Salah satu bulan yang paling ditunggu dengan penuh kegembiraan oleh anak-anak adalah bulan ramadan. Yah, meski kegembiraan menyambut ramadan anak-anak tentu berbeda dengan kegembiraan menyambut ramadan orang dewasa.
Kenangan ramadan saat kanak-kanak pasti selalu terkenang, ramadan dengan segala pernak-perniknya punya cerita tersendiri bagi siapapun yang menjalaninya. Begitu pula dengan saya, kenangan ramadan saat masih kecil, saat mulai belajar puasa selalu saja dirindukan, keseruannya, kegembiraannya dan suasananya yang sepertinya saat ini sudah tidak sama lagi.
Bagi kami saat baru mau belajar berpuasa dulu, ramadan adalah bulan bersenang-senang. Bagi kami berpuasa itu bukanlah tentang menahan lapar dan haus, tetapi ramadan adalah bulan dimanja dengan makan enak, dengan perhatian lebih dari orangtua.
Betapa tidak, kami yang mau ikutan puasa begitu diperhatikan, saat makan sahur kami yang didahulukan, pokoknya kami dibuat senang dengan menu yang terpilih, saat puasa kami begitu diperhatikan agar tidak capek, tidak haus, dan tidak nangis.Â
Puasa kami hingga beduk Dzuhur, bahkan sering sebelum Dzuhur pun kalau sudah tidak kuat kami sudah boleh berbuka puasa dan tentunya tetap dengan sajian terbaik dari yang ada, lebih dari hidangan keseharian di luar ramadan, begitu juga saat waktu berbuka yang sebenarnya kami tetap didahulukan untuk menikmati hidangan buka puasa bersama orang-orang dewasa di keluarga.
Malamnya, ke masjid bukan untuk shalat tarawih tetapi menjadi kesempatan untuk bermain dengan penuh keseruan bersama teman-teman. Keusilan kanak-kanak yang membuat jamaah tarawih terganggu justru terasa seperti hiburan seru bagi kami, baru sekarang kami sadari keusilan kami dahulu ternyata betul-betul mengganggu kekhusyukan shalat.
Tetapi seiring pertambahan usia, kualitas latihan berpuasa juga semakin meningkat hingga sanggup berpuasa penuh hingga magrib tiba. Di usia ini, keseruan bulan ramadan sudah berbeda, yang paling ditunggu itu adalah saat-saat menjelang Idul Fitri, baju baru, bantu ibu membuat kue lebaran dan beres-beres rumah dan saat lebaran ada bagi-bagi hadiah dari keluarga dan tetangga bagi siapa yang berpuasa ramadan.
Masih teringat saking pinginnya dapat hadiah lebaran karena punya puasa full, saya pernah sampai lemes dan nangis-nangis tidak kuat tapi masih mau lanjut berpuasa, tiba waktu berbuka lemes langsung hilang tapi makan nggak kira-kira sampai kekenyangan hingga sakit perut.
Sewaktu kanak-kanak itu, kami sering bertanding kuat-kuatan puasa, siapa yang terbanyak puasanya. Kami malu kalau disebut banyak "kalla" istilah di daerah kami untuk batal puasa atau "mokel". Kadang sampai bertengkar tidak ada yang mau dituduh tidak berpuasa.
Keseruan ramadan saat kanak-kanak yang tak kalah indahnya untuk kukenang adalah saat membantu ibu membuat kue lebaran, apalagi kalau sisa adonan diberikan ibu untuk aku membuat kue sendiri. Hingga kini kalau mencium aroma kuker lebaran kenangan itu selalu melintas.
Yang paling seru dan membuat gelisah adalah menunggu ibu sudah dapat rejeki untuk membelikan kami baju lebaran, yang bikin sedih itu kalau teman-teman bercerita sudah punya baju lebaran sementara kami masih menunggu kapan diajak ibu ke pasar untuk membeli baju lebaran. Tetapi Alhamdulillah, walaupun diantara teman-teman mungkin keluarga kamilah yang secara ekonomi paling rendah, namun ibu selalu bisa memberikan kami bersaudara baju baru untuk kami pakai berlebaran dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan.
Dan kini, semua keseruan ramadan yang ada dalam kenangan itulah yang membawa kami akhirnya paham apa dan bagaimana cara untuk mengisi ramadan dengan ibadah sebagaimana yang seharusnya. Dan cara itu pula yang kami terapkan bagi putra dan putri kami di bulan ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H