"Terima kasih, Bu, sudah menjenguk Danu," ucapnya sambil menghapus bulir bening di pipinya.
"Sama-sama, Sayang," jawabku lirih. Kuajak dia duduk di antara aku dan Bu Ratna. "Bagaimana ceritanya Danu bisa begini?"
"Kemarin malam Papa dan Mama bertengkar hebat, Bu. Saya dengar Papa terus-terusan nyalahin Mama atas keadaan Danu. Mama ikut ngebales juga sampai teriak-teriak. Saya mau ngedamaiin, tapi nggak didenger."
"Lalu?"
"Suara jeritan Dian, adek saya yang di atas Danu, yang bikin Papa sama Mama berhenti berantem. Saya langsung lari ke tempat Dian berdiri. Dia berdiri di depan kamar Danu. Begitu ngelihat, saya langsung meluk Danu. Darah ada di mana-mana, Bu."
Aku menggenggam tangannya erat. Air matanya mengalir lagi. Dia terisak dan aku meraihnya dalam pelukan. Bu Ratna terdengar menghela napas panjang.
"Apa yang dilakukan Danu, Sayang?"
"Dia mukul cermin di kamarnya, Bu. Lalu di tangan kanannya ... di tangan kanannya ada pecahan beling yang besar dan tajam. Pecahan beling itu dipakai Danu buat ...," ucapannya terhenti dan dia semakin terisak.
Segera kupeluk lagi gadis manis yang tangisannya membuat mataku turut berkaca. Aku bisa merasakan pedih hatinya, juga pedih hatinya Danu.
Rasanya pasti sangat menderita ketika mengetahui diri kita menjadi penyebab pertengkaran hebat dua orang yang sama-sama dicintai.
Ah, betapa tidak bijaksananya mereka.