" Setan!"
"Semua sudah siap Gung, tidak perlu kamu ke dapur!" Bude Yem menggodaku, membuayarkan bayanganku. Aku hanya tersenyum simpul. Kulihat ada sepasang di meja. Terigu yang dilumat dengan air kemudian dibentuk boneka kecil dua manusia dengan bulatan-bulatan kecil di kiri kanannya di dalam takir. Takir itu kemudian dikukus. Itu adalah lambing kebersamaan sepasang pengantin. Sesuatu yang nisbi bagiku kini. Ada buceng di tampah yang dikitari urap dan sambal goring juga rempeyek. Ada jenang merah di piring kecil entah berapa jumlahnya. kue-kue entah apa namanya dan berapa jenisnya. Ada kembar mayang di pojokan. Akan ada kenduri besar di rumahku. Dalam rangka mbangun nikah, mbangun nikahku. Aku dan Sri sudah sepuluh tahun berpisah. Mereka takut aka nada yang berubah dari kami. kami akan sering bertengkar dan lain sebagainya. Agar pernikahan kami tetap berlanjut dan mendapat berkah, maka kami harus mengadakan kenduri ini. Di sini, di rumahku, dan juga di kubura, di makam leluluh kami. Bisakah ini menyelamatkan rumah tanggaku?
***
Bus ini melaju dengan cepat menerobos pekat. Angin seolah jadi musuh. Bertabrakan dengan besi kotak ini. Menghantam kaca dan masuk lewat celah jendela yang memang sengaja tak kututup. Kubenahi selimut anak perempuan di sampingku. Dia terlelap. Tidak tahu bahwa di luar angin ribut dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit. Tapi melihatmu, aku tak lagi merasakan angin itu ribut. Mereka malah berdendang kini. Berdansa dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit.
Dilla, putriku. Melihatmu, aku seperti melihat ibumu. Ibumu yang pertama kali kulihat hingga 10 tahun yang lalu. Melihat matamu, aku seperti melihat mata Sri. Nak, dulu Ibumu sangat lembut. Ibumu berjanji akan pulang dan menjalani hari-harinya bersama kita hingga akhir hayat. Sekarang ayah tidak bisa melihat ibumu dengan jelas. Dalam senja yang tak terang dan tak gelap ayah tidak bisa menimbang seperti apa ibumu. Mungkin juga ayah perlu tahu apa yang ibumu rasakan, tapi ayah tidak sanggup.
Sudahlah Nak! Ayah juga yang salah, ayah tidak bisa memberi ibumu yang terbaik sampai ibumu merantau ke tanah seberang. Ayah miskin. Tapi ayah laki-laki. Harga diri ayah tidak bisa dibeli dengan apa pun. Ayah pergi dengan harga diri yang masih utuh. Ayah pergi tanpa sepeser pun uang ibumu. Uang yang selama ini Ibumu kirimkan juga masih utuh dan buku tabungannya ayah letakkan di kamar bersama surat perpisahan ayah, juga kebaya putih ibumu. Kebaya yang ibumu kenakan saat pernikahan ayah dengan ibu. Ayah yang menang. Ayah menang atas harga diri ayah dan kamu. Temani ayah Nak!
Kukecup kening putriku, kupeluk dia erat. Dia masih terlelap. Tidak tahu bahwa di luar angin ribut dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit. Dia masih terlelap. Tidak membayangkan keributan yang terjadi di rumahnya dan di rumah eyangnya. Karena kami pergi tepat di saat upacara mbangun nikah itu berlangsung. Biarkan ribut menyatu dengan kabut malam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H