Di dalam kompleks keraton, saya menemukan Gedong Negeri, sebuah bangunan yang dulunya digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi pemerintahan keluarga keraton. Kini, Gedong Negeri telah berubah fungsi menjadi Kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Sumenep, namun pesona sejarahnya tetap terasa kuat.
Tak jauh dari keraton, saya melangkah ke Taman Sare, sebuah taman yang dahulu menjadi tempat pemandian putra-putri adipati. Di tengah-tengah taman ini, saya bisa merasakan ketenangan dan kedamaian yang seakan mengajak saya untuk merenungi kejayaan masa lalu. Berjalan di sekitar kompleks keraton ini membawa saya pada bayangan kehidupan kerajaan di masa lampau, ketika para bangsawan Madura masih berkuasa dengan segala tradisi dan kebudayaan adiluhungnya.
Setelah puas mengeksplorasi keraton, perjalanan napak tilas saya berlanjut menuju Masjid Jamik Sumenep. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga sebuah simbol keagungan arsitektur dan spiritualitas masyarakat Sumenep. Saat pertama kali melihatnya, saya terpesona oleh keunikan arsitekturnya. Dibangun oleh Panembahan Somala pada abad ke-18, masjid ini memiliki gaya arsitektur yang unik, mirip dengan kastil dan kuil-kuil di Jepang, hasil rancangan seorang arsitek Tionghoa bernama Law Pia Ngho.
Yang menarik, posisi Masjid Jamik ini tidak sembarangan. Alun-alun kota menjadi pusatnya, dan jika kita berdiri di alun-alun menghadap ke barat, kita akan melihat masjid ini berdiri megah. Ini melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu, jika kita berbalik menghadap ke timur, kita akan melihat Keraton Sumenep yang melambangkan hubungan manusia dengan sesama.
Filosofi tata kota ini mengingatkan saya pada ajaran Hindu, di mana timur melambangkan kehidupan, tempat manusia menjalani kehidupannya di dunia, dan barat melambangkan kematian serta akhirat. Keharmonisan antara ajaran Islam dan filosofi Hindu dalam penataan kota ini membuat saya semakin menghargai betapa dalamnya makna di balik setiap sudut kota Sumenep.
Setelah menelusuri sejarah dan arsitektur kota, perut saya mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah saya memutuskan untuk mencoba kuliner khas Sumenep yang terkenal, Sate Bluto. Sate ini memiliki keunikan tersendiri, dengan potongan daging yang besar dan bumbu kacang yang gurih.Â
Ketika pertama kali mencicipinya, saya langsung terkesan dengan rasa daging yang empuk dan bumbu yang meresap sempurna. Lezatnya Sate Bluto benar-benar memanjakan lidah saya dan menjadi pelengkap yang sempurna untuk perjalanan saya kali ini. Sate ini terasa sangat istimewa, membuat saya ingin mencicipinya lagi di kunjungan berikutnya ke Sumenep.