Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ritual "Kasaraka" pada Tradisi Pesta Panen Jagung Suku Muna di Sulawesi Tenggara

4 Februari 2021   23:38 Diperbarui: 5 Februari 2021   14:31 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi panen jagung (Sumber: Kompas.com/Hamzah)

Mungkin masih banyak diantara kita yang belum tahu tentang propinsi Sulawesi Tenggara. Mungkin orang-orang lebih familiar dengan Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara atau bahkan mungkin lebih familiar dengan Sulawesi Tengah dan Gorontalo.

Padahal potensi sumberdaya alam Sulawesi Tenggara tidak kalah loh dengan daerah lain di Indonesia. Sebut saja satu-satunya daerah penghasil aspal alam di Indonesia adalah Sulawesi Tenggara, tepatnya di wilayah kabupaten Buton.

Walau belum dieksplotasi secara maksimal karena ada kendala dari teknologi pemanfaatan aspal alam yang belum efektif, namun seiring dengan kemajuan teknologi termasuk teknologi pengolahan dan pemanfaatan aspal alam yang sudah canggih, aspal alam Buton sudah dapat diolah dan dimanfaatkan dengan baik bahkan dengan kualitas yang terbaik.

Demikian pula dengan potensi mineral tambang nikel dan juga emas, Sulawesi Tenggara merupakan daerah penghasil nikel yang terbesar di Indonesia, jika potensi nikel yang merupakan bahan utama komponen untuk baterai elektrik bisa dimaksimalkan, maka bisa dipastikan Sulawesi Tenggara akan menjadi ujung tombak dan pusat pengembangan baterai elektrik di dunia.

Namun saya disini bukan hendak berbicara tentang potensi sumberdaya alam Sulawesi Tenggara. Tapi saya ingin berbicara tentang sekilas budaya dan kearifan lokal suku yang ada di Sulawesi Tenggara (Sultra), yakni suku Muna, dimana di Sultra selain suku Muna, ada juga suku Tolaki, Buton, Moronene, Wakatobi dan Wawonii.

Salah satu daerah di Sultra adalah Muna, yakni sebuah pulau yang terdiri dari 3 kabupaten. Pulau Muna merupakan pulau karang yang cukup keras yang dulu kala terkenal dengan kualitas kayu jatinya. Ya, di Muna pohon jati cocok untuk tumbuh ditanahnya yang keras dan kering. 

Saking kerasnya tanah Muna sehingga padi agak sulit untuk tumbuh subur, secara turun temurun masyarakat Muna lebih memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka dengan tanaman jagung dan ubi kayu.

Jagung merupakan bahan makanan pokok sejak dulu bagi masyarakat Muna. Sehingga dalam perkebunan jagung, mereka memiliki tradisi-tradisi turun-temurun yang tetap mereka pertahankan mulai dari proses pembukaan lahan hingga proses tanam dan panen semua diatur dalam tradisi adat yang merupakan kearifan lokal masyarakat Muna.

Salah satu tradisi menarik dalam budaya Muna adalah pada masa panen jagung. Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat suku Muna, saat panen pemilik kebun akan membuat acara pesta panen, yang biasanya dilaksanakan saat usia tanaman jagung memasuki 60 hari.

Bagi masyarakat Muna jagung yang dipanen di usia 60 hari merupakan jagung terbaik, yang sangat cocok untuk mereka jadikan olahan makanan mereka, dimana usia jagung 60 hari itu jagung telah matang tapi masih memiliki banyak kandungan air.

Sebelum memulai pesta panen, pemilik kebun akan mengundang keluarga dan kerabatnya bukan hanya yang tinggal di kampung situ, tapi juga dari kampung lain termasuk juga yang tinggal di Kota.

Keluarga dan kerabatnya yang diundang pun kemudian memberi kabar kepada kerabat lainnya dari mulut ke mulut.

Sehari sebelum pesta panen, pemilik kebun akan melakukan sebuah prosesi ritual panen yang disebut "Kasaraka". Ritual "Kasaraka" ini dipimpin oleh pemuka adat yang disebut "Parika".

Ritual ini dilakukan tidak lain sebagai wujud rasa syukur karena jagung yang ditanam telah tumbuh dengan baik dan telah memasuki usia panen, serta juga memohonkan kepada Allah SWT agar terus dijaga dan hasilnya melimpah serta menjadi berkah bagi semua orang hingga  masa panen yang dalam bahasa Munanya disebut "katongka".

Usai ritual Kasaraka dilakukan, esok paginya barulah pemilik kebun bisa mengambil tanaman yang akan dikonsumsi pada saat pesta panen.

Di pagi hari di saat embun masih membasahi daun-daun jagung, pemilik kebun bersama keluarga mengambil tanaman jagung muda yang sudah siap panen secukupnya.

Jagung-jagung muda yang dipetik itu kemudian mereka olah menjadi bahan makanan seperti katumbu, katumbu gola, kamperodo, dan juga untuk jagung bakar.

Selain bahan makanan diatas yang merupakan menu makanan pokok atau sumber karbohidrat pengganti nasi. Mereka juga menyiapkan santapan pendamping seperti sayur, ikan atau ayam.

Untuk sayur juga dipetik di kebun itu, karena pemilik kebun biasanya selain menanam jagung juga menanam tanaman sayuran seperti kelor sebagai pohon batas lahan atau pagar lahan, juga menanam labu, dan konduru (sejenis labu tapi saya tidak tahu bahasa Indonesianya) serta lainnya. Sayuran yang ada akan dimasak bening.

Untuk lauk seperti ayam, juga telah tersedia karena pemilik kebun juga ikut memelihara ayam, mungkin hanya ikan yang dibeli di pasar dan untuk lauk ini biasanya dan nikmatnya dimasak parende.

Semua kebeutuhan pesta panen ini ditanggung sendiri oleh pemilik kebun. Hanya saja keluarga dekat mungkin ada yang membawa sejumlah makanan-makanan tambahan atau bahan-bahan yang dibutuhkan namun sulit didapat di lokasi kebun.

Sebelum acara pesta makan siang, dimana keluarga serta kerabat telah datang dan berkumpul, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa atau disebut "haroa"  yang dipimpin oleh imam atau pegawai sara. Setelah baca doa barulah kemudian dipersilahkan kepada keluarga dan kerabat yang datang untuk menikmati hidangan yang disajikan.

Acara pesta panen ini biasanya akan berlangsung hingga sore hari, bahkan sampai keesokan harinya, keluarga dan kerabat yang datang kadang bersama kerabat yang bahkan pemilik kebun sendiri pun tak mengenalnya.

Ketika pesta panen telah usai, kerabat keluarga pun pulang, dan biasanya mereka pulang juga dengan membawa jagung muda yang baru saja dipanen.

Jika kita menilai tradisi ini secara ekonomis tentulah tidak menguntungkan, tapi bagi kami masyarakat Muna, tradisi ini bukan perkara untung rugi, tapi dengan melaksanakan tradisi turun-temurun dari orang-orang tua, ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi pemilik kebun.

Tradisi dan kearifan lokal masyarakat Muna mempercayai bahwa dengan banyak keluarga kerabat yang hadir, maka akan diganti dengan hasil panen jagung yang lebih banyak lagi nantinya dari Allah SWT. Ini semua menunjukan bahwa masyarakat Muna itu bersifat terbuka, sosial, dan kekeluargaan yang tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun