" Women's Day is an amazing opportunity to remind ourselves that fighting for our ladies is a very important thing to do. Support every woman around you and respect everything they do, because they deserve it." (dikutip dari: Bussiness Insider)
" Hari Perempuan adalah kesempatan yang luar biasa untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa berjuang untuk para wanita kita adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dukung setiap wanita di sekitar Anda dan hormati semua yang mereka lakukan, karena mereka pantas mendapatkannya."
Tanggal 8 Maret yang setiap tahunnya diperingati sebagai International Women's Day atau Hari Perempuan Internasional. Â
Jika tahun sebelumnya di tahun 2021 peringatan Hari Perempuan Internasional mengusung tema Choose to Challenge atau Memilih untuk Menantang sebagai seruan untuk menyatakan bias dan ketidaksetaraan gender.
Tahun ini tema yang diusung mengutip dari laman UN Women, PBB mengumumkan tema Hari Perempuan Internasional untuk tahun 2022 , adalah Gender equality today for a sustainable tomorrow atau Kesetaraan hari ini untuk masa depan yang berkelanjutan. Â
Selain dari tema yang dicanangkan oleh PBB itu, ada pula tema lainnya sebagaimana yang dilansir dari situs web Hari Perempuan Internasional (IWD) telah memilih tema dengan tagar #BreakTheBias atau Mendobrak Bias yang mengajak seluruh masyarakat dunia untuk memiliki kesadaran terhadap bias stereotif terhadap perempuan yang selama ini menempel pada perempuan dan berupaya untuk mendobraknya serta meminta orang-orang untuk membayangkan dunia yang bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi terhadap perempuan.
Sebelum lanjut tentang peringatan Hari Perempuan Internasional ini, ada gambaran "lucu" yang ingin saya bagi terkait perkembangan kesetaraan gender di negeri kita tercinta ini.Â
Cerita dari Almarhumah mertua perempuan saya yang kebetulan seorang pegawai negeri sipil, beliau kebetulan seorang Sarjana Hukum dan keterima sebagai pegawai negeri, saat itu tahun 1970-an, secara aturan pegawai negeri lulusan sarjana diterima dalam pangkat pertama adalah gol/ruang III/ a, tetapi karena alasan Ibu mertua saya adalah seorang perempuan maka pangkat pertama beliau adalah gol/ruang II/d, sementara rekan pria yang seangkatan dengan pendidikan yang sama semua Gol III/a.
Dalam perjalanan karir beliau di birokrasi, perspektif gender juga beliau rasakan, bagaimana seorang perempuan menjadi opsi pilihan terakhir untuk penjenjangan karir, namun oleh mertua saya itu diterima sebagai sebuah "kewajaran" yang harus diterima, saat itu beliau satu-satunya PNS perempuan yang bergelar sarjana di daerah kami, berada ditengah stereotipe dominasi laki-laki.
Seiring perjalanan waktu, meski banyak tantangan mertua saya pensiun pada jabatan Kepala Biro Hukum yang saat itu masih level eselon III yang beliau jabat selama 7 tahun, meski banyak usulan mengingat kemampuan dan kapasitas beliau untuk diangkat menduduki jabatan Eselon II, namun karena sebagai seorang perempuan hal itu menjadi suatu hal yang mustahil di jaman sebelum reformasi saat itu.
Jika kita melihat kondisi sekarang ini, perempuan di birokrasi sudah menjamur, bahkan sampai ke level Eselon I dan juga menjadi kepala daerah, padahal dahulu di jaman mertua saya untuk Eselon III itupun sangat-sangat jarang.Â
Tapi kata mertua saya, dulu itu orang pada takut jika berhadapan dengan perempuan dan perempuan pada takut berbuat curang, termasuk beliau beberapa kali coba disuap untuk dua kasus yang beliau tangani terkait perebutan aset Pemda waktu itu tentang kepemilikan sebuah Universitas Swasta milik daerah dan aset bangunan dan tanah lokasi pariwisata milik daerah yang digugat oleh pribadi yang beliau tolak mentah-mentah dan bahkan sampai harus menghadapi teror fisik.
Nah, kembali ke Peringatan Hari Perempuan Internasional. Perjuangan menuju kesetaraan gender ini tentu saja bukan hanya merupakan panggilan dan tanggungjawab kaum perempuan saja, tetapi ini jelas adalah ajakan bagi kaum perempuan dan juga laki-laki untuk berbuat dan bertindak demi percepatan tercapainya kesetaraan gender dalam kontribusi perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Peringatan Hari Perempuan Internasional yang pertama kali digagas oleh Clara Zetkin, seorang aktivis dan pembela hak-hak perempuan dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Zetkin mengagas Hari Perempuan Internasional yang dirayakan secara global di seluruh negara di dunia. Â
Gagasan Clara Zetkin ini akhirnya terwujud dan awalnya diperingati pertama kali di Austria, Denmark, Peringatan ini dirayakan dan dihormati pertama kali di Jerman, Austria, Denmark, dan Swiss, pada 19 maret 1911.Â
 Pada saat itu lebih dari satu juta orang, baik perempuan maupun laki-laki bersama menggelar aksi demonstrasi di peringatan Hari Perempuan Internasional pertama dengan menuntut hak perempuan untuk bekerja, memiliki hak pilih, memegang jabatan politik, dan menghentikan diskriminasi. Â
Setelah diterima di banyak negara, pada masa Perang Dunia I yaitu pada tahun 1913-1914, disepakati bahwa Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 8 Maret sebagaimana yang kita peringati hingga hari ini.
Internasional Women's Day akhirnya secara resmi diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1975, dimana Majelis Umum PBB memutuskan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tahunnya sesuai dengan sejarah dan tradisi nasional negara anggota.
Perjalanan panjang peringatan Hari Perempuan Internasional untuk menggugah kesadaran global sampai hari ini, meski telah membawa banyak perubahan dalam kesadaran atas hak kesetaraan gender bagi kaum perempuan tetapi sampai hari ini bias-bias stereotif dan diskriminasi masih kerap terjadi tidak saja di negara dunia ketiga bahkan di negara kita Indonesia sendiri kesetaraan itu masih keras disuarakan dan sepertinya tema dengan tagar #BreakTheBias itu sangat cocok sekali untuk mendobrak bias-bias stereotif yang masih secara "sembunyi-sembunyi" dan "terang-terangan" dipelihara di masyarakat.
Hal ini tecermin dari indeks kesetaraan gender yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP). Indonesia berada pada peringkat 101 dari 156 negara, atau terendah ketujuh se-ASEAN.Â
Filiphina merupakan negara ASEAN terbaik dalam Indeks Kesenjangan Gender Global (GGGI) pada 2021 memperoleh skor 0,784. Indeks itu sendiri memiliki skala tertinggi 1, yang menunjukkan tercapainya kesetaraan gender. Berikutnya adalah Laos, Singapura, Timor Leste, Thailand, dan Vietnam. Sementara itu, Indonesia menduduki peringkat tujuh di kawasan ini dengan skor 0,688. Angka itu tak jauh berbeda dengan Kamboja (0,684) dan Myanmar (0,681).
Adapun mengacu data lain, seperti Indeks ketimpangan gender (Gender Inequality Index/GII) Indonesia memperoleh nilai GII tertinggi (paling buruk) di ASEAN, yakni 0,48 poin. Hal itu menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan pencapaian pembangunan gender yang belum optimal dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Ini menunjukkan realita di lapangan bahwa saat ini perempuan masih tertinggal di belakang laki-laki. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga keterwakilan dalam politik.
Meski harus juga kita akui bahwa di negara kita Indonesia, sejauh ini telah terjadi peningkatan besar dalam hal mengangkat kesetaraan gender sebagai isu utama, mainstreaming gender dengan ruang-ruang ekspresi dan apresiasi bagi kaum perempuan telah terbuka dan dibuka dengan lebar, hanya saja masih saja terjadi hambatan-hambatan baik secara kultural, patriarki dan konstruksi sosial di masyarakat termasuk dalam hal ini kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum sepenuhnya memperhatikan dan menyentuh adanya perbedaan kebutuhan, pandangan, serta kondisi lainnya di masyarakat. Baik itu yang bersifat kodrati maupun hasil konstruksi sosial yang ada.
Selamat Hari Perempuan Internasional, Break The Bias majulah Perempuan, majulah negeriku.
Daftar bacaan 1: Kompas
Daftar bacaan 2: news. detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H