Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Berharga dari Kesederhanaan Hidup Seorang Perdana Menteri di Masa Lampau

25 Juni 2024   19:57 Diperbarui: 25 Juni 2024   20:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengunduran Diri yang Mulia

Pada tahun 1951, Mohammad Natsir mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Indonesia. Setelah pengunduran diri, Ibu Maria Ulfa memberi tahu bahwa ada dana taktis sisa yang seharusnya menjadi hak Perdana Menteri.

Dengan senyum tulus, Natsir menolak dan berkata, "Berikan ke koperasi karyawan." Tidak sepeser pun uang itu masuk ke kantongnya.

Setelah menyerahkan dana taktis, Natsir menyupir mobil dinasnya ke Istana Presiden, memarkirkannya di sana, dan bersiap pulang ke rumahnya di Jalan Jawa, Jakarta. Dengan berboncengan sepeda ontel bersama supirnya, ia kembali menjalani kehidupan sederhana di lorong-lorong Jakarta.

Hari-hari berikutnya, setelah dipenjara dan rumah serta harta disita, Natsir menjalani hidup tanpa memiliki apa-apa. Mantan Perdana Menteri dan Ketua Partai Masyumi ini hidup seperti gurunya, Haji Agus Salim, dengan pola hidup 'nomaden'. Ia berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, menyusuri jalanan becek dari satu rumah ke rumah lain.

Seorang sahabat yang merasa kasihan menjual rumahnya dengan 'harga teman' kepada Natsir, tetapi ia tidak mampu membelinya. Dengan kebaikan sahabatnya, ia diberi kesempatan untuk menyicil dalam beberapa tahun. Akhirnya, Natsir mengais pinjaman dari kawan-kawannya untuk membeli rumah di Jalan Blora.

Pelayanan Tanpa Pamrih

