Bapakku sibuk, Ibuku juga. Terkadang aku mendengar mereka saling membentak di depan anak-anaknya tanpa ada perasaan sungkan. Rumah kami sangat besar, terbagi beberapa ruangan. Masing-masing dikelompokkan sesuai dengan orang-orang yang tinggal. Sisi anak-anak perempuan, sisi anak laki-laki, sisi pembantu laki-laki dan bagian pembantu perempuan. Ada garasi untuk truk-truk, ada ruang untuk gudang barang-barang dagangan dan barang-barang proyek. Sangat luas. Dan aku tinggal di bagian utama rumah induk dengan orangtua dan satu-satunya kakak perempuan.
Kesibukan membuat aku tumbuh sendiri. Ibuku adalah orang yang berumur, tetapi tidak pernah dewasa. Sebagai bungsu dari 4 bersaudara, konon ibuku sangat dimanja dan nakal. Tidak mau kalah, dan selalu menuruti keinginannya sendiri. Bapakku sibuk dengan aktivitas ekonominya. Bapak tidak suka urusannya dicampuri oleh ibu, sehingga tidak pernah ada ruang diskusi di rumah. Semua sibuk dengan dirinya sendiri. Termasuk aku kalau pergi ya pergi saja, kalau pas kebetulan ketemu dengan orang tua aku pamit, tetapi kalau tidak ya langsung pergi saja.
Sesekali aku masih menemani bapak pergi dengan menjadi sopir, mendengarkan cerita-cerita lama. Bapak kadangkala bercerita bagaimana mengambil sebuah keputusan. Sekarang aku menyadari, bahwa saat-saat itu aku belajar banyak mengatur pekerjaan, mengambil keputusan, membuat pertimbangan, kerja keras, detil. Hal-hal yang mebuat pekerjaanku bisa berjalan dengan lancar, mengerjakan beberapa jenis pekerjaan sekaligus. Berkah saat menemani bapakku dalam bekerja.
Di usia 40 tahunan bapakku mulai menderita beberapa komplikasi penyakit yang membuat hidupnya tergantung dengan obat dan jamu. Bapak sangat disiplin, pola makan dan tidurnya sangat terjaga. Rutin olah raga, minum jamu dan minum obat. Tidak ada yang terlewatkan. Banyak hal dikerjakan sendiri, mengingat ibu juga sibuk dengan aktivitasnya.
Di rumahku tidak ada peluk hangat, tidak ada jabat tangan, tidak ada cium kening, apalagi cium kening. Gersang. Kasih sayang menjadi sesuatu yang langka. Dan ini menjadikan dendam masa kecilku, sangat mempengaruhi cara bergaulku. Keputusan saat menikahpun akhirnya jauh dari akal sehat, yang paling banyak memberi waktu, yang banyak mengantar dan menjemput, yang banyak menemani akhirnya menjadi pilihanku. Kasih sayang menjadi tolak ukur, bukan materi bukan jabatan apalagi wajah. Haus kasih sayang. Setiap bertemu dengan teman dekat akhirnya ada masalah yang selalu muncul, keuangan. Memang hidup adalah pilihan, jika engkau menginginkan kasih sayang, maka engkau tidak akan mendapatkan uang. Jika engkau menginginkan uang, maka engkau tidak akan mendapat kasih sayang. Dua sisi mata uang, dan engkau tidak akan bisa melihat dua-duanya sekaligus Jika engkau memilih dua-duanya, maka akhirnya engkau tidak akan melihat apapun. Dan aku memilih kasih sayang, karena sampai hari ini aku masih bisa mencari uang cukup untuk aku dan anak-anak.
Aku menjadi pribadi yang memanjakan, karena aku tidak pernah dimanjakan. Cermin diri dari keinginan untuk dimanjakan. Memberikan apa yang orang lain mau, atas nama tidak tega. Sifat ini  sering membawaku terjebak dalam terjal kehidupan pribadiku. Atas nama tidak tega, akhirnya aku sering melanggar aturan yang tidak seharusnya aku lakukan. Tanpa kusadari, aku sering menyakiti diriku sendiri, karena takut menyakiti orang lain. Tetapi atas nama tidak tega aku membantu orang lain tanpa diminta, yang akhirnya mengantarkan aku pada sebuah posisi demi posisi yang tanpa diduga-duga.
Ragam kehidupan saling bertolak belakang menjadi latar belakang kehidupanku, bagian demi bagian tidak berkaitan satu dengan yang lain. Aku hanya tidak ingin mempunyai waktu luang di dalam hidupku, melalui kegiatan demi kegiatan membuatku bahagia, sampai aku tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya keadaan keluargaku bukanlah keluarga manis. Tetapi aku menikmati fasilitas demi fasilitas yang mendukung semua aktivitasku. Mobil pick up dan truk berderet-deret, semua alat tulis kantor lengkap, jaringan telpon 24 jam, gratis, beberapa sopir, toko material, alat-alat mesin, semua milik bapak sangat lengkap, dan aku bebas menggunakannya, gratis.
Aku tidak kesepian, karena ada beragam teman-teman dalam setiap aktivitasku. Kasih sayang selalu aku dapatkan dari orang-orang tua yang aku temui dalam perjalanan hidupku. Ada orang tua sahabat-sahabatku, ada Bu Kantin, kasih sayang kudapatkan saat aku bisa menghargai orang-orang yang lebih tua dariku, imbal balik menyejukkan. Kebiasaan ini terbawa sampai sekarang, aku dikenal sebagai orang yang memanjakan orang-orang tua, penakluk orang tua. Sampai aku mempunyai beberapa orang tua angkat yang benar-benar mempedulikanku. Tuhan Maha Adil, saat engkau iklas kehilangan satu hal, maka engkau akan mendapatkan hal yang sama dari tempat lain dengan lebih baik. Sebaliknya, jika engkau menghindari kesulitan, maka engkau akan mendapatkan kesulitan lain di tempat lain dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Menurutku, kebahagiaan dan kesedihan, tantangan dan kesulitan adalah bagian dari rejeki dan takdir, kita hindari  di satu tempat, maka pasti akan kita dapatkan di tempat lainnya dalam bentuk yang berbeda. Apabila kita rasakan, dan kita maknai, kesulitan yang berbeda tetapi mempunyai pembelajaran yang sama. Peristiwa kehidupan akan selalu mengikuti sejauh mana proses kehidupan kita berjalan.
Saat SMA dan kuliah adalah ajang beraktivitas fisik, lahiriah. Hura-hura atas nama kegiatan, bahagia bersama teman-teman atas nama kesibukan yang positif.  Inti dari seluruh hal kegiatan itu adalah, dolan. Membahagiakan. Aku memasuki dunia kerja di usia 20 tahun. Setelah kerja, aktivitasku berubah. Kerja tetap dan kerja paruh waktu. Mengajar privat anak-anak SMP, konsultan manajemen, semua dalam skala kecil, hanya untuk mengisi waktu saat pulang kerja. Hasil positif beraktivitas tanpa lelah saat sekolah membuatku terbiasa dengan kegiatan kerja paruh waktu, setelah pulang kerja. Aku banyak belajar saat menjadi konsultan keuangan, bagaimana pengusaha menjalankan  perusahaannya. Menata, menyesuaikan, fleksibilitas, membaca kemungkinan, jatuh bangun, dalam sebuah urutan kegiatan perusahaan.
Waktu demi waktu berlalu. Tanpa kusadari aku menemukan teman dekat, yang mengenalkanku pada dunia spiritual. Atas nama kebersamaan, melakukan kegiatan bersama, kegiatanku berubah. Kuliah malam dan berpetualang lagi di dunia yang berbeda, dunia pengobatan alternatif. Dunia alternatif ini adalah awal mula aku mengenal dunia spiritual. Menemani calon kakak ipar berobat ke alternatif, mengenalkanku pada beberapa orang dengan cara pengobatan yang beraneka warna. Dari pijat refleksi, herba, energi, sampai bertemu dengan orang-orang yang benar-benar hanya menggunakan dunia mistik sebagai media pengobatannya. Unik, aneh. Beberapa metode pemgobatan sesungguhnya tidak bisa kuterima dengan akal sehat, hanya kuterima mentah-mentah tanpa mengolahnya lagi. Menjadi pendengar yang baik, tepatnya penguping yang baik. Aku hanyalah pihak ketiga yang menjadi pengantar, dan bukan yang berkepentingan. Dunia baru yang baru aku kenal, tanpa pemahaman apapun.
