Dikutip dari Kompas. com (03/7/2024) HA telah beberapa kali dilaporkan dan diadili oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Deretan kasus etik yang melibatkan HA sepertinya hanya dianggap angin lalu.
Tak ada penyesalan, pelanggaran-pelanggaran etik terus saja berulang, tentunya pertimbangan penjatuhan sanksi oleh DKPP harus menjatuhkan sanksi yang jauh lebih berat, agar kewibawaan dan kehormatan lembaga bisa ditegakkan, janganlah menjatuhkan hukuman sandiwara yang hanya sebagai obat telinga.
Heran saja di negeri yang katanya beragama ini, urat malu pejabatnya kok tebal-tebal yah!. Skandal asusila saja tak membuatnya malu. Padahal di negeri lain yang tak pernah gembar-gemborkan agama justru pejabatnya punya muka untuk memilih lengser dari jabatannya demi menunjukkan penyesalan dan rasa malunya.
Sebut saja Brooks Newmark, seorang menteri kabinet pimpinan PM Inggris David Cameron yang mengundurkan diri setelah ketahuan mengirim pesan-pesan porno kepada wartawan yang menyamar sebagai aktivis. Brooks Newmark (56), menteri yang membidangi masyarakat madani, secara gentleman mengakui bahwa telah melakukan kesalahan.
Demikian pula dengan ketua Parlemen Singapura, Michael Palmer (44), yang mengundurkan diri setelah mengakui terlibat skandal seks. Ini menjadi contoh bagi pejabat-pejabat negara untuk menjaga kredibilitasnya agar tak melakukan pelanggaran kepatutan dan perilaku.
Pelanggaran-pelanggaran etik, moral dan integritas oleh pejabat publik di negeri ini bukan hal yang baru, jadi bukan lagi hal yang aneh ketika itu terus terjadi dan terulang. Semoga HA menjadi pejabat terakhir yang melanggar moralitas dan etika penyelenggara negara tapi masih saja bangga dengan kelakuannya, dan semoga pula HA menjadi penyelenggara negara pertama yang dijatuhi sanksi moril yang terberat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H