Setiap kali berkunjung ke Yogyakarta, ada satu hal yang selalu saya cari---gudeg, makanan khas Jogja dengan cita rasa manis yang sudah melekat di hati saya. Gudeg bukan hanya sekadar makanan, tetapi bagian dari pengalaman tak terlupakan saat menjelajahi kota ini.
Bagi saya, berburu gudeg di berbagai tempat, mulai dari emperan toko hingga hotel berbintang, selalu memberi sensasi berbeda.
Di setiap kunjungan ke Yogyakarta, baik untuk urusan pekerjaan maupun sekadar liburan, saya selalu menyempatkan diri untuk mencicipi gudeg dari berbagai penjaja. Salah satu favorit saya adalah gudeg yang dijual di lesehan trotoar, tepat di depan toko-toko yang sederhana.
Penjual gudeg di tempat-tempat seperti ini biasanya tanpa merk atau brand terkenal, namun justru itulah yang membuat mereka istimewa. Resep tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi terasa begitu otentik, menghadirkan cita rasa yang khas, manis dan gurih.
Duduk di lesehan, menyantap gudeg sambil mendengarkan lagu "Yogyakarta" yang dinyanyikan pemusik jalanan, membuat pengalaman kuliner ini terasa begitu magis.
Namun, petualangan gudeg saya tak hanya berhenti di situ. Saya juga menyempatkan diri untuk menjelajahi Gudeg Kampung Wijilan, yang terletak tak jauh dari Kompleks Keraton Yogyakarta. Di sini, deretan penjual gudeg dengan berbagai variasi rasa dan lauk siap memanjakan para pencinta kuliner.
Dua favorit saya di Kampung Wijilan adalah Gudeg Yu Djum, yang sudah eksis sejak 1951, dan Gudeg Bu Lies, yang mulai berdiri pada 1993. Gudeg Yu Djum, dengan kendi khasnya, sering saya bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta. Gudeg ini terkenal tahan lama dan tetap lezat hingga tiba di rumah.
Sementara itu, Gudeg Bu Lies juga tak kalah enak, dengan rasa yang tidak terlalu manis dan nasi gurih yang sempurna, ditemani oleh telur dan lauk lainnya yang bumbunya meresap sempurna.