Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Moral dari Cerita Rakyat Asal-usul Danau Motonuno

10 Januari 2021   20:59 Diperbarui: 10 Januari 2021   21:01 2609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang disetiap daerah yang biasanya menceritakan tentang sebuah legenda atau asal-usul suatu tempat ataupun adat kebiasaan di suatu daerah. Cerita rakyat merupakan bagian dari hikayat atau dongeng yang menjadi cerita lisan yang disampaikan secara turun-temurun dan tidak diketahui siapa yang awal pertama menceritakannya, cerita rakyat bersifat tradisional dan kaya akan nilai-nilai luhur pesan moral dari generasi ke generasi.

Seperti sebuah cerita rakyat dari daerah Muna, sebuah kabupaten yang merupakan pulau di Sulawesi Tenggara, tentang tenggelamnya sebuah kampung.

Pada zaman dahulu di pulau Muna datanglah serombongan orang yang kurang lebih banyaknya tiga puluh keluarga. Mereka tiba di pantai satu mantobua (kampung) yang bernama Meleura, mereka datang dengan memakai banyak perahu.

Setibanya mereka di pantai meleura pimpinan rombongan itu segera menghadap kepala kampung/mantobua, untuk meminta izin kepada kepala kampung/mantobua.

"Kalian ini siapa dan dari mana." tanya kepala kampung.

Orang-orang pendatang ini menjawab, "Kami ini adalah orang-orang laut yang selalu berpindah tempat, di mana saja kami dapat hidup di situlah kami tinggal. Kami ini lari dari kejaran bajak laut yang menyerang perkampungan kami. Oleh karena itu secara kebetulan sekarang kami tiba di pantai kampung ini".

"Untuk itu sekarang kami datang menghadap kepada kepala kampung untuk minta izin, kiranya kami diperbolehkan tinggal di pantai laut meleura, ini" kata pemimpin rombongan itu.

Kepala kampung meleura berkata, "Silahkan kalian boleh tinggal di pantai kampung meleura ini, dengan ketentuan bahwa kalian tidak boleh bersifat memisahkan diri dengan orang-orang kampung, dalam hal tolong menolong untuk kepentingan umum dalam kampung ini, kalian harus turut serta, kalian harus menjadi orang meleura yang menjunjung tinggi adat dan kebiasaan disini"

"Kami telah dengar dan paham apa yang tuan katakan, jadi apa saja yang menurut kebiasaan dalam kampung ini tidak mungkin kami akan pisahkan diri, kami siap dan berterimakasih" Jawab pimpinan orang laut itu.

Lalu kepala kampung berkata lagi, "Kalau begitu bolehlah kalian tinggal di sini." Dan untuk kelengkapan rumah-rumah, silahkan kalian boleh menebang kayu di pantai Meleura."

Mendengar kata-kata kepala kampung, orang-orang Laut pendatang ini sangat gembira, dan segera mohon pamit untuk kembali ke pantai tempat rombongannya menunggu.
Begitulah orang-orang itupun bertempat tinggallah di pantai Meleura, mereka berbaur dengan penduduk setempat, selain sebagai nelayan mereka juga bercocok tanam.

Letak tempat tinggal mereka itu kira-kira satu kilo meter dari pantai Meleura. Dekat tempat tinggal mereka ini ada sumber mata air tawar, di mana orang-orang kampung mengambil air untuk masak dan minum serta mandi. Di situ pulalah mereka orang-orang laut ini mengambil air.

Tahun-tahun berganti suatu saat terjadi kemarau yang panjang sehingga pertanian banyak yang gagal, mereka mulai kekurangan makanan. Orang-orang laut ini mulai tidak betah, mereka lupa janji mereka untuk tidak boleh memisahkan diri dengan orang kampung Meleura. Orang-orang laut berencana untuk pindah mencari tempat yang lebih menjanjikan.

Tibalah pada suatu hari mereka mengutus empat orang untuk pergi meninjau pantai laut sebelah barat Muna dengan membawa bekal yang cukup, dengan persetujuan kepala kampung mantobua. 

Berangkatlah mereka selama dua hari dua malam hingga mereka tiba di sebelah barat pulau Muna, Namun mereka tidak menemukan tempat yang sesuai dengan keinginan mereka. 

Tidak begitu jauh dari tempat mereka tiba ada sebuah mata air berupa danau yang bernama "Wula moni". Setelah semalaman mereka menginap di pantai barat Muna itu, mereka kembali karena bekal mereka sudah habis, juga mereka tidak melihat tempat yang mereka inginkan. Tiba di tempat mereka tinggal di Mantobua Meleura, mereka sampaikan pada kawan-kawan mereka, bahwa dalam peninjauan mereka tidak ada tempat yang memungkinkan untuk tempat tinggal di pantai barat Muna.

Pada saat mereka yang empat orang ini kembali mereka mengambil air di danau Wulamoni tersebut untuk sekadar minum dalam perjalanan kembali ke pantai Meleura, air yang mereka ambil di danau Wulamoni tidak mereka habiskan dalam perjalanan mereka kembali ke kampung Meleura. 

Tiba di Meleura, sisa air yang mereka bawa dari pantai barat Muna itu, mereka tumpah dalam tempat air minum mereka di rumah salah seorang dari empat perutusan tersebut bercampur dengan air di Montobua.

Suatu hal yang mengejutkan terjadi, bahwa pada saat air dari Wulamoni ditumpah dan bercampur dengan air di Mantobua Meleura, tiba-tiba langit berawan, kemudian turun hujan yang lebat bersama angin yang kencang, padahal saat itu masih kemarau. 

Tujuh hari tujuh malam hujan terus mengguyur dan angin kencang terus menerus tanpa henti, lalu salah seorang dari empat orang dari pantai barat Muna pergi bertanya kepada kepala kampung Mantobua tentang hujan dalam musim panas saat itu, sambil menceritakan bahwa, pada saat mereka tiba dari peninjauan pantai barat Muna, mereka membawa air minum dari danau Wulamoni untuk bekal minum diperjalanan, tetapi tidak habis dan sisanya mereka tumpah ke dalam tempat air mereka bercampur dengan air di Mantobua ini, dan saat itulah tiba-tiba datang hujan dan angin ini.

Saat orang laut ini melaporkan kepada kepala kampung, tiba-tiba terdengar kabar bahwa tempat tinggal orang-orang laut di pantai telah tenggelam. Begitulah seluruh tempat perumahan orang-orang laut itu bersama seluruh penduduknya telah tenggelam kecuali yang pergi melapor kepada kepala kampung, kampung mereka itu lantas menjadi serupa danau dan akhirnya mereka namakan Mantobua Motonuno, yang artinya kampung yang tenggelam. Dan pada saat itu kepala kampung/mantobua mengumumkan bahwa lain kali tidak boleh lagi mencampurkan kedua jenis air dari tempat-tempat tersebut.

Hikmah moral dari cerita rakyat ini, selain menceritakan asal usul Motonuno, adalah bahwa kita haruslah senantiasa menjunjung tinggi adat dan kebiasaan serta kepercayaan masyarakat dimana kita berpijak. Kita tidak boleh memutuskan segala sesuatu tanpa sepengetahuan ataupun izin dari masyarakat tempat kita tinggal sebagai pendatang, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Disamping itu pesan moral yang disampaikan dari cerita rakyat ini bahwa kita tidak boleh mencampur adukkan budaya lain yang dapat merusak budaya luhur, adat istiadat dan kebiasaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun