Pembelajaran spiritual sangat berbeda dengan cara pembelajaran akademis. Mereka tidak akan memaksa kita melakukan laku dan prehatin atau ritual-ritual khusus jika kita tidak menghendakinya. Mereka hanya menceritakan pemahaman-pemahamannya, dan bagaimana melakukannya. Mereka akan membahas sejauh mana posisi kita akan pemahaman itu, dan jika kita menghendaki, baru mereka akan melakukannya. Semua tumbuh dari kesadaran. Walaupun mungkin tidak demikian dengan diriku, latar belakang alasanku melakukan ritual sangat berbeda dengan yang lainnya.
Aku teringat, awal mula aku melakukan berendam di tempuran sungai di Bogor pada saat tengah malam karena aku hanya ingin pergi bermain dan bosen di rumah. Sampai di sana, ternyata aku ikut berendam karena aku tidak mau kalah dengan teman-teman lelakiku. Berendam karena taruhan.
Puasa mutih, 3 hari dan ditutup dengan puasa 24 jam terpaksa kulakukan, karena aku tidak tega dengan Bapak Baduy yang sudah tua dan kuanggap orang tua sendiri selalu menungguiku saat aku sedang puasa. Biasanya jika tidak ditunggui hari kedua atau hari ketiga aku sudah batal, karena ngantuk dan lapar. Tetapi atas nama tidak tega, aku bisa menyelesaikan puasa demi puasa dengan baik. Walaupun sampai hari ini ada yang belum bisa aku lewati, puasa tidak tiduran dalam waktu 3 hari. Benar-benar puasa yang belum sukses aku lakukan sampai hari ini.
Aku memang berbeda dengan yang lainnya. Saat yang lainnya benar-benar mempunyai niat untuk bisa spiritual, dan berniat menjadi murid, aku melakukannya hanya sambil lalu. Alasan-alasan melakukan ritual juga aneh-aneh. Kadangkala aku membantah anjuran-anjuran para senior.
Kisah lucu yang aku selalu ingat tentang pembelajaran dari Betawi adalah seperti ini. Pada waktu itu aku sedang hamil anak kedua, dan sambil bermain menuntun anakku pertama ke sebuah warung Tegal. Di sana aku tidak sengaja melihat suamiku sedang mengobrol ringan sambil tertawa-tawa dengan beberapa orang seusianya. Ada beberapa wajah yang masih asing buatku, tetapi ada sepasang mata yang mengamatiku dengan tajam. Membuatku risi dan aku memilih pergi.
Hari berikutnya orang itu, datang ke rumahku dengan suamiku. Belakangan aku tahu, namanya bang Seda. Â Mereka mengobrol dengan asyik. Tetapi aku selalu bisa merasakan bahwa setiap ada kesempatan, lelaki itu akan mengamati dengan tajam. Kadang aku merasa dikuliti. Rumah petakku kecil, 40 m2. Obrolan tentang spiritual yang mereka lakukan dapat kudengar dengan jelas. Dan seperti biasa saat suamiku harus melakukan ritual, biasanya aku menemaninya, atas nama alasan ingin tahu. Aku ikut belajar dari hasil nguping.
Saat ada kesempatan bertemu dengan Bang Seda berdua, dia memberiku petunjuk tentang laku puasa ngadem yang harusnya aku lakukan berbeda dengan suamiku. Dengan santai aku menjawab, "Males."
Wajahnya merah, matanya mendelik, kesal. Tangannya mengepal. Aku bisa merasakan aura yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Tiba-tiba sambil menghentakkan tangannya dia membelakangiku. "Kamu ya, menyebalkan". Tubuhnya kembali menghadapku. Usianya memang tidak jauh beda denganku, 6 tahun di atasku. Tetapi setelah sering ke rumah hubungan kami menjadi seperti teman, jadi dia sudah terbiasa mengatakan kamu dengan aku.
Telunjuknya menudingku, tetapi dia masih diam. Matanya kali ini sudah bisa dikatakan melotot, karena menahan kesal. "Met, bertahun-tahun aku mendapat petunjuk untuk mencari seseorang yang harus aku temani untuk belajar spiritual. Setelah bertahun-tahun pencarian, aku hampir tidak percaya saat pertama kali melihatmu di warung tegal, petunjuk aku dapatkan, bahwa kamulah orang yang aku cari. Sampai aku harus sering ke rumah ini, menenami suamimu, menemani anak-anakmu karena aku ingin meyakinkan bahwa memang kamulah orang yang harus aku temani untuk belajar spiritual."
Jarinya menekan bahuku dengan mata masih menatap tajam,"Jika tahu orang yang harus aku temani adalah seorang perempuan yang bandelnya seperti ini, maka aku memilih untuk tidak mau menemani."
"Terserah, siapa suruh memilihku, aku tidak pernah berniat belajar hal-hal menakutkan begini," Aku menjawab sambil tertawa.
"Tidak semua orang bisa belajar hal seperti ini, membutuhkan kekuatan jiwa dan raga, ketajaman pikiran dan perasaan, artinya kamu orang yang terpilih".