Dalam perjalanan saya pekan ini ke Solo, sebuah kota dengan warisan sejarah yang begitu kaya, saya tak melewatkan kesempatan untuk mengunjungi Gedung Djoeang 45, sebuah bangunan yang kini menjadi salah satu tempat wisata sejarah yang populer di kalangan masyarakat, terutama anak muda.
Terletak di Jalan Mayor Sunaryo, Kedung Lumbu, Pasar Kliwon, gedung ini mudah dijangkau dari pusat kota. Namun, daya tarik utamanya bukan hanya karena letaknya yang strategis, melainkan juga karena kekayaan sejarah dan kisah perjuangan di baliknya.
Sejarah Panjang Gedung Djoeang 45
Gedung Djoeang 45 Solo memiliki sejarah yang panjang dan penuh makna, dari era kolonial hingga masa kemerdekaan. Didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1876 dan selesai dibangun pada 1880, gedung ini awalnya dikenal sebagai Cantienstraat, yang berarti "jalan kantin", karena digunakan sebagai fasilitas untuk melayani tentara Belanda.
Gedung ini berperan penting sebagai pendukung Benteng Vastenburg, yang pada waktu itu sudah tak mampu lagi menampung seluruh pasukan Belanda. Oleh karena itu, Gedung Djoeang difungsikan sebagai asrama militer untuk pasukan tambahan.
Ketika Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942, gedung ini pun tidak luput dari pengambilalihan oleh pasukan Jepang. Selama masa pendudukan Jepang, bangunan ini dikenal dengan nama Senkokan dan difungsikan sebagai markas militer. Masa-masa tersebut menambah lapisan sejarah kelam namun penting dalam perjalanan gedung ini.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, gedung ini kembali direbut oleh para pejuang Indonesia dan mulai berfungsi sebagai pusat kegiatan kemerdekaan. Pada tahun 1945, gedung ini menjadi saksi bisu perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan namanya diubah menjadi Gedung Djoeang 45 untuk menghormati semangat perjuangan yang semakin berkobar pada tahun tersebut.
Seiring berjalannya waktu, gedung ini terus mengalami perubahan fungsi, mulai dari panti asuhan, markas Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga kini menjadi kantor Dewan Harian Cabang '45 (DHC '45).
Kini, Gedung Djoeang 45 tercatat sebagai Bangunan Cagar Budaya di Kota Solo dan berada di bawah pengelolaan Kementerian Pertahanan. Bangunan ini tetap kokoh berdiri sebagai simbol perjuangan dan pengingat akan pengorbanan besar yang telah dilakukan demi kemerdekaan Indonesia.
Monumen Laskar Putri Surakarta: Mengabadikan Semangat Perempuan Pejuang
Di halaman Gedung Djoeang 45, terdapat Monumen Laskar Putri Surakarta yang merupakan sebuah tetenger sejarah. Monumen ini dibangun untuk mengenang keberanian kaum perempuan Surakarta yang ikut serta dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah pada masa kemerdekaan. Salah satu momen paling penting yang diabadikan oleh monumen ini adalah peran para wanita dalam serangan 4 hari pada tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949.