Pemahaman Montesquieu yang diadopsi mengenai Trias Poltika seyogyanya adalah untuk meniadakan ketiranian penguasa, yang sebelumnya terjadi pada Raja yang tiran.
Banyak negara pada masa-masa sekarang yang menggunakan sistim presidensiil (bukan sistim parlementer) dengan pelaksanaan penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan Trias Politika tersebut. Â Salah satunya adalah Indonesia.Â
Indonesia yang menggunakan sistim hukum "civil law", mengembangkan sistim hukum tersebut sedemkian rupa yang dimulai sejak proklamasi kemerdekaan dengan tiga pilar sistim hukum, yaitu sistim hukum Islam, sistim hukum adat, dan sistim hukum barat (sistim hukum barat merupakan peninggalan kolonial Belanda yang secara perlahan-lahan dikonversi menjadi sistim hukum nasional).
Pada awal-awal kemerdekaan, penggunaan sistim hukum barat cukup kaku, dimana sistim hukum Islam dan sistim hukum Adat belum massive melebur. Â Sedemikian rupa kakunya penggunaan sistim hukum barat tersebut sehingga ada saja pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang masih belum sejalan dengan rasa kebudayaan serta kenasionalan bangsa Indonesia.
Pada masa itu hingga bertahun-tahun selanjutnya juga mempengaruhi pelaksanaan Trias Politika dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Â Dimana lembaga legislatif yang berfungsi sebagai produsen peraturan perundang-undangan terkesan hanya sebagai "tukang stemple" atas apa yang diinginkan oleh Pemerintah. Â Apalagi pada masa-masa itu, interpretasi terhadap undang-undang memiliki kecenderungan terhadap interpretasi sesuai dengan "maunya" Pemerintah dalam hal ini Presiden.
Pada saat itu, mungkin dapat kita sebut tidak ada yang salah karena masih mudanya usia negara Indonesia dan masih perlu belajar dan mengadopsi segala hal yang menyangkut pola pelaksanaan pemerintahan. Â Belajar dari pengalaman negara-negara lain, belajar dari keanekaragaman hukum adat di Indonesia, serta belajar dari pengalaman sendiri.
Indonesia membutuhkan perjalanan yang panjang serta waktu yang banyak untuk tiba ke masa tahun 1998, dimana terjadinya "revolusi damai" yang lebih cocok disebut reformasi. Â Sebagai pengingat, pemicu terjadinya reformasi tersebut adalah, betapa Indonesia terpuruk dalam berbagai bidang, ekonomi yang merosot sedemikian parah, pelanggaran HAM, korupsi yang sangat massive, pemerintahan yang cenderung "tiran", dan lain sebagainya.
Banyak elemen bangsa pada saat itu bersatu padu untuk menyelamatkan negara dari kegentingan. Â Tetapi mungkin ada yang tidak diperhatikan pada saat itu, yaitu adanya "Pam Swakarsa" yang turut mendukung proses reformasi, tetapi secara perlahan-lahan membesar sedemikian rupa hingga sampai pada suatu titik "nyaris" tidak terkendalikan.
Sepertinya "Pam Swakarsa" tersebut dilahirkan untuk mendukung reformasi, dan setelah reformasi selesai sang pembentuk "Pam Swakarsa" lupa untuk mengendalikannya, sehingga "Pam Swakarsa" membesar, tidak terarah, dan menginfiltrasi sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lugu. Â Cerita yang mirip terjadi tatkala negara-negara barat membentuk pejuang di Afganistan saat mengusir Uni Sovyet yang menyerbu negara Afganistan. Â Setelah Uni Sovyet mundur dari Afganistan, pejuang bentukan tersebut kehilangan induk yang membiayai dan mengurus, sehingga harus berjuang sendiri mencari pendana dan pendukung untuk tetap bertahan. Â Apa yang terjadi kemudian, secara ringkas dapat dilihat pada artikel sebelumnya yang berjudul "Reinkarnasi Machiavelli".
Sejak reformasi 1998 hampir seluruh elemen masyarakat yang sangat antipati dengan segala sesuatu peninggalan yang berbau orba (sama halnya pada saat orba menggulingkan orla, segala sesuatu yang berbau orla akan dihabisi). Â Tidak ketinggalan Pendidikan Pancasila juga turut "terfitnah" sebagai alat kekuasaan orba selama memerintah, sehingga Pendidikan Pancasila sempat hilang selama kira-kira 20 tahun dari kehidupan seluruh masyarakat.
Melompat ke masa-masa di tahun 2020, dimana seluruh negara termasuk Indonesia harus berjuang menghadapi dan menanggulangi wabah Covid-19. Â Seharusnya dengan segala daya upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat terlihat sepertinya Indonesia akan berhasil menanggulangi wabah Covid-19.
Terdapat fenomena adanya suatu propinsi yang memiliki nuansa berbeda dengan sistim pemerintahan Indonesia, yaitu Propinsi DKI Jakarta. Â Sejak selesainya perhelatan Pilkada yang menetapkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI, banyak sekali hal-hal "ajaib" yang dilakukan. Â Penulis tidak menuliskan ulang hal ajaib apa saja yang dilakukan oleh Gubernur DKI tersebut, pembaca dipersilahkan mencari datanya yang sangat banyak beredar di berbagai media massa yang kredibel.
Melihat dari fenomena yang terjadi selama ini, yang terkadang timbul di alam bawah sadar penulis adalah apa model pemerintahan di DKI ? Apakah DKI masih menggunakan sistim pemerintahan yang merupakan turunan dari sistim Presidensiil ? Â Atau mungkin kekhususan DKI salah satunya adalah bahwa DKI secara mandiri menggunakan sistim pemerintahan turunan dari sistim parlementer ? Dimana eksekutif (Pemda) bertanggungjawab kepada legislatif (DPRD) bukan kepada rakyat. Â Sepanjang legislatif (DPRD) merasa nyaman dan tidak mengeluarkan mosi tidak percaya, maka eksekutif (Gubernur) akan tetap berada di posisinya.
Lalu, kemana rakyat DKI ? Apakah rakyat DKI tidak berhak meminta pertanggungjawaban Gubernur dengan segala tindakan ajabinya ? Atau mungjin rakyat DKI merasa bekum waktunya meminta pertanggungjawaban Pemda ?Â
Hampir 4 tahun memerintah, dan selama periode itu kita merasakan gejala-gejala Pam Swakarsa yang dulu pernah "melegenda" pada masa reformasi, tetapi kali ini gejala Pam Swakarsa yang dirasakan adalah mempertahankan keberadaan Gubernur.
Betapa konsep Trias Politika dikangkangi di Propinsi DKI, tanpa check and balances oleh DPRD yang seharusnya dilakukan secara nyata terhadap keajaiban yang dilakukan oleh Gubernur, dan tanpa adanya pengawasan dari yudikaitf, sehingga dapat dirasakan betapa APBD berdarah-darah dalam penanganan Covid-19 sampai kepada dimana Pemda meminta bantuan secara langsung kepada pihak asing (kedubes) untuk membantu pembelian perabotan demi kepentingan penanggulangan Covid-19.
Atau mungkin saja, Propinsi DKI selain berasa sedang menggunakan sistim turunan dari sistim Parlementer, juga merasa bahwa Propinsi DKI adalah sebuah negara yang memiliki kewenangan dalam berhubungan dengan negara lain. Â Sampai kapan "keajaiban" ini harus terus berlangsung ?
Keajaiban dan keluarbaiasaan ini mirip dengan gaya tirani seperti yang disarankan oleh Montesquieu kepada para pangeran-pangeran di masa lalu untuk mempertahankan kekuasaan dan ketiraniannya. Â Pemisahan hati nurani dengan kekuasaan adalah salah satu ciri dari matinya Trias Politika di DKI. Sehingga ternyata kebebasan penguasa dalam menjalankan ketiraniannya menghilangkan kebebasan orang lain dalam menjalankan kemanusiannya.-MIN-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H