Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus (case study). Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi mendalam dan menyeluruh dari berbagai sudut pandang terkait satu kasus tertentu atau sejumlah kecil kasus. Kasus yang diteliti dapat mencakup organisasi, kelompok, komunitas, peristiwa, proses, atau kampanye tertentu. Fokus utama penelitian ini adalah menjawab pertanyaan mengenai apa yang terjadi (what), bagaimana (how), dan mengapa (why), sesuai dengan pandangan Christine Daymon dan Immy Holloway (2002:105).
Menurut Chen dan Pearce (dalam Christine Daymon dan Immy Holloway, 2002:115), interpretasi peneliti dalam studi kasus bersifat sementara karena tujuannya adalah menangkap gambaran peristiwa atau situasi yang bersifat kontemporer. Studi kasus memungkinkan peneliti menggunakan berbagai sumber data, yang dikenal dengan istilah triangulasi data. Data dalam studi kasus dapat diperoleh melalui wawancara, observasi, atau analisis dokumen. Dalam penelitian ini, pengumpulan data difokuskan pada analisis dokumen sebagai sumber utama.
Hasil dan Pembahasan
Â
Pra-krisis
PT. Blue Bird telah membangun reputasi yang kokoh sebagai salah satu perusahaan transportasi paling terpercaya di Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 1972, Blue Bird dikenal dengan inovasi-inovasinya yang merevolusi industri transportasi konvensional, seperti penerapan sistem argo untuk penentuan tarif perjalanan serta penggunaan radio komunikasi untuk meningkatkan efisiensi armada. Keberhasilan ini semakin diperkuat dengan pengenalan teknologi berbasis GPS yang mempermudah pelacakan kendaraan dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Selain itu, perusahaan menerapkan SOP (Standard Operating Procedure) yang ketat untuk memastikan pengemudi memberikan pelayanan terbaik. Pelatihan intensif bagi pengemudi mengenai etika, keamanan, dan profesionalisme membuat Blue Bird tidak hanya menjadi simbol transportasi yang andal tetapi juga menjadi pilihan utama masyarakat di berbagai kota besar di Indonesia. Blue Bird dikenal sebagai simbol kestabilan dan layanan berkualitas, yang menempatkannya di posisi dominan dalam industri taksi. Reputasi perusahaan tersebut begitu kuat hingga sering disebut sebagai "The Bird of Happiness" oleh pelanggan, yang merujuk pada kenyamanan dan keamanan yang dirasakan selama menggunakan layanan taksi mereka.
Reputasi Blue Bird didukung oleh penghargaan bergengsi seperti Indonesia Customer Satisfaction Award dan Indonesia Best Brand Award, yang mencerminkan pengakuan terhadap standar tinggi yang diusung perusahaan. Dengan lebih dari 8,5 juta penumpang yang dilayani setiap bulan, Blue Bird berhasil mempertahankan posisi dominannya melalui pengembangan layanan, termasuk taksi eksekutif Silver Bird, layanan penyewaan mobil Golden Bird, dan bus carter Big Bird. Semua pencapaian ini menjadikan Blue Bird sebagai pemimpin pasar yang tangguh di industri transportasi konvensional, dengan fokus pada kenyamanan, keamanan, dan inovasi teknologi.
Namun, pada pertengahan 2010-an, industri transportasi di Indonesia mulai mengalami perubahan besar yang signifikan dengan hadirnya layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Kedua perusahaan ini menghadirkan model bisnis berbasis aplikasi yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemesanan yang cepat melalui ponsel pintar, transparansi tarif, dan fleksibilitas pembayaran melalui dompet digital. Penawaran mereka yang inovatif dan disertai subsidi tarif agresif menciptakan daya tarik yang luar biasa bagi masyarakat urban, khususnya generasi muda yang terbiasa dengan teknologi. Kemudahan ini menjadi tantangan besar bagi Blue Bird yang masih mengandalkan sistem pemesanan manual dan tidak menawarkan promosi tarif yang kompetitif.
Seiring berjalannya waktu, perubahan preferensi pelanggan terhadap transportasi daring mulai berdampak signifikan pada pangsa pasar Blue Bird. Pelanggan, terutama di kota-kota besar, semakin beralih ke layanan transportasi daring karena menawarkan harga yang lebih terjangkau dan pengalaman pengguna yang lebih efisien. Situasi ini memaksa Blue Bird untuk menghadapi tantangan besar, terutama karena struktur biaya operasional yang tinggi membuatnya sulit bersaing dengan strategi harga rendah yang diadopsi oleh Gojek dan Grab. Kompetisi semakin tajam ketika perusahaan transportasi daring terus memperluas cakupan layanan mereka, menciptakan tekanan finansial yang signifikan bagi Blue Bird.
Meski tetap menjadi salah satu pemain utama di industri transportasi konvensional, Blue Bird mulai menunjukkan penurunan kinerja pada aspek operasional dan keuangan. Perubahan pola konsumsi masyarakat, ditambah dengan kemampuan adaptasi teknologi yang lebih cepat dari pesaingnya, menempatkan Blue Bird dalam posisi defensif. Tantangan ini menjadi momentum penting bagi perusahaan untuk mulai mempertimbangkan inovasi strategis yang lebih agresif, meskipun pada saat itu langkah-langkah konkret untuk beradaptasi masih terbatas. Situasi pra-krisis ini menggambarkan bagaimana Blue Bird, meskipun kuat secara tradisional, berada di bawah tekanan untuk tetap relevan di tengah lanskap industri yang berubah dengan cepat.