Padahal kita tahu, bahwa tahun ini saja pemerintah mengucurkan dana hingga mencapai Rp. 6,2 triliun untuk pembuatan platform baru baik itu di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang sepertinya berlomba membuat inovasi aplikasi baru yang jumlahnya mencapai puluhan ribu aplikasi.
Terus berulangnya kesemrawutan pendataan daftar pemilih, bukan saja menimbulkan tanda tanya "ada apa?", tetapi sudah menimbulkan kecurigaan, dan syak wasangka terhadap kejujuran pemerintah dan penyelenggara pemilihan, terhadap manipulasi data pemilih untuk kepentingan tertentu dan juga yang tak kalah riskannya ini menjadi ladang korupsi.
Mungkin ada yang berpikir bahwa kondisi carut marut data ini adalah hal yang biasa dan tentu bisa diselesaikan oleh petugas dengan mencatat dan melaporkannya ke pihak penyelenggara untuk dimutakhirkan. Tetapi tunggu dulu, kita tidak bisa berpikir dan berkesimpulan semudah itu.
Kenapa? Yang pertama ada teknologi yang bisa memudahkan pekerjaan itu, lalu mengapa tidak diupayakan.
Wong ada 27.000 aplikasi di kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang menghabiskan hingga Rp. 6,2 triliun yang sampai membuat Presiden Jokowi 'marah' karena bukan saja tidak saling terintegrasi tetapi justru malah kontraproduktif dengan tujuan yang sebenarnya.
Dengan teknologi/aplikasi yang tepat akan sangat memudahkan proses perencanaan, penyusunan dan penetapan data pemilih yang akurat dan terpercaya. Bukan itu saja, beban kerja dan waktu kerja juga bisa lebih ringan dan lebih singkat.
Yang kedua, bahwa yang namanya pemilihan, baik itu pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah itu dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan, dalam upaya melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa Pemilu termasuk Pilkada adalah cara untuk mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, untuk itu hak suara rakyat harus mendapat jaminan untuk tersalurkan dengan baik, mudah, langsung, bebas dan rahasia.
Haram hukumnya hilangnya hak suara rakyat karena kecerobohan, keteledoran dan ketidakbecusan pihak penyelenggara.
Yang ketiga, dengan kerja yang tidak profesional seperti dalam proses penyusunan data pemilih ini yang menyimpan banyak celah untuk dimanipulasi, baik itu untuk kepentingan oknum penyelenggara maupun untuk kepentingan kelompok/golongan.
Ruang korupsi bisa terbuka lebar, pekerjaan yang seharusnya tidak ada menjadi ada, pekerjaan yang seharusnya bisa cepat menjadi lambat dll, yang menyebabkan timbulnya biaya yang sebenarnya tidak perlu.