Kasihan Mr. Abbot dianggap kurang dewasa. Tapi bagi saya, Mr. Abbot tidak munafik. Mengungkit-ungkit itu sah-sah saja kalau konteksnya tepat, yaitu untuk menyadarkan orang yang tak tahu bersyukur. Hanya saja, saya tidak setuju juga dengan Mr.Abbot, mengungkit sesuatu yang sudah diberikan dengan tidak menghormati hukum di Indonesia. Itu mah, sewenang-wenang. Sedangkan kita rakyatnya harus tunduk sama hukum, masa' orang asing mau atur-atur hukum kita, kita saja tidak berwenang. Tentu bukan ukuran yang sepadan. Kalau mengungkit di saat butuh bantuan dana juga, ya sah-sah saja, itu namanya minta bantuan dalam hubungan kerjasama.
Hak orang koq untuk mengungkit. Saya juga kadang melakukannya kepada orang yang tak tahu bersyukur saat dikasi sesuatu tapi tidak diakui. Biar dia tahu, kalau orang yang tak tahu bersyukur ternyata lebih sulit untuk kehilangan & mengembalikan daripada mensyukuri dan ikhlas. Begitu cara mendidik orang yang tak tahu bersyukur.
Hanya saja, saya tidak mau menerima bantuan orang yang saya tahu orangnya suka mengungkit-ungkit kebaikannya tanpa ada angin & asap, apalagi tidak nyambung kayak Mr. Abbot ini. Soalnya saya bukan tipe orang yang suka neko-neko, dikasi hati tanpa saya minta ya syukur, tidak perlu minta jantung lagi biar orang tidak kesal. Tapi kalau suka mengungkit meski saya sudah syukuri, ya saya kembalikan dengan ikhlas.
Sebenarnya kita semua pada dasarnya pamrih koq. Cuma malu-malu saja mengutarakannya. Atau memang ingin membangun pencitraan, padahal dalam hati pamrih juga. Memangnya apa bedanya dengan ada yang dalam hati atau yang sudah telanjur keluar dari mulut? Sama-sama pamrih kan? Terlalu banyak contoh pamrih yang kita lakukan secara sopan & halus. Diantaranya:
1. Ke pernikahan, bawa amplop ditulisi nama. Kalau tidak pamrih, ya tidak usah tulis nama. Yang penting kan sudah bantu. Tapi susah kalau tidak tulis nama, katanya sudah budaya. Atau takut dikira tidak turut berpartisipasi.
2. Menyumbang untuk pembangunan rumah ibadah pun tulis nama. Padahal kalau kita sadar esensi dari pembangunan itu, agar kita segera dapat beribadah dengan nyaman, bukan beribadah dengan penuh kehormatan.
3. Pamrih kepada anak. Menyekolahkan anak biar nanti bisa bantu orangtua kalau sudah tua.
4. Pamrih kepada Tuhan. Berbuat kebaikan karena ingin masuk surga. Biar katanya kebaikan kita dihitung sebagai tiket masuk surga. Dan masih banyak lagi.
Itulah kenapa saya suka mengatakan apa yang sudah saya lakukan yang didefinisikan orang lain sebagai menceritakan kebaikan saya. Sebenarnya bukan kebaikan sih, tapi kewajiban, soalnya memang bukan orang baik, cuma takut saja berbuat jahat, nanti dijahati balik, ya repot kita. Soalnya kita ini ibarat pelabuhan, kapal datang turunkan barang, terus barangnya disebarluaskan lagi. Memang sudah fungsinya seperti itu. Bersyukur sekali kalau kita jadi pelabuhan, daripada tidak jadi apa-apa.
Saya punya keyakinan bahwa berkat yang kita terima, ada juga berkat orang lain di dalamnya. Jadi memang kita cuma dititipi. Jadi berbuat kebaikan itu bukan karena kita baik tapi memang sudah kewajiban. Secara pribadi, bersyukur sekali meski hidup saya tidak 100% enak, paling tidak, tidak melarat. Jadi memberi saja, asal jangan beri diri dipotas. Itu mah, dungu.
Jadi, sungguh kesal saya kalau ada orang yang tak tahu bersyukur saat diberi, terus masih mengeluh juga. Itulah saat dimana saya mengungkit-ungkit. Mengungkit-ungkit dalam konteks seperti itu, sama dengan bunyinya "eh, sudah syukur rezekimu yang dititip di saya, saya kasi. Kalau selalu tidak tahu bersyukur begitu, jangan sampai rezekimu yang ada di orang lain tidak akan pernah sampai-sampai di tanganmu tapi masuk ke mulut mereka karena mereka berpikir, dikasi atau tidak, ya tetap saja dia merasa gak dikasi, mending kita makan saja."