Saya mengunjungi makam Sultan Aji Muhammad Muslihuddin, sultan pertama yang dimakamkan di sini, serta makam-makam para sultan lainnya seperti Aji Muhammad Salehuddin, Aji Muhammad Sulaiman, dan Aji Muhammad Parikesit. Pemandu saya menjelaskan bahwa keberadaan kompleks makam ini mencerminkan upaya menyatukan makam keluarga kerajaan dalam satu lokasi.
Namun, ada beberapa pengecualian seperti makam Sultan Muhammad Alimuddin yang terletak di perbukitan Kampung Melayu Tenggarong dan makam Panglima Awang Lor di Kelurahan Sukarame. Meskipun terpisah, setiap makam tetap memiliki cerita dan sejarahnya sendiri yang menarik untuk dijelajahi.
Perjalanan saya berlanjut ke Kedaton Kutai Kartanegara, yang terletak tepat di belakang Museum Mulawarman. Kedaton ini adalah istana baru yang dibangun sebagai bagian dari upaya pemerintah setempat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai.
Bangunan Kedaton ini diresmikan menjelang Festival Keraton Nusantara III pada tahun 2002. Secara arsitektur, Kedaton ini mengadaptasi bentuk istana lama yang dibangun pada masa Sultan Aji Muhammad Alimuddin, tetapi dengan konstruksi beton modern.
Memasuki Kedaton, saya terkesan dengan aula besar di tengahnya yang digunakan untuk acara-acara resmi kesultanan. Singgasana berlapis emas dan patung Lembu Suana menjadi pusat perhatian di ruangan ini.
Lantai bawah tanah Kedaton menjadi ruangan pameran memorabilia peninggalan kesultanan, termasuk foto-foto para sultan dan busana khusus untuk tari ganjur. Ruangan ini memberikan gambaran lengkap tentang sejarah dan kebudayaan Kesultanan Kutai.
Tidak jauh dari Kedaton, saya mengunjungi Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin. Masjid bersejarah ini awalnya dibangun pada tahun 1874 oleh Sultan Sulaiman dan kemudian diperbesar oleh Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1930.
Masjid ini memiliki 16 tiang kayu ulin yang besar, yang awalnya digunakan untuk adat ritual permandian putra mahkota. Di dalam masjid, saya merasakan nuansa tradisional Kalimantan Timur yang kental, dengan atap tumpang tiga dan ventilasi beragam yang menghiasi bangunan.
Perjalanan sejarah saya di Tenggarong diakhiri dengan salat Dzuhur di Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin. Mengakhiri perjalanan ini, saya merasa sangat terhubung dengan sejarah dan budaya Kesultanan Kutai Kartanegara.