Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlukah Kita Belajar Penerimaan Pajak ke AS?

18 November 2015   11:27 Diperbarui: 20 November 2015   07:20 6623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 Sebelum Bicara Masalah Pajak, Harus Melihat Faktanya 

Nanti dulu tho pak, jika pemerintah kita belajar dari Amerika Serikat soal penerimaan pajak, apakah dapat dianggap mampu menyelesaikan masalah yang saat ini kita hadapi. Tidakkah kita belajar dari pengalaman, bahwa studi banding ke luar negeri oleh para anggota dewan dan para pejabat negara ini sudah banyak dilakukan di dalam berbagai bidang, namun yang kita dapatkan adalah sebuah kontroversi dan bukan jalan keluar. Bahkan saya pernah diskusi dengan seorang kepala dinas di Kulon Progo yang baru saja pulang dari Thailand dan menyampaikan seperti ini kepada saya, “kenapa mbak, negeri kita ini jauh lebih kaya, sementara di luar negeri tidak sekaya kita, tapi kita tidak bisa mengadopsi semuanya dengan baik”.

Demikian juga masalah-masalah yang lain, termasuk pajak. Yang terlihat adalah kulitnya, hasilnya, mungkin juga sedikit prosesnya. Tetapi melupakan hal yang paling utama, dasar dari semua masalah yaitu budaya manusia Indonesia.  

Jadi kalau mau belajar ke AS, boleh-boleh saja, tetapi menurut saya itu bukan cara untuk menyelesaikan masalah, dan pasti tidak akan selesai.

Masalah-masalah di negeri ini, menurut saya bagaikan lingkaran setan yang sudah demikian membelenggu. Mencari solusi, berarti harus mengurai dari akar permasalahannya, memetakan dan merunutkannya. Sayangnya para pengambil kebijakan ini lebih suka hal-hal yang berbau instan. Atau bisa jadi karena memang terlalu pinter sehingga semuanya dibuat rumit dengan bahasa sulit, tidak terbiasa berpikir sederhana yang mencakup semua sisi dengan sama jelasnya, dengan sudut pandang yang genep, seimbang. 

Karakter Manusia Indonesia, Karakter Wajib Pajak

Mochtar Lubis pernah menyampaikan bahwa sifat manusia Indonesia diantaranya adalah hipokrit alias munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, tidak hemat, cepat cemburu dan dengki, tukang tiru dan plagiat. Kualitas manusia Indonesia ini juga bisa dicerminkan dalam sikap Wajib Pajak di Indonesia, keadaannya adalah seperti berikut ini.

Ada yang tidak tahu pajak, ada juga yang tidak sadar pajak, ada yang tidak tahu pajak dan tidak sadar pajak, ada yang tahu pajak tapi tidak sadar, ada yang sadar tapi masih belum benar.

Ada yang mau dan sadar tapi karena menganggap  ribet administrasinya akhirnya tidak mau, ada yang mau dan sadar tapi setelah dihitung-hitung ternyata bayar pajaknya besar, dan akhirnya menjadi tidak mau.

Wajib Pajak ada yang tidak lapor SPT, ada lapor SPT tapi tidak bayar, bayar pajak dan lapor SPT tapi tidak benar. Tidak benarnya pakai sekali, parah. Ada yang sedang-sedang saja, ada yang baik-baik saja (berlaku untuk wajib pajak yang sudah dipotong/ dipungut oleh pihak ketiga, terpaksa). Membayar besar bukan berarti sadar apalagi benar , kebenaran dalam pajak adalah sebuah mimpi.

Wajib Pajak ada yang tidak mengerti pencatatan apalagi pembukuan, ada yang tidak melakukan pencatatan sama sekali, ada yang melakukan pencatatan, dan ada juga yang melakukan pembukuan.  Wajib pajak tidak semuanya memahami teori ekonomi. Ada juga yang paham teori ekonomi tetapi tidak paham pajak. Sedangkan bahasa pajak sebagian besar memakai bahasa ekonomi yang sudah dilakukan upgrade.

Formulirnya sangat bagus, sangat lengkap, dan sangat rigid. Butuh kuliah dua semester untuk memahaminya secara khusus. Memahami dan belum tentu mengerti. Jadi selain Pajak Penghasilan PP 46 adakah pajak yang bisa dipahami dengan mudah. Walaupun PP 46 ini jika dihadapkan pada bidang usaha seperti pulsa, sembako, semen pasti wajib pajak akan teriak. Jadi kalau mereka bayar dan tidak teriak, maka kemungkinan besar apa yang dilaporkan dan dibayarkan lebih banyak tidak benarnya. Rumus.

Bagaimana dengan pemeriksaan ?

Pemeriksaan adalah senjata pamungkas dari usaha penggalian potensi wajib pajak, menguji kepatuhan, menghitung kembali apa yang menjadi kewajiban wajib pajak. Apabila saat pemeriksaan petugas pajak  tidak mendapatkan data, atau data sudah diolah sedemikian rupa dan menyesuaikan dengan transaksi yang dilaporkan ke pajak, what next? Tentu hasilnya masih jauh dari harapan, walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang benar juga perhitungannya, jika saat pemeriksaan ditemukan data pendukung transaksi yang valid  saat kunjungan ke lapangan.

Terpaksa menjadi Wajib Pajak

Kenyataannya, selama ini pajak bukanlah kesadaran, tetapi aksesoris. Sesuatu yang terpaksa dilakukan. Mereka harus menjadi wajib pajak jika  sudah dihadapkan pada sebuah peraturan yang memaksa mereka harus  mempunyai NPWP. Sebabnya karena mereka tidak bisa melakukan transaksi atau karena untuk syarat legalitas, untuk mengajukan peminjaman ke Bank, dan lain sebagainya. Marilah kita bercermin kepada diri sendiri, termasuk dalam golongan manakah kita sebagai wajib pajak? Mari kita renungkan bersama.

Bisa dibayangkan bersama-sama apabila asas self assesment diterapkan, yaitu dengan negara memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajjibannya, sedang  kondisinya masih seperti itu maka jelaslah hasil penerimaan pajak tidak akan seperti  yang diharapkan.

 Kondisi Internal

 Jika kita memandang permasalahan secara internal, apa yang disampaikan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro bahwa sejak 2012 kinerja penerimaan pajak Indonesia jelek sekali. Bukan karena perekonomian jelek, tapi karena tax administration atau pengumpulan pajak yang lemah. Bambang menyebutkan, ada tiga penyebab buruknya pengumpulan pajak selama belasan tahun ini.

Pertama, kepatuhan WP sangat rendah yaitu hanya sekitar 50 persen. Kedua, adanya kebocoran penerimaan pajak terutama dari restitusi atau pengembalian pajak, khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, basis WP yang kecil. 

Iya, pak. Itu benar dan tidak salah, walaupun saya keberatan dengan adanya anggapan kebocoran penerimaan dari restitusi atau pengembalian pajak, karena restitusi adalah hak wajib pajak. Seharusnya restitusi ini akan jauh lebih banyak dan lebih besar jika mereka mengerti pajak secara utuh, terutama masalah Pajak Pertambahan Nilai dengan mekanisme Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan. Menurut saya sudah saatnya mengganti mekanisme ini menjadi pajak barang dan jasa, seperti pajak penjualan. Karena dalam keterbatasan pendidikan, kesadaran pajak, dan kesulitan administratif, maka tanpa disadari saat ini kita menerapkan pajak penjualan dengan tarif 10%. Dan hal ini mengakibatkan harga jual barang kena pajak di Indonesia tidak bisa bersaing dengan harga di luar negeri. Penyebab harga mahal karena kandungan Pajak Pertambahan Nilainya bisa lebih dari 20% karena Wajib Pajak tidak pernah menggunakan mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan. Dengan merubah sistem dan merubah tarif, maka juga akan jauh menghemat biaya pengelolaan administrasi dari wajib pajak maupun dari petugas pajak.

Kembali kepada masalah internal di pajak, bahwa keterbatasan data silang untuk menguji kebenaran transaksi wajib pajak saat ini belum ada, maka petugas pajak harus berjuang keras untuk mencari data-data sebagai penunjang penggalian potensi. Maka wacana melakukan keterbukaan transaksi bank patut diapresiasi, sebagai langkah bagus dari pemerintah mendukung kelancaran dan kebenaran dalam penghitungan pajak. Bisa juga dilakukan pembatasan transaksi tunai, misalnya, transaksi di atas Rp 25 juta harus dilakukan transfer  antar rekening bank. Selain faktor keamanan, faktor pajak, juga faktor menghemat pencetakan uang di BI.

Berikutnya adalah kebatasan daya jangkau petugas pajak. Pajak sepertinya bekerja sendiri, berusaha sendiri. Jika ada kesalahan menjadi tanggung jawab pajak sepenuhnya, tetapi jika ada keberhasilan beberapa pihak akan berebut untuk mengakuinya, bagaikan telor mata sapi. Telornya punya ayam, sapinya yang mengakuinya, emang sapi punya telor, Namun demikianlah kepemimpinan politik yang saat ini terjadi. Miris.

