Satu sifat atau perangai buruk yang dimiliki oleh banyak orang adalah "marah". Marah atau kemarahan akan membawa pelakunya ke dalam suatu kondisi yang dipenuhi aura negatif, dengan rasa marah sesuatu yang kecil atau sepele, bisa saja dalam sekejap akan berubah menjadi sesuatu yang besar atau serius.
Sebenarnya, tidak ada masalah dengan marah atau kemarahan, bila alasannya tepat dan tidak berlebihan. Marah adalah sesuatu yang manusiawi, namun bukan berarti kemarahan itu bisa diumbar dengan seenak hati, apalagi jika kemarahan itu lahir dan didorong oleh hawa nafsu, inilah bentuk kemarahan yang paling buruk dan sudah pasti akan menyakiti dan merugikan orang lain dan juga diri sendiri.
Kadang kita menemui orang-orang yang melampiaskan kemarahannya dengan penuh emosi, menumpahkan semua yang menyesakkan dada, mungkin saja dengan harapan setelah segala hal yang menyesakkan dada itu tertumpah maka perasaan bisa terpuaskan dan beban yang menghimpit bisa menjadi ringan atau habis sama sekali.
Tetapi, apakah betul setelah itu kondisinya menjadi lebih baik atau jangan sampai kondisinya malah lebih buruk?. Orang-orang yang tersakiti baik fisik maupun perasaannya akibat dari kemarahan itu, akan menjadi bibit masalah yang jika semakin sering dan sering maka akan menjadi sumber masalah di belakang hari.
Kemarahan yang tidak terkendali, yang lebih banyak didorong oleh emosi akan selalu berakhir buruk. Salah satunya, disebabkan oleh karena si pemarah tidak bisa lagi memilih kata-kata yang baik. Yang keluar dari mulut yang marah hanyalah kata-kata buruk. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun sampai berwasiat: "Berkata baik atau diam."
Bukan itu saja, kemarahan yang tidak terkendali itu juga bisa melahirkan tindak laku yang buruk.
Padahal, segala hal yang buruk, pastilah jauh  dari kebaikan, dan tak mungkin bersatu dengan kebaikan itu sendiri.
Mudah marah memang selalu sejalan dan berjalan beriringan dengan kurang sabar. Apalagi jika hal yang mengenai kemarahan itu berkaitan dengan kehormatan dan hak, rasa marah itu begitu cepat tersulut.
Lantas bagaimanakah menyikapi dan mengendalikan rasa marah itu?. Yang pertama dan utama dalam menyikapi rasa marah adalah dengan menutup sumber dari kemarahan itu sendiri. Lalu apa sumber dari kemarahan itu?.
Sumber dari marah atau kemarahan itu adalah "ego pribadi" yang inilah yang harus ditutup dengan yang namanya Lillah (semua diikhlaskan karena Allah).
Sebab segala sesuatu, yang telah dijadikan Lillah akan senantiasa halus dan lembut .
Sangatlah tidak mungkin bila hati yang sudah diikhlaskan dengan Lillah, akan tega melontarkan diksi yang tajam dan menyayat hati, serta tindakan yang membabi buta.
Sebab, di dalam perbuatan yang berlandaskan Lillah ada nilai arrahman dan arrahim, otomatis yang keluar pun adalah ucapan, tatapan, dan sikap yang rahman dan rahim alias penuh dengan kasih dan sayang.
Dalam Lillah, kita tidak akan tega  "menghajar" orang habis-habisan, apalagi sampai mempermalukan orang lain di muka umum.
Jadi, perilaku seseorang yang suka meluapkan amarahnya, orang tersebut akan melakukannya dimana saja dan kepada siapapun yang membuatnya marah. Yang mana akibatnya, orang itu sendiri yang akan repot dan akan bermasalah dengan banyak orang.
Amarah yang tak terkendali jelas merugikan. Sedangkan sesuatu yang dilandasi dengan Lillah adalah jalan as-salam jalan keselamatan.Â
Dimana antara perbuatan yang dilandasi dengan Lillah dan perbuatan yang dilandasi dengan hawa nafsu, keduanya tidak bisa menyatu dalam satu hati, satu pikiran, dan satu jasad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H