Ragam aliran ada di dunia ini, ada Kejawen, ada Betawi, ada pesantren, ada Banten, ada Baduy, ada Jawa Timuran. Aku menikmati dan mulai terjatuh di dunia ini. Terlibat dan menjadi bagian pelaku dari aktivitas spiritual. Bertemu dengan pelaku alternatif membuatku nyaman, karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah melepaskan diri dari keterikatan dengan kebutuhan duniawi, melepaskan ambisi keserakahan dan fokus menjadi manusia yang bermanfaat bagi lainnya. Menemukan jiwa pengabdian kepada sesama, kepada Tuhannya. Sikap bijaksana dalam menghadapi permasalahan dari kehidupan di sekitarnya. Ketenangan dalam menghadapi berbagai kejadian dan suasana. Menyejukkan.
Pelaku alternatif, sebagian besar telah melewati ritual demi ritual, laku dan prehatin, puasa dan doa yang lebih banyak dari orang-orang pada umumnya. Kematangan pribadi, kedewasaan, dan sudut pandang positif dari berbagai macam sisi dalam melihat permasalahan. Jalan keluar yang diberikan juga sangat tidak biasa. Pembelajaran besar yang aku dapatkan adalah ketulusan, kasih sayang, dan keiklasan yang selalu melandasi dalam mengambil tindakan menolong orang lain. Keluarga yang bahagia, kehidupan yang tenang. Berbeda dengan keadaan keluargaku. Berlimpah tapi tidak ada keterkaitan, tidak ada ketenangan dan kenyamanan.
Pembelajaran spiritual sangat berbeda dengan cara pembelajaran akademis. Mereka tidak akan memaksa kita melakukan laku dan prehatin atau ritual-ritual khusus jika kita tidak menghendakinya. Mereka hanya menceritakan pemahaman-pemahamannya, dan bagaimana melakukannya. Mereka akan membahas sejauh mana posisi kita akan pemahaman itu, dan jika kita menghendaki, baru mereka akan melakukannya. Semua tumbuh dari kesadaran. Walaupun mungkin tidak demikian dengan diriku, latar belakang alasanku melakukan ritual sangat berbeda dengan yang lainnya.
Aku teringat, awal mula aku melakukan berendam di tempuran sungai di Bogor pada saat tengah malam karena aku hanya ingin pergi bermain dan bosen di rumah. Sampai di sana, ternyata aku ikut berendam karena aku tidak mau kalah dengan teman-teman lelakiku. Berendam karena taruhan.
Puasa mutih, 3 hari dan ditutup dengan puasa 24 jam terpaksa kulakukan, karena aku tidak tega dengan Bapak Baduy yang sudah tua dan kuanggap orang tua sendiri selalu menungguiku saat aku sedang puasa. Biasanya jika tidak ditunggui hari kedua atau hari ketiga aku sudah batal, karena ngantuk dan lapar. Tetapi atas nama tidak tega, aku bisa menyelesaikan puasa demi puasa dengan baik. Walaupun sampai hari ini ada yang belum bisa aku lewati, puasa tidak tiduran dalam waktu 3 hari. Benar-benar puasa yang belum sukses aku lakukan sampai hari ini.
Aku memang berbeda dengan yang lainnya. Saat yang lainnya benar-benar mempunyai niat untuk bisa spiritual, dan berniat menjadi murid, aku melakukannya hanya sambil lalu. Alasan-alasan melakukan ritual juga aneh-aneh. Kadangkala aku membantah anjuran-anjuran para senior.
Kisah lucu yang aku selalu ingat tentang pembelajaran dari Betawi adalah seperti ini. Pada waktu itu aku sedang hamil anak kedua, dan sambil bermain menuntun anakku pertama ke sebuah warung Tegal. Di sana aku tidak sengaja melihat suamiku sedang mengobrol ringan sambil tertawa-tawa dengan beberapa orang seusianya. Ada beberapa wajah yang masih asing buatku, tetapi ada sepasang mata yang mengamatiku dengan tajam. Membuatku risi dan aku memilih pergi.
Hari berikutnya orang itu, datang ke rumahku dengan suamiku. Belakangan aku tahu, namanya bang Seda. Â Mereka mengobrol dengan asyik. Tetapi aku selalu bisa merasakan bahwa setiap ada kesempatan, lelaki itu akan mengamati dengan tajam. Kadang aku merasa dikuliti. Rumah petakku kecil, 40 m2. Obrolan tentang spiritual yang mereka lakukan dapat kudengar dengan jelas. Dan seperti biasa saat suamiku harus melakukan ritual, biasanya aku menemaninya, atas nama alasan ingin tahu. Aku ikut belajar dari hasil nguping.
Saat ada kesempatan bertemu dengan Bang Seda berdua, dia memberiku petunjuk tentang laku puasa ngadem yang harusnya aku lakukan berbeda dengan suamiku. Dengan santai aku menjawab, "Males."
Wajahnya merah, matanya mendelik, kesal. Tangannya mengepal. Aku bisa merasakan aura yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Tiba-tiba sambil menghentakkan tangannya dia membelakangiku. "Kamu ya, menyebalkan". Tubuhnya kembali menghadapku. Usianya memang tidak jauh beda denganku, 6 tahun di atasku. Tetapi setelah sering ke rumah hubungan kami menjadi seperti teman, jadi dia sudah terbiasa mengatakan kamu dengan aku.
Telunjuknya menudingku, tetapi dia masih diam. Matanya kali ini sudah bisa dikatakan melotot, karena menahan kesal. "Met, bertahun-tahun aku mendapat petunjuk untuk mencari seseorang yang harus aku temani untuk belajar spiritual. Setelah bertahun-tahun pencarian, aku hampir tidak percaya saat pertama kali melihatmu di warung tegal, petunjuk aku dapatkan, bahwa kamulah orang yang aku cari. Sampai aku harus sering ke rumah ini, menenami suamimu, menemani anak-anakmu karena aku ingin meyakinkan bahwa memang kamulah orang yang harus aku temani untuk belajar spiritual."
Jarinya menekan bahuku dengan mata masih menatap tajam,"Jika tahu orang yang harus aku temani adalah seorang perempuan yang bandelnya seperti ini, maka aku memilih untuk tidak mau menemani."
"Terserah, siapa suruh memilihku, aku tidak pernah berniat belajar hal-hal menakutkan begini," Aku menjawab sambil tertawa.
"Tidak semua orang bisa belajar hal seperti ini, membutuhkan kekuatan jiwa dan raga, ketajaman pikiran dan perasaan, artinya kamu orang yang terpilih".
"Oh, berarti itu salah pilih," Aku masih enjawab santai. Ekspresinya kaget, jelas membuat wajahnya berubah, tapi kali ini ada senyuman di wajahnya. Tidak menyangka aku akan menjawab begitu. "Kamu memang bandel, sangat bandel. Kurang ajar. Tapi kamu harus tetap belajar, tidak bisa tidak, harus mau sampai bisa. Aku akan tetap ke sini, memenuhi kewajiban. Bisa jadi salah pilih, karena kamu memang tidak berperasaan."
Walaupun setelah kejadian itu aku tetap selalu mengikuti pembelajaran demi pembelajaran, pemijatan tulang, memindahkan syarat demi syaraf, mengenal mahluk demi mahluk sekilas. Walaupun bisa dikatakan, pembelajaran mahluk yang aku terima dari dia sempat membuatku salah arah. Tetapi ada kemampuan pemijatan tulangnya adalah hal luar biasa yang aku peroleh. Dua tahun aku belajar darinya hingga aku pindah. Apapun keadaannya, entah mengapa, aku selalu bisa melewati pembelajaran dengan gemilang. Dan Bang Seda sangat bangga dengan pencapaianku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H