Kantor Pelayanan Pajak rata-rata hanya ada 1 di setiap kabupaten yang ada di Jawa, kecuali untuk kota-kota besar dan wilayah DKI Jakarta Raya. Sedangkan di luar Jawa, satu kantor pelayanan pajak bisa membawahi wilayah kerja yang mencakup sekaligus 2–3 kabupaten dalam satu propinsi. Dari sini dapat dilihat tingkat kesulitan petugas pajak dalam mengawasi wajib pajak yang masih sangat harus ditingkatkan kesadarannya.

Meski jumlah penduduk 250 juta orang, yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak hanya 28 juta orang atau sedikit di atas 10 persen. Yang menyampaikan SPT rutin hanya 10 juta WP dan yang membayar penuh sesuai ketentuan cuma 900 ribu orang. Itu WP Orang Pribadi. Sementara kondisi serupa juga dialami Direktorat Jenderal Pajak di sisi WP Badan Usaha. Ini masih merupakan ungakapan  Menteri Keuangan saat ini, artinya memang sudah saatnya kita juga melakukan pembenahan internal. Bicara tarif, bicara pelayanan publik, bicara kualitas pengelolaan negara. Tidak bisa bicara hanya pada masing-masing sektor. Karena sesungguhnya, jika kita memandang permasalahan secara utuh, maka satu bagian akan terkait dengan bagian lainnya. Bagaimana kita menarik benang merahnya dan mengimplementasikannya. 

Bisa dibayangkan tarif zakat sebesar 2,5% yang dijanjikan surga sebagai upahnya saja orang masih suka enggan membayarnya, hal ini akan sangat njomplang jika dibandingkan dengan tarif pajak yang lebih tinggi dari tarif membayar zakat  yang imbalannya jelas-jelas tidak bisa diterima secara langsung. Kondisi pelayanan publik dan kualitas pengelolaan negara yang belum memuaskan wajib pajak. 

Maka sudah saatnya kita bicara penurunan tarif untuk jenis-jenis pajak tertentu, supaya basis wajib pajak menjadi lebih besar. Memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk berpartisipasi kepada negara dengan benar, lebih rela, walaupun belum tentu ikhlas. Perlunya meningkatkan kualitas IT  sebagai pendukung pelaksanaan pemungutan pajak, meningkatkan kesadaran WP, dan seterusnya.

Jadi Pak Menteri, silakan belajar dari Amerika Serikat, tetapi tidak ada salahnya kalau kita memahami situasi dan keadaannya dulu. Karena menurut saya itu bukan salah satu penyelesaian masalah.

 

Cerita Filosofi Barat dan Filosofi Timur

Ingatlah, bahwa negeri ini negeri tempe dan bukan negeri keju, besar karena jamu dan bukan karena susu, negeri spiritual dan bukan negeri kapitalis

Bahwa negeri ini timur dan bukan negeri barat, adat istiadat dan budayanya adalah budaya timur. Kehidupan di sini sangat berbeda dengan kehidupan yang ada di barat. Contoh sederhana cerita barat adalah cerita Cinderella, dongeng beauty and the beast, snow and white. Bermakna mimpi dan  kebahagiaan seseorang manusia adalah sebuah tahta, kekuasaan, kekayaan, kecantikan, ketampanan dengan budaya instan, menawarkan mimpi.

Dan lihatlah cerita di negeri ini, cerita sebuah proses kehidupan. Cerita Semar, seorang punakawan yang sakti mandraguna tetapi tetap rendah hati. Cerita Malin Kundang, dimana setiap cerita selalu mengajarkan sebuah proses kehidupan, filosofi kehidupan, pembentukan manusia yang luar biasa, bukan kepada hasil, tetapi pada sebuah proses yang benar, maka hasilnya juga bisa dipastikan akan benar.

Sudah seharusnya melihat kenyataan dan keadaan diri sendiri tanpa berkiblat kepada negara lain.

Melihat negeri ini sudah seharusnya melihat apa yang ada di dalamnya. Melihat ke luar adalah untuk melengkapi apa yang ada, bukan menggantikannya. Yang harus dilakukan adalah merubah arah pandangan matamu, menelusuri dari awalnya.

Berdirilah jiwa-jiwa bangsa di kakinya sendiri, maka bangsa ini akan  menjadi sangat kuat

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun