Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Slow Living Ternyata Tidak Selalu Seindah yang Dibayangkan

22 Desember 2024   19:40 Diperbarui: 22 Desember 2024   19:40 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan ChatGPT.OpenAI

Slow living, atau gaya hidup yang menekankan pada ketenangan, kesederhanaan, dan mindfulness, telah menjadi impian bagi banyak orang yang ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Gagasan ini seolah menjanjikan kebahagiaan melalui hidup yang lebih tenang dan dekat dengan alam. Namun, apakah realitanya selalu seindah itu?

Sebagai seseorang yang pernah bermimpi untuk meninggalkan Jakarta demi menjalani slow living di daerah, saya ingin berbagi pengalaman dan refleksi pribadi tentang bagaimana konsep ini tidak selalu seideal yang dibayangkan.

Harapan Awal: Menemukan Kedamaian di Daerah

Ketika masih muda, saya sering membayangkan kehidupan yang lebih tenang di daerah. Membayangkan udara segar, suasana damai, dan masyarakat yang hangat seperti yang saya alami saat kecil, baik ketika saya tinggal di Pekanbaru atau pun sedang berlibur di berbagai kota kecil dan pedesaan.

Pada masa itu, kehidupan di daerah terasa penuh dengan keakraban, gotong royong, dan kebersamaan yang kini jarang ditemukan di kota besar. Saya pun memutuskan untuk mencoba pindah dari Jakarta dan menjalani kehidupan slow living di sebuah kota kecil.

Tiga bulan pertama adalah masa-masa yang indah. Saya merasa bebas dari tekanan kota besar dan menemukan ritme hidup yang lebih lambat.

Pagi-pagi diisi dengan secangkir kopi di teras sambil menikmati pemandangan hijau. Malam-malam terasa sunyi, jauh dari kebisingan kendaraan. Tapi, lambat laun, kenyataan mulai menunjukkan sisi lain dari slow living.

Realita yang Tidak Seindah Bayangan

Setelah tiga bulan, rasa jenuh mulai menghantui. Ritme hidup yang monoton dan kurangnya variasi aktivitas membuat saya merasa kehilangan arah.

Sebagai seseorang yang terbiasa dengan dinamika kota besar, adaptasi ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Alih-alih merasa damai, saya merasa seperti mengalami kemunduran.

Selain itu, kehangatan masyarakat daerah yang saya bayangkan tidak lagi sama seperti saat saya kecil. Era digital tampaknya telah mengubah cara orang berinteraksi. Kehangatan yang dulu terasa kini tergantikan oleh kesibukan individu dengan perangkat mereka masing-masing. Saya mulai merindukan kehidupan kota dengan segala kompleksitas dan dinamikanya.

Kembali ke Bintaro: Menemukan Keseimbangan

Akhirnya, saya memutuskan untuk kembali ke Bintaro, tempat yang menurut saya menawarkan keseimbangan antara slow living dan fast living. Di sini, saya merasa bisa mengatur hidup sesuai kebutuhan.

Ketika saya ingin menikmati ketenangan, saya bisa melakukannya dengan mudah. Ketika saya ingin kembali ke ritme yang lebih cepat dan produktif, kota satelit ini juga menyediakan fasilitas untuk itu. Ketika saya ingin bepergian ke tempat lain, akses dan fasilitas transportasi juga mendukung.

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal

Bintaro menjadi tempat di mana saya dapat menciptakan kombinasi gaya hidup yang ideal. Di satu sisi, saya bisa menikmati momen tenang di lingkungan yang nyaman. Di sisi lain, saya tetap terhubung dengan berbagai aktivitas modern yang membuat saya merasa relevan dan berkembang.

Refleksi: Slow Living Sebagai Kombinasi, Bukan Isolasi

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa slow living bukanlah tentang sepenuhnya meninggalkan kehidupan yang sibuk atau modern. Sebaliknya, ini adalah tentang menciptakan keseimbangan antara ketenangan dan dinamika.

Slow living tidak selalu berarti pindah ke daerah terpencil atau menjalani hidup yang sepenuhnya lambat. Ini lebih kepada bagaimana kita memilih untuk memperlambat ritme di tengah kesibukan, menjaga mindfulness, dan menikmati momen-momen kecil dalam hidup.

Kenyataannya, slow living juga memiliki tantangan, seperti rasa bosan, keterbatasan akses, atau bahkan rasa keterasingan. Namun, dengan pendekatan yang tepat, slow living bisa diintegrasikan dalam kehidupan modern tanpa harus mengorbankan produktivitas atau konektivitas.

Penutup

Slow living mungkin cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak selalu relevan untuk semua situasi atau fase kehidupan. Seperti yang saya alami, konsep ini hanya membawa kebahagiaan sementara jika diterapkan tanpa pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan prioritas kita.

Pada akhirnya, yang terpenting adalah menemukan ritme hidup yang sesuai dengan diri kita, baik itu slow living, fast living, atau kombinasi keduanya.

Apakah Anda pernah mencoba slow living? Bagaimana pengalaman Anda? Mari berbagi cerita dan refleksi tentang gaya hidup ini.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun