Judul:Â Manajemen dan Komunikasi Krisis PT. Blue Bird Indonesia
Nama Penulis: Meuthia Khairina Sabila
Dosen Pengampu: Saeful Mujab, S.Sos, M.l.Kom
Â
Abstrak
PT. Blue Bird, sebagai ikon transportasi Indonesia sejak 1972, menghadapi perubahan besar yang signifikan pada pertengahan 2010-an akibat persaingan dari layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Krisis reputasi yang memuncak pada 2016, diiringi demonstrasi anarkis pengemudi taksi, merusak citra perusahaan dan menyebabkan penurunan kepercayaan pelanggan serta kinerja finansial. Dalam menghadapi tantangan ini, Blue Bird menerapkan berbagai strategi pemulihan, termasuk permintaan maaf publik, peluncuran kampanye digital "Reimagining Blue Bird," kolaborasi dengan Gojek melalui layanan Go-Bluebird, dan pengembangan layanan seperti peluncuran armada kendaraan listrik serta layanan inklusif untuk difabel.
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif berbasis studi kasus untuk menganalisis langkah-langkah adaptasi strategis Blue Bird. Temuan menunjukkan bahwa inovasi teknologi, integrasi digital melalui aplikasi MyBluebird, serta fokus pada keberlanjutan berhasil memulihkan reputasi perusahaan dan meningkatkan kinerja keuangan, dengan laba bersih mencapai Rp 442 miliar pada 2024. Transformasi ini tidak hanya memulihkan posisi Blue Bird di industri transportasi tetapi juga memperkuat daya saingnya untuk menghadapi tantangan masa depan. Penelitian ini menekankan pentingnya inovasi, penggunaan teknologi, serta pengelolaan dan komunikasi yang baik saat menghadapi krisis untuk membantu perusahaan tetap bertahan di pasar yang terus berubah.
Pendahuluan
Didirikan pada tahun 1972, PT. Blue Bird telah menjadi ikon transportasi Indonesia yang dikenal karena kualitas, keamanan, dan kenyamanan layanannya. Dengan inovasi awal seperti sistem argo dan radio komunikasi, Blue Bird merevolusi industri transportasi konvensional. Perusahaan terus berinovasi dengan memperkenalkan GPS, aplikasi pemesanan taksi, dan standar layanan tinggi untuk memastikan profesionalisme pengemudi. Blue Bird berkembang menjadi penyedia layanan transportasi terintegrasi dengan portofolio yang mencakup taksi eksekutif Silver Bird, penyewaan mobil Golden Bird, serta bus carter Big Bird, yang melayani lebih dari 8,5 juta penumpang setiap bulan di berbagai kota besar di Indonesia. Selama bertahun-tahun, Blue Bird menerima banyak penghargaan yang semakin mengukuhkan reputasinya sebagai pemimpin pasar.
Namun, pada pertengahan 2010-an, Blue Bird menghadapi tantangan besar dengan munculnya layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab, yang membawa perubahan besar yang signifikan pada model bisnis konvensional. Dengan menawarkan kemudahan berbasis aplikasi, transparansi tarif, dan promosi yang agresif, perusahaan-perusahaan tersebut menarik banyak pelanggan, terutama di kalangan masyarakat urban. Dampaknya, Blue Bird mengalami penurunan pendapatan dan menghadapi tekanan kompetitif yang mengharuskan perusahaan menyesuaikan diri dengan cepat. Pada puncaknya, Blue Bird mengalami krisis reputasi besar pada tahun 2016 akibat demonstrasi anarkis yang melibatkan pengemudi taksinya, yang menciptakan sentimen negatif di media sosial dan menurunkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
Menghadapi tantangan ini, Blue Bird mengambil langkah strategis untuk memulihkan reputasi dan adaptasi jangka panjang. Perusahaan meluncurkan kampanye "Reimagining Blue Bird," yang disuarakan melalui platform digital untuk membangun kembali kepercayaan publik. Selain itu, kolaborasi dengan Gojek pada 2018 melalui layanan Go-Bluebird menunjukkan kemampuan Blue Bird untuk tetap relevan di era digital. Upaya pegembangan layanan, seperti peluncuran armada kendaraan listrik dan layanan khusus difabel, mencerminkan komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan dan inklusivitas. Langkah-langkah ini tidak hanya membantu Blue Bird pulih dari krisis, tetapi juga meningkatkan kinerja keuangan secara signifikan, sekaligus memperkuat posisinya sebagai pelaku utama di industri transportasi yang semakin kompetitif.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus (case study). Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi mendalam dan menyeluruh dari berbagai sudut pandang terkait satu kasus tertentu atau sejumlah kecil kasus. Kasus yang diteliti dapat mencakup organisasi, kelompok, komunitas, peristiwa, proses, atau kampanye tertentu. Fokus utama penelitian ini adalah menjawab pertanyaan mengenai apa yang terjadi (what), bagaimana (how), dan mengapa (why), sesuai dengan pandangan Christine Daymon dan Immy Holloway (2002:105).
Menurut Chen dan Pearce (dalam Christine Daymon dan Immy Holloway, 2002:115), interpretasi peneliti dalam studi kasus bersifat sementara karena tujuannya adalah menangkap gambaran peristiwa atau situasi yang bersifat kontemporer. Studi kasus memungkinkan peneliti menggunakan berbagai sumber data, yang dikenal dengan istilah triangulasi data. Data dalam studi kasus dapat diperoleh melalui wawancara, observasi, atau analisis dokumen. Dalam penelitian ini, pengumpulan data difokuskan pada analisis dokumen sebagai sumber utama.
Hasil dan Pembahasan
Â
Pra-krisis
PT. Blue Bird telah membangun reputasi yang kokoh sebagai salah satu perusahaan transportasi paling terpercaya di Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 1972, Blue Bird dikenal dengan inovasi-inovasinya yang merevolusi industri transportasi konvensional, seperti penerapan sistem argo untuk penentuan tarif perjalanan serta penggunaan radio komunikasi untuk meningkatkan efisiensi armada. Keberhasilan ini semakin diperkuat dengan pengenalan teknologi berbasis GPS yang mempermudah pelacakan kendaraan dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Selain itu, perusahaan menerapkan SOP (Standard Operating Procedure) yang ketat untuk memastikan pengemudi memberikan pelayanan terbaik. Pelatihan intensif bagi pengemudi mengenai etika, keamanan, dan profesionalisme membuat Blue Bird tidak hanya menjadi simbol transportasi yang andal tetapi juga menjadi pilihan utama masyarakat di berbagai kota besar di Indonesia. Blue Bird dikenal sebagai simbol kestabilan dan layanan berkualitas, yang menempatkannya di posisi dominan dalam industri taksi. Reputasi perusahaan tersebut begitu kuat hingga sering disebut sebagai "The Bird of Happiness" oleh pelanggan, yang merujuk pada kenyamanan dan keamanan yang dirasakan selama menggunakan layanan taksi mereka.
Reputasi Blue Bird didukung oleh penghargaan bergengsi seperti Indonesia Customer Satisfaction Award dan Indonesia Best Brand Award, yang mencerminkan pengakuan terhadap standar tinggi yang diusung perusahaan. Dengan lebih dari 8,5 juta penumpang yang dilayani setiap bulan, Blue Bird berhasil mempertahankan posisi dominannya melalui pengembangan layanan, termasuk taksi eksekutif Silver Bird, layanan penyewaan mobil Golden Bird, dan bus carter Big Bird. Semua pencapaian ini menjadikan Blue Bird sebagai pemimpin pasar yang tangguh di industri transportasi konvensional, dengan fokus pada kenyamanan, keamanan, dan inovasi teknologi.
Namun, pada pertengahan 2010-an, industri transportasi di Indonesia mulai mengalami perubahan besar yang signifikan dengan hadirnya layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Kedua perusahaan ini menghadirkan model bisnis berbasis aplikasi yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemesanan yang cepat melalui ponsel pintar, transparansi tarif, dan fleksibilitas pembayaran melalui dompet digital. Penawaran mereka yang inovatif dan disertai subsidi tarif agresif menciptakan daya tarik yang luar biasa bagi masyarakat urban, khususnya generasi muda yang terbiasa dengan teknologi. Kemudahan ini menjadi tantangan besar bagi Blue Bird yang masih mengandalkan sistem pemesanan manual dan tidak menawarkan promosi tarif yang kompetitif.
Seiring berjalannya waktu, perubahan preferensi pelanggan terhadap transportasi daring mulai berdampak signifikan pada pangsa pasar Blue Bird. Pelanggan, terutama di kota-kota besar, semakin beralih ke layanan transportasi daring karena menawarkan harga yang lebih terjangkau dan pengalaman pengguna yang lebih efisien. Situasi ini memaksa Blue Bird untuk menghadapi tantangan besar, terutama karena struktur biaya operasional yang tinggi membuatnya sulit bersaing dengan strategi harga rendah yang diadopsi oleh Gojek dan Grab. Kompetisi semakin tajam ketika perusahaan transportasi daring terus memperluas cakupan layanan mereka, menciptakan tekanan finansial yang signifikan bagi Blue Bird.
Meski tetap menjadi salah satu pemain utama di industri transportasi konvensional, Blue Bird mulai menunjukkan penurunan kinerja pada aspek operasional dan keuangan. Perubahan pola konsumsi masyarakat, ditambah dengan kemampuan adaptasi teknologi yang lebih cepat dari pesaingnya, menempatkan Blue Bird dalam posisi defensif. Tantangan ini menjadi momentum penting bagi perusahaan untuk mulai mempertimbangkan inovasi strategis yang lebih agresif, meskipun pada saat itu langkah-langkah konkret untuk beradaptasi masih terbatas. Situasi pra-krisis ini menggambarkan bagaimana Blue Bird, meskipun kuat secara tradisional, berada di bawah tekanan untuk tetap relevan di tengah lanskap industri yang berubah dengan cepat.
Krisis
Persaingan antara taksi konvensional dan transportasi daring semakin intensif, yang menyebabkan keresahan di kalangan pengemudi taksi. Salah satu kekhawatiran terbesar mereka adalah ancaman terhadap pendapatan yang selama ini mereka andalkan. Banyak pengemudi taksi merasa bahwa keberadaan layanan daring merampas sumber pendapatan mereka, karena tarif yang lebih murah dan metode pemesanan yang lebih praktis membuat pelanggan beralih. Dalam konteks ini, ketidakpuasan mulai berkembang di kalangan pengemudi taksi, yang pada akhirnya memicu serangkaian demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi ini pada dasarnya merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan oleh pengemudi taksi, yang merasa bahwa regulasi yang ada tidak mendukung mereka dalam menghadapi kompetisi dari layanan daring.
Pada puncaknya, demonstrasi tersebut melibatkan tindakan-tindakan yang jauh dari sekadar unjuk rasa damai. Kekerasan dan perusakan mulai terjadi, dengan pengemudi taksi yang terlibat dalam demonstrasi menyerang kendaraan-kendaraan transportasi daring. Intimidasi terhadap pengemudi daring pun terjadi secara meluas, diikuti oleh perusakan taksi daring dan bahkan konflik fisik antara kedua belah pihak. Kejadian-kejadian tersebut menciptakan ketegangan yang cukup besar, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri transportasi. Kekerasan ini semakin memperburuk citra taksi konvensional dan memperburuk persepsi publik terhadap pengemudi taksi sebagai kelompok yang terancam.
Ketika rekaman video aksi-aksi kekerasan ini mulai menyebar luas di media sosial, dampaknya langsung terasa pada citra Blue Bird. Masyarakat mulai menyebarkan video tersebut, dan memunculkan kritik yang sangat keras terhadap perusahaan, meskipun mereka bukan pelaku langsung kekerasan tersebut. Proses pergeseran citra ini berlangsung dengan cepat; yang dulunya Blue Bird dikenal sebagai "The Bird of Happiness," berubah menjadi "The Bird of Angriness." Meme-meme yang beredar di media sosial menggambarkan pergeseran ini, menambah buruk citra perusahaan yang sudah mulai tergerus akibat demonstrasi tersebut. Masyarakat menganggap bahwa perusahaan gagal mengendalikan situasi dan menanggapi kekerasan yang terjadi dengan cukup cepat dan efektif. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa memperburuk krisis dengan mempercepat penyebaran informasi negatif yang dapat merusak reputasi perusahaan.
Dampak langsung dari krisis ini adalah penurunan signifikan dalam kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan transportasi konvensional. Citra perusahaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap, dengan sebagian besar masyarakat mulai meragukan kredibilitas dan profesionalisme mereka. Kepercayaan publik adalah salah satu aspek yang sangat penting bagi perusahaan-perusahaan dalam industri ini, dan kehilangan kepercayaan tersebut menyebabkan penurunan yang signifikan dalam jumlah pelanggan. Selain itu, saham Blue Bird yang sempat melambung kini mengalami penurunan, mencerminkan reaksi pasar yang memperlihatkan kekhawatiran terhadap dampak jangka panjang dari krisis tersebut.
Krisis ini juga menyoroti kelemahan dalam manajemen krisis Blue Bird yang dianggap lambat dan kurang efektif dalam merespons situasi yang berkembang dengan cepat. Ketidakmampuan perusahaan untuk segera meredakan ketegangan dan memberikan pernyataan yang jelas kepada publik menyebabkan semakin berkembangnya ketidakpercayaan. Hal ini menunjukkan pentingnya strategi komunikasi yang cepat dan transparan dalam menghadapi krisis. Tanpa penanganan yang tepat, perusahaan bisa kehilangan lebih dari sekadar pelanggan dan saham, tetapi juga loyalitas serta dukungan publik yang sangat penting untuk keberlanjutan bisnis mereka.
Pasca-krisis
Blue Bird mengambil langkah-langkah pemulihan yang signifikan untuk memperbaiki reputasinya yang hancur akibat demonstrasi anarkis pada tahun 2016. Salah satu tindakan pertama yang dilakukan adalah permintaan maaf publik melalui pernyataan resmi. Dengan langkah ini, Blue Bird berupaya menunjukkan empati terhadap masyarakat yang terdampak dan memperbaiki citranya di mata publik. Permintaan maaf tersebut menjadi langkah awal untuk membangun kembali hubungan dengan pelanggan yang sempat kecewa. Selain itu, perusahaan menyediakan layanan taksi gratis kepada pelanggan yang terdampak secara langsung oleh aksi demonstrasi, sebagai bentuk kompensasi atas ketidaknyamanan yang terjadi. Strategi ini merupakan pendekatan jangka pendek untuk meredakan kemarahan publik sekaligus mengurangi sentimen negatif terhadap perusahaan.
Langkah lain yang tidak kalah penting adalah peluncuran kampanye digital "Reimagining Blue Bird" melalui platform seperti YouTube. Kampanye ini bertujuan untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat dengan menampilkan wajah baru perusahaan yang lebih inovatif dan berorientasi pada pelanggan. Melalui narasi positif dan visual yang menarik, Blue Bird berusaha mengubah persepsi publik dari perusahaan yang terlibat dalam kontroversi menjadi perusahaan yang mendukung kemajuan teknologi dan layanan berkualitas. Strategi komunikasi ini menjadi kunci dalam upaya pemulihan, terutama di era digital di mana citra perusahaan sangat dipengaruhi oleh opini yang tersebar melalui media sosial.
Dalam jangka panjang, Blue Bird mengambil langkah strategis untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di industri transportasi. Salah satu langkah signifikan adalah kolaborasi strategis dengan Gojek pada tahun 2018 melalui layanan Go-Bluebird. Kemitraan ini memungkinkan integrasi layanan taksi Blue Bird ke dalam platform Gojek, memberikan akses yang lebih luas kepada pelanggan untuk memesan taksi Blue Bird secara daring. Langkah ini tidak hanya memperkuat posisi Blue Bird di pasar, tetapi juga menunjukkan komitmennya untuk beradaptasi dengan tren teknologi yang semakin berkembang. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa Blue Bird mampu mengatasi persaingan dengan transportasi daring melalui kerja sama, bukan melalui konflik.
Selain kemitraan, Blue Bird juga melakukan pengembangan layanan untuk menjangkau segmen pasar yang lebih luas. Perusahaan meluncurkan armada kendaraan listrik seperti Silverbird Tesla. Peluncuran armada kendaraan listrik merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mendukung inisiatif ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Langkah ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga meningkatkan citra perusahaan di mata publik sebagai perusahaan yang peduli terhadap isu-isu global. Tidak hanya itu, Blue Bird juga memperkenalkan layanan khusus bagi difabel melalui Lifecare Vehicle, yang dirancang untuk memberikan aksesibilitas lebih baik bagi pelanggan dengan kebutuhan khusus. Pengembangan layanan ini mencerminkan upaya Blue Bird untuk beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang terus berkembang, sekaligus menghadirkan layanan inovatif yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan pelanggan Selain itu, Blue Bird mengintegrasikan teknologi ke dalam layanan mereka melalui aplikasi "MyBluebird" yang memungkinkan pelanggan memesan taksi langsung tanpa perantara pihak ketiga. Strategi ini tidak hanya memperkuat hubungan perusahaan dengan pelanggannya, tetapi juga menunjukkan komitmen Blue Bird untuk menghadirkan solusi digital yang kompetitif dan sesuai dengan kebutuhan konsumen di era modern.
Hasil dari langkah-langkah pemulihan tersebut mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2024, kinerja keuangan Blue Bird menunjukkan peningkatan yang signifikan, dengan laba bersih perusahaan mencapai Rp 442 miliar. Angka ini mencerminkan keberhasilan strategi pemulihan yang diterapkan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemulihan ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga memberikan fondasi yang kuat bagi perusahaan untuk terus berkembang di masa depan. Selain peningkatan kinerja keuangan, reputasi Blue Bird secara perlahan juga pulih. Kombinasi inovasi teknologi, pengembangan layanan, dan strategi komunikasi yang lebih adaptif berhasil mengubah persepsi publik terhadap perusahaan. Meskipun tantangan masih ada, Blue Bird telah membuktikan kemampuannya untuk bangkit dari krisis dan kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat. Melalui langkah-langkah tersebut, Blue Bird tidak hanya berhasil melewati masa sulit, tetapi juga membangun kembali posisi sebagai salah satu pemain utama di industri transportasi Indonesia. Krisis yang pernah menghancurkan reputasi perusahaan justru menjadi momentum untuk berinovasi dan memperkuat daya saingnya. Dengan terus fokus pada keberlanjutan, teknologi, dan kepuasan pelanggan, Blue Bird kini berada dalam posisi yang lebih baik untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Kesimpulan
PT. Blue Bird telah menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk krisis reputasi yang muncul akibat demonstrasi anarkis pada tahun 2016. Sejak berdiri pada tahun 1972, Blue Bird berhasil membangun reputasi yang kuat melalui inovasi dan kualitas layanan, namun kehadiran layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab memicu pergeseran yang signifikan. Krisis tersebut berdampak besar pada citra perusahaan, namun Blue Bird berhasil melakukan pemulihan melalui langkah-langkah strategis yang terencana dan inovatif. Permintaan maaf publik, kampanye digital, serta kolaborasi dengan Gojek dan pengembangan layanan mencerminkan komitmen perusahaan dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman serta memenuhi kebutuhan pasar yang semakin kompetitif. Selain itu, penerapan teknologi dalam layanan aplikasi MyBluebird dan inovasi seperti armada kendaraan listrik memperkuat posisi perusahaan. Hasil dari upaya pemulihan ini terlihat dalam peningkatan kinerja keuangan dan reputasi yang secara perlahan pulih. Dengan fokus pada inovasi, keberlanjutan, dan kepuasan pelanggan, Blue Bird kini lebih siap menghadapi tantangan masa depan dan terus mempertahankan posisinya sebagai pemain utama di industri transportasi Indonesia.
Daftar Pustaka
Arwani, A., Permana, R., Wijaya, I. S., & Shiddiq, M. Z. (2022, Desember). Analisis Strategi Dan Inovasi Bluebird Dalam Menghadapi Era Taksi Online. Jurnal Manajemen Pemasaran Internasional, 1(2), 78-87.
Febriyani, A. R. (2017, Desember). MANAJEMEN KRISIS DAN REPUTASI PERUSAHAAN TAKSI KONVENSIONAL TERKAIT DEMONSTRASI PENOLAKAN TAKSI ONLINE (Studi Kasus pada Blue Bird Group). Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(1), 1-13.
Oswaldo, I. G. (2024, November 5). Naik 20%, Laba Bluebird Sampai September 2024 Rp 442 Miliar. Retrieved from finance.detik.com: https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-7623028/naik-20-laba-bluebird-sampai-september-2024-rp-442-miliar
Rachmaniar, & Susanti, S. (2022, Desember). KOMUNIKASI STRATEGIS BLUE BIRD GROUP DI ERA INDUSTRI 4.0. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 164-171.
Suryani, I., & Sagiyanto, A. (2018, April 1). Strategi Manajemen Krisis Public Relations PT Blue Bird Group. Jurnal Communication, 9(1), 102-112.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H