Arsitek adalah profesi yang melibatkan khusus pada aspek perancangan sebuah bangunan. Kualitas estetika sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang arsitek, terutama dalam pembangunan infrastruktur umum. Dewan Arsitek Indonesia (DAI) telah mengeluarkan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) yang digunakan sebagai penyelarasan daripada dukungan terhadap akselerasi pembangunan infrastruktur handal, berkelanjutan, dan memiliki nilai estetika.Â
Hal tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan investasi dan ekonomi nasional sebagaimana yang tercantum pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang tersebut secara khusus menuntut profesionalisme penyedia jasa, termasuk profesi pekerjaan arsitek. (1)
Meskipun melalui UU Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Arsitek yang menyatakan bahwa DAI sepenuhnya bersifat mandiri dan independen untuk membantu Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan profesi arsitek, tengah di waktu ini, melimpahnya keterbatasan jumlah arsitek yang berlisensi professional di Indonesia.Â
Menurut data direktori Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), terdapat 4.240 atau 15% anggota organisasi tersebut yang memiliki STRA (14/10/2024). Angka tersebut menjadi refleksi daripada penunjangan kualitas pembangunan di Indonesia yang merupakan bagian dari tujuan sertifikasi arsitek di Indonesia melalui persyaratan khusus tertera.
Terkait dengan lisensi profesional seorang arsitek, Indonesia sudah didahului oleh negara-negara di Dunia, termasuk bangsa tetangga. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara maju, sudah menerapkan UU First Architecture Practice Act pada tahun 1897 dan menetapkan pula arsitek berlisensi pertama. Sementara itu, Singapura sudah menetapkan UU yang menertibkan regulasi arsitek pada tahun 1991. Kedua negara menerapkan proses integrasi antara bangunan dan lingkungan sekitar, mulai dari infrastruktur hingga tata ruang kota.
Panduan Urban Design (UD) Singapura, badan pengawasan perkembangan perancangan kota Singapura, memiliki kerangka kerja yang membantu untuk mengintegrasikan perkembangan infrastruktur dengan lingkungan perkotaan di sekitarnya. Setiap peraturan perancangan perkotaan yang dimiliki kota tersebut, dijalankan melalui implementasi keuntungan dua arah.Â
Melalui otoritas pembangunan dan konstruksi negara, dirancangkan sebuah tujuan untuk meningkatkan aspek berkelanjutan dari kota tersebut. Keuntungan dua arah tersebut mengarah pada langkah yang harus dilaksanakan secara tegas agar pengembang dan pemerintah setempat sama-sama mendapatkan manfaatnya masing-masing. Oleh karena itu, terjadilah pembangunan yang memenuhi aspek estetika dan fungsionalitas tertentu berdasarkan sasaran tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang dapat dilihat melalui peristiwa keterlibatan arsitek masih sering kali hanya sebatas memenuhi syarat administratif pengembang, tanpa melihat keperluan multi fungsional pada aspek rancangan bangunan.
 Seringkali, pengembang atau klien di Indonesia hanya menggunakan jasa arsitek sebagai syarat pemenuhan administratif izin bangun, meskipun arsitek tersebut hanya mengarah pada proses penyelesaian proyek. Masalah tersebut dapat mengancam keamanan dan kenyamanan bersama di dalam satu lingkungan, karena masih berkeliarannya keterlibatan dengan politik kepentingan dan korupsi administratif kepala daerah atau tata kota setempat.
Bayangkan sebuah kota yang dibangun tanpa campur tangan arsitek yang berkompeten dan berlisensi. Bangunan-bangunan akan bertumbuh liar tanpa tatanan dan kerangka peraturan yang jelas.Â
Akan dipenuhi pula berbagai permasalahan sosial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada kenyamanan dan keamanan penduduk kota. Gedung-gedung seakan-akan tidak nikmat untuk dipandang dari kejauhan. Tanpa arsitek yang terstandarisasi seluruh Indonesia, maka ilustrasi tersebut dapat menjadi realita sebelum pencapaian Indonesia Emas 2045.
Sebuah bangunan sudah selayaknya diilustrasikan, didesain, dan dirancang oleh seorang arsitek berlisensi. Pemerintah harus memiliki upaya khusus untuk meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur di Indonesia, tidak hanya dari segi fungsionalitas, tetapi juga dari aspek estetika terhadap relevansi dari tata kota yang ada. Ketidakteraturan yang berkesinambungan dalam hal ini, akan berdampak dalam jangka panjang. Sejak, sebuaha bangunan akan berdiri kokoh seminimalnya sekitar 50 tahun.
Menteng dikenal sebagai daerah eks elit Belanda dengan perumahan-perumahan mewahnya. Sekarang, Menteng sudah secara perlahan-lahan kehilangan identitasnya sebagai daerah cagar budaya. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya kemunculan bangunan-bangunan yang tidak memperhatikan kondisi konteks lingkungan sekitar dan melibatkan politik kepentingan, serta korupsi.Â
Kasus-kasus tersebut pastinya tidak sering untuk menjadi topik permasalahan di Indonesia, meskipun hal tersebut memengaruhi estetika dan standarisasi yang sudah dipegang oleh daerah setempat. Pihak pemerintah dan pengembang harus sama-sama bergandengan tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut agar generasi berikutnya dapat menikmati kenyamanan yang indah.
Permasalahan ini seharusnya tidak menjadi pembahasan utama yang didengar oleh masyarakat umum. Topik ini seakalnya menjadi kewajiban kita bersama untuk bergotong royong mengambil langkah penting menjaga keindahan pembangunan infrastruktur Indonesia yang maju dan berkualitas. Di sisi lain, kita tidak bisa menilai sepenuhnya melalui berbagai metodis bahwa kepemilikan STRA berbanding lurus dengan kualitas pembangunan di Indonesia. Registrasi tersebut hanya digunakan sebagai standarisasi secara nasional dan estetika sepenuhnya ditanggung oleh masing-masing arsitek sebagai seorang individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H