Letak tempat tinggal mereka itu kira-kira satu kilo meter dari pantai Meleura. Dekat tempat tinggal mereka ini ada sumber mata air tawar, di mana orang-orang kampung mengambil air untuk masak dan minum serta mandi. Di situ pulalah mereka orang-orang laut ini mengambil air.
Tahun-tahun berganti suatu saat terjadi kemarau yang panjang sehingga pertanian banyak yang gagal, mereka mulai kekurangan makanan. Orang-orang laut ini mulai tidak betah, mereka lupa janji mereka untuk tidak boleh memisahkan diri dengan orang kampung Meleura. Orang-orang laut berencana untuk pindah mencari tempat yang lebih menjanjikan.
Tibalah pada suatu hari mereka mengutus empat orang untuk pergi meninjau pantai laut sebelah barat Muna dengan membawa bekal yang cukup, dengan persetujuan kepala kampung mantobua.Â
Berangkatlah mereka selama dua hari dua malam hingga mereka tiba di sebelah barat pulau Muna, Namun mereka tidak menemukan tempat yang sesuai dengan keinginan mereka.Â
Tidak begitu jauh dari tempat mereka tiba ada sebuah mata air berupa danau yang bernama "Wula moni". Setelah semalaman mereka menginap di pantai barat Muna itu, mereka kembali karena bekal mereka sudah habis, juga mereka tidak melihat tempat yang mereka inginkan. Tiba di tempat mereka tinggal di Mantobua Meleura, mereka sampaikan pada kawan-kawan mereka, bahwa dalam peninjauan mereka tidak ada tempat yang memungkinkan untuk tempat tinggal di pantai barat Muna.
Pada saat mereka yang empat orang ini kembali mereka mengambil air di danau Wulamoni tersebut untuk sekadar minum dalam perjalanan kembali ke pantai Meleura, air yang mereka ambil di danau Wulamoni tidak mereka habiskan dalam perjalanan mereka kembali ke kampung Meleura.Â
Tiba di Meleura, sisa air yang mereka bawa dari pantai barat Muna itu, mereka tumpah dalam tempat air minum mereka di rumah salah seorang dari empat perutusan tersebut bercampur dengan air di Montobua.
Suatu hal yang mengejutkan terjadi, bahwa pada saat air dari Wulamoni ditumpah dan bercampur dengan air di Mantobua Meleura, tiba-tiba langit berawan, kemudian turun hujan yang lebat bersama angin yang kencang, padahal saat itu masih kemarau.Â
Tujuh hari tujuh malam hujan terus mengguyur dan angin kencang terus menerus tanpa henti, lalu salah seorang dari empat orang dari pantai barat Muna pergi bertanya kepada kepala kampung Mantobua tentang hujan dalam musim panas saat itu, sambil menceritakan bahwa, pada saat mereka tiba dari peninjauan pantai barat Muna, mereka membawa air minum dari danau Wulamoni untuk bekal minum diperjalanan, tetapi tidak habis dan sisanya mereka tumpah ke dalam tempat air mereka bercampur dengan air di Mantobua ini, dan saat itulah tiba-tiba datang hujan dan angin ini.
Saat orang laut ini melaporkan kepada kepala kampung, tiba-tiba terdengar kabar bahwa tempat tinggal orang-orang laut di pantai telah tenggelam. Begitulah seluruh tempat perumahan orang-orang laut itu bersama seluruh penduduknya telah tenggelam kecuali yang pergi melapor kepada kepala kampung, kampung mereka itu lantas menjadi serupa danau dan akhirnya mereka namakan Mantobua Motonuno, yang artinya kampung yang tenggelam. Dan pada saat itu kepala kampung/mantobua mengumumkan bahwa lain kali tidak boleh lagi mencampurkan kedua jenis air dari tempat-tempat tersebut.
Hikmah moral dari cerita rakyat ini, selain menceritakan asal usul Motonuno, adalah bahwa kita haruslah senantiasa menjunjung tinggi adat dan kebiasaan serta kepercayaan masyarakat dimana kita berpijak. Kita tidak boleh memutuskan segala sesuatu tanpa sepengetahuan ataupun izin dari masyarakat tempat kita tinggal sebagai pendatang, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Disamping itu pesan moral yang disampaikan dari cerita rakyat ini bahwa kita tidak boleh mencampur adukkan budaya lain yang dapat merusak budaya luhur, adat istiadat dan kebiasaan kita.