Terdapat fenomena adanya suatu propinsi yang memiliki nuansa berbeda dengan sistim pemerintahan Indonesia, yaitu Propinsi DKI Jakarta. Â Sejak selesainya perhelatan Pilkada yang menetapkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI, banyak sekali hal-hal "ajaib" yang dilakukan. Â Penulis tidak menuliskan ulang hal ajaib apa saja yang dilakukan oleh Gubernur DKI tersebut, pembaca dipersilahkan mencari datanya yang sangat banyak beredar di berbagai media massa yang kredibel.
Melihat dari fenomena yang terjadi selama ini, yang terkadang timbul di alam bawah sadar penulis adalah apa model pemerintahan di DKI ? Apakah DKI masih menggunakan sistim pemerintahan yang merupakan turunan dari sistim Presidensiil ? Â Atau mungkin kekhususan DKI salah satunya adalah bahwa DKI secara mandiri menggunakan sistim pemerintahan turunan dari sistim parlementer ? Dimana eksekutif (Pemda) bertanggungjawab kepada legislatif (DPRD) bukan kepada rakyat. Â Sepanjang legislatif (DPRD) merasa nyaman dan tidak mengeluarkan mosi tidak percaya, maka eksekutif (Gubernur) akan tetap berada di posisinya.
Lalu, kemana rakyat DKI ? Apakah rakyat DKI tidak berhak meminta pertanggungjawaban Gubernur dengan segala tindakan ajabinya ? Atau mungjin rakyat DKI merasa bekum waktunya meminta pertanggungjawaban Pemda ?Â
Hampir 4 tahun memerintah, dan selama periode itu kita merasakan gejala-gejala Pam Swakarsa yang dulu pernah "melegenda" pada masa reformasi, tetapi kali ini gejala Pam Swakarsa yang dirasakan adalah mempertahankan keberadaan Gubernur.
Betapa konsep Trias Politika dikangkangi di Propinsi DKI, tanpa check and balances oleh DPRD yang seharusnya dilakukan secara nyata terhadap keajaiban yang dilakukan oleh Gubernur, dan tanpa adanya pengawasan dari yudikaitf, sehingga dapat dirasakan betapa APBD berdarah-darah dalam penanganan Covid-19 sampai kepada dimana Pemda meminta bantuan secara langsung kepada pihak asing (kedubes) untuk membantu pembelian perabotan demi kepentingan penanggulangan Covid-19.
Atau mungkin saja, Propinsi DKI selain berasa sedang menggunakan sistim turunan dari sistim Parlementer, juga merasa bahwa Propinsi DKI adalah sebuah negara yang memiliki kewenangan dalam berhubungan dengan negara lain. Â Sampai kapan "keajaiban" ini harus terus berlangsung ?
Keajaiban dan keluarbaiasaan ini mirip dengan gaya tirani seperti yang disarankan oleh Montesquieu kepada para pangeran-pangeran di masa lalu untuk mempertahankan kekuasaan dan ketiraniannya. Â Pemisahan hati nurani dengan kekuasaan adalah salah satu ciri dari matinya Trias Politika di DKI. Sehingga ternyata kebebasan penguasa dalam menjalankan ketiraniannya menghilangkan kebebasan orang lain dalam menjalankan kemanusiannya.-MIN-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H