Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlukah Kita Belajar Penerimaan Pajak ke AS?

18 November 2015   11:27 Diperbarui: 20 November 2015   07:20 6623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajib Pajak ada yang tidak mengerti pencatatan apalagi pembukuan, ada yang tidak melakukan pencatatan sama sekali, ada yang melakukan pencatatan, dan ada juga yang melakukan pembukuan.  Wajib pajak tidak semuanya memahami teori ekonomi. Ada juga yang paham teori ekonomi tetapi tidak paham pajak. Sedangkan bahasa pajak sebagian besar memakai bahasa ekonomi yang sudah dilakukan upgrade.

Formulirnya sangat bagus, sangat lengkap, dan sangat rigid. Butuh kuliah dua semester untuk memahaminya secara khusus. Memahami dan belum tentu mengerti. Jadi selain Pajak Penghasilan PP 46 adakah pajak yang bisa dipahami dengan mudah. Walaupun PP 46 ini jika dihadapkan pada bidang usaha seperti pulsa, sembako, semen pasti wajib pajak akan teriak. Jadi kalau mereka bayar dan tidak teriak, maka kemungkinan besar apa yang dilaporkan dan dibayarkan lebih banyak tidak benarnya. Rumus.

Bagaimana dengan pemeriksaan ?

Pemeriksaan adalah senjata pamungkas dari usaha penggalian potensi wajib pajak, menguji kepatuhan, menghitung kembali apa yang menjadi kewajiban wajib pajak. Apabila saat pemeriksaan petugas pajak  tidak mendapatkan data, atau data sudah diolah sedemikian rupa dan menyesuaikan dengan transaksi yang dilaporkan ke pajak, what next? Tentu hasilnya masih jauh dari harapan, walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang benar juga perhitungannya, jika saat pemeriksaan ditemukan data pendukung transaksi yang valid  saat kunjungan ke lapangan.

Terpaksa menjadi Wajib Pajak

Kenyataannya, selama ini pajak bukanlah kesadaran, tetapi aksesoris. Sesuatu yang terpaksa dilakukan. Mereka harus menjadi wajib pajak jika  sudah dihadapkan pada sebuah peraturan yang memaksa mereka harus  mempunyai NPWP. Sebabnya karena mereka tidak bisa melakukan transaksi atau karena untuk syarat legalitas, untuk mengajukan peminjaman ke Bank, dan lain sebagainya. Marilah kita bercermin kepada diri sendiri, termasuk dalam golongan manakah kita sebagai wajib pajak? Mari kita renungkan bersama.

Bisa dibayangkan bersama-sama apabila asas self assesment diterapkan, yaitu dengan negara memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajjibannya, sedang  kondisinya masih seperti itu maka jelaslah hasil penerimaan pajak tidak akan seperti  yang diharapkan.

 Kondisi Internal

 Jika kita memandang permasalahan secara internal, apa yang disampaikan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro bahwa sejak 2012 kinerja penerimaan pajak Indonesia jelek sekali. Bukan karena perekonomian jelek, tapi karena tax administration atau pengumpulan pajak yang lemah. Bambang menyebutkan, ada tiga penyebab buruknya pengumpulan pajak selama belasan tahun ini.

Pertama, kepatuhan WP sangat rendah yaitu hanya sekitar 50 persen. Kedua, adanya kebocoran penerimaan pajak terutama dari restitusi atau pengembalian pajak, khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, basis WP yang kecil. 

Iya, pak. Itu benar dan tidak salah, walaupun saya keberatan dengan adanya anggapan kebocoran penerimaan dari restitusi atau pengembalian pajak, karena restitusi adalah hak wajib pajak. Seharusnya restitusi ini akan jauh lebih banyak dan lebih besar jika mereka mengerti pajak secara utuh, terutama masalah Pajak Pertambahan Nilai dengan mekanisme Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan. Menurut saya sudah saatnya mengganti mekanisme ini menjadi pajak barang dan jasa, seperti pajak penjualan. Karena dalam keterbatasan pendidikan, kesadaran pajak, dan kesulitan administratif, maka tanpa disadari saat ini kita menerapkan pajak penjualan dengan tarif 10%. Dan hal ini mengakibatkan harga jual barang kena pajak di Indonesia tidak bisa bersaing dengan harga di luar negeri. Penyebab harga mahal karena kandungan Pajak Pertambahan Nilainya bisa lebih dari 20% karena Wajib Pajak tidak pernah menggunakan mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan. Dengan merubah sistem dan merubah tarif, maka juga akan jauh menghemat biaya pengelolaan administrasi dari wajib pajak maupun dari petugas pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun