Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Merenungkan Kembali Kebijakan Penyediaan Alat Kontrasepsi Bagi Remaja: 17 Tahun Lalu Saya Dihujat Ibu-Ibu karena Mengkritik Hal Tersebut

7 Agustus 2024   19:57 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:02 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dengan AI: copilot.microsoft.com, dokumentasii pribadi Merza Gamal

Pada pertengahan tahun 2007, lebih dari 17 tahun yang lalu, saya menulis di sebuah media tentang perubahan fungsi kondom dalam iklan-iklan di televisi. Kondom yang dulunya dikenal sebagai alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana, kini lebih sering dipromosikan sebagai alat penjaga kesehatan untuk mencegah HIV dan penyakit menular seksual lainnya.

Iklan-iklan tersebut tidak mempersoalkan apakah hubungan seks dilakukan dengan pasangan resmi atau bukan, sehingga memunculkan kesan seolah-olah mengajarkan seks bebas kepada remaja.

Tulisan saya tersebut menuai banyak hujatan, terutama dari ibu-ibu yang menuduh saya sebagai seorang yang tidak mengerti keadaan dan munafik. Mereka berpendapat bahwa sudah seharusnya kita bersyukur atas keterbukaan dalam memberikan petunjuk tentang hidup sehat melalui iklan-iklan kondom di TV tersebut.

Bagi mereka, iklan-iklan tersebut adalah cerminan dari realitas masyarakat saat itu, yang perlu dihadapi dengan jujur dan terbuka. Saya tidak terbayang jika tulisan itu saya tulis sekarang di era kemerdekaan media sosial saat ini.

Namun demikian, dari sudut pandang konservatif saya, pandangan tersebut justru mengkhawatirkan. Saya yakin bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, seperti yang tercantum dalam Pasal 103 PP Nomor 28 Tahun 2024, dapat memicu perilaku seks bebas. Walaupun tujuannya adalah untuk melindungi kesehatan, saya khawatir hal ini dapat diartikan sebagai dukungan atau legitimasi terhadap perilaku yang seharusnya dihindari oleh para remaja.

Seks bebas bukan hanya berpotensi membahayakan kesehatan fisik, tetapi juga dapat mengganggu kesehatan mental dan moral remaja, terutama ketika dilakukan di luar ikatan pernikahan.

Realitas Kehidupan Remaja: Sebuah Fenomena yang Mengkhawatirkan

Kehidupan remaja di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pergeseran nilai dan norma dalam masyarakat terlihat jelas, terutama terkait dengan perilaku seksual remaja. Berdasarkan data terbaru dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 60% remaja usia 16-17 tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah.

Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan data tahun 2000, di mana hanya 6,5% remaja melaporkan telah melakukan hubungan seksual (Solopos.com). Temuan ini diperkuat oleh sebuah survei oleh Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa 91,6% remaja pernah mengalami, melihat, atau mendengar kekerasan seksual, dengan 37,6% di antaranya mengaku dipaksa melakukan hubungan seksual (VOA Indonesia). 

Data ini mencerminkan fenomena gunung es, di mana hanya sebagian kecil yang tampak di permukaan. Masih banyak kasus yang tidak terungkap, mengindikasikan bahwa perilaku seksual pranikah di kalangan remaja mungkin lebih meluas dari yang tercatat.

Fakta bahwa 90% pelaku dan pembuat film porno amatir adalah pelajar dan mahasiswa menambah keprihatinan terhadap tren ini. Remaja seringkali terlibat dalam aktivitas yang mereka anggap sebagai bagian dari eksplorasi dan petualangan, namun tanpa kesadaran akan konsekuensi jangka panjangnya.

Penyediaan Alat Kontrasepsi: Langkah Preventif atau Pendorong?

Kebijakan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, seperti yang diatur dalam Pasal 103 PP Nomor 28 Tahun 2024, menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan penularan penyakit menular seksual (PMS).

Namun demikian, dari sudut pandang konservatif, penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dapat dianggap sebagai pengesahan terselubung terhadap aktivitas seksual pranikah.

Perilaku seksual pranikah tidak hanya memiliki implikasi kesehatan fisik, seperti risiko infeksi PMS dan kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga dampak psikologis dan sosial yang serius. Remaja yang terlibat dalam hubungan seksual pranikah cenderung menghadapi tekanan emosional, stres, dan kecemasan.

Selain itu, aktivitas ini dapat mengganggu fokus dan perkembangan akademik serta menjauhkan remaja dari nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi dalam budaya kita.

Efek Penyediaan Alat Kontrasepsi terhadap Perlindungan Anak

Membaca tulisan Bu Yana Haudy, seorang pakar parenting terkemuka Indonesia, "Efek Penyediaan Alat Kontrasepsi di PP 28/2024 terhadap Perlindungan Anak" di Kompasiana, 6 Agustus 2024 membuat saya sangat terkesima.

Mungkin, penyediaan alat kontrasepsi dapat berfungsi sebagai alat peraga edukasi seksual, membantu remaja memahami konsekuensi dari aktivitas seksual. Akan tetapi, tanpa disertai dengan edukasi yang memadai tentang nilai-nilai moral, risiko, dan tanggung jawab, hal ini bisa saja ditafsirkan sebagai lampu hijau bagi remaja untuk melakukan aktivitas seksual.

Untuk itu, penting bagi pemerintah, pendidik, dan orang tua untuk bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang komprehensif mengenai seksualitas, yang tidak hanya fokus pada aspek biologis tetapi juga nilai-nilai moral dan etika.

Edukasi ini harus menekankan pentingnya menunda aktivitas seksual hingga setelah menikah, menghormati tubuh sendiri dan orang lain, serta memahami tanggung jawab dan konsekuensi dari tindakan mereka. Bukan malah menyediakan alat kontrasepsi untuk mereka yang akan mengundang mereka untuk mencoba menggunakannya.

Kesimpulan

Kebijakan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja merupakan isu kompleks yang memerlukan pendekatan yang hati-hati. Dari sudut pandang konservatif, kebijakan ini perlu dipertimbangkan ulang agar tidak memberikan pesan yang salah kepada remaja.

Perlindungan anak harus tetap menjadi prioritas utama, dan hal ini bisa dicapai melalui edukasi yang berbasis nilai-nilai moral dan etika, serta penguatan peran keluarga dan masyarakat dalam membimbing generasi muda.

Remaja adalah aset bangsa, dan masa depan mereka sangat bergantung pada nilai-nilai yang kita tanamkan sejak dini. Mari bersama-sama menjaga dan membimbing mereka menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang telah menjadi warisan budaya kita.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Catatan: 

Artikel ini disusun dengan mempertimbangkan pandangan konservatif dan pengalaman pribadi penulis dalam menangani isu ini lebih dari satu dekade yang lalu. Dengan terus mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, diharapkan kita dapat menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya dan bermoral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun