. Penggambarannya terdapat pada larik-larik berikut:

Waktu terus menumpuk di satu-satunya kotak pos//

Kehidupan orang lain selalu tampak lebih ringan daripada kehidupan diri sendiri//

Bagaikan bayangan pohon yang daunnya tertidur menuju kehidupan lain/

ucapan bahwa masih ada tempat untuk kita tuju adalah mitos modern/

(”Di Kotak Pos Nomor 203”, Ryeol, hlm. 50)

            Kecemburuan tersebut tergambar jelas dalam larik-larik di atas. Hal tersebut umum dirasakan oleh sebagian orang yang menganggap kehidupannya lebih rendah atau kurang beruntung daripada orang lain. Merasa dunia ini tidak adil dan hanya baik pada beberapa orang. Alih-alih bersyukur pada apa yang terjadi, sebagian orang merasa iri terhadap mereka yang memiliki kehidupan yang lebih beruntung.

            Beralih dari puisi-puisi yang menggambarkan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kecemburuan. Salah satu puisi KO juga berbicara tentang keputusasaan yang mendalam. Hal itu terbaca pada puisi ”Seandainya Bintang-bintang di Langit Malam Lebih Terang”. Pada puisi itu membayang keadaan kegelisahan, kepedihan, kebingungan, juga keputusasaan. Dilukiskan dalam larik-larik berikut: Aku ingin bertanya pada diri sendiri, apa yang harus kulakukan sekarang?/ Ke mana aku disuruh pergi, tolong tunjukkan jalan itu/ (”Seandainya Bintang-bintang di Langit Malam Lebih Terang”, Ryeol, hlm. 88).

            Perasaan keputusasaan yang digambarkan oleh penyair sampai kepada pembaca. Harapan penyair mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tetapi, kehidupannya saat itu sedang tidak baik. Penyair memakai bahasa yang jelas dan lugas, tanpa memakai gaya bahasa tertentu maka dari itu maknanya sampai langsung kepada pembaca.  

            Selain puisi-puisi tentang persoalan sosial, penyair juga membuat puisi mengenai nilai kehidupan termasuk nilai-nilai religi. Pada puisi ”Melihat Langit-Langit” penyair mencoba menggambarkan perasaan seorang manusia dengan Tuhan-Nya. Terkadang kita sebagai manusia selalu berusaha sendiri dan tidak melibatkan Tuhan dalam menyikapi suatu masalah. Hal ini tergambar dalam larik-larik berikut: Sepertinya ada seseorang tinggal di atas sana/ Bisa mendengar bunyi penyedot debu yang menyapu lantai/ (”Melihat Langit-Langit”, Ryeol, hlm. 82). Bahasa puisi ini seolah tak menunjukkan penyair sedang membicarakan Tuhan, bahasanya terasa halus sebab penyair menggunakan imaji dan personifikasi. Namun pada larik selanjutnya: Walau tinggal bersama dengan debu yang terus muncul/ kita manusia tak dapat membiarkan masalah rumit di sana/ (”Melihat Langit-Langit”, Ryeol, hlm. 82), pembaca dapat memahami arah penggambaran penyair. Tuhan juga digambarkan dengan: Langit-langit melayani lantai seumur hidupnya/ (”Melihat Langit-Langit”, Ryeol, hlm. 82), yang berarti Tuhan selalu ada saat hamba-Nya membutuhkan . 

***

            Penyair KO Hyeong Ryeol banyak menggunakan diksi-diksi yang halus dan sarat akan makna. Puisi-puisi yang sekiranya akan menjadi topik sensitif dikemas dengan apik oleh penyair dengan gaya bahasa yang unik. Penyampaian kritikan serta renungan-renungan yang sebenarnya sangat mendalam dan akan menyentil beberapa orang dikemas dengan rapi oleh penyair sehingga tidak seperti sedang mengutarakan keresahan. Banyaknya simbol atau lambang yang tersembunyi di balik setiap tanda dan makna yang diungkapkan, sebagian menyulitkan pembaca awam dalam memahami maksud yang disampaikannya. Dengan demikian, untuk memahami puisi-puisi di dalamnya, pembaca memerlukan pengetahuan tentang simbol dan lambang yang terdapat di dalamnya sebab maksud tersebut pada umumnya tersembunyi di balik tanda tersebut yang tentu saja tidak kita ketahui secara langsung.***

Meyta Salma Nabila, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS UPI Bandung. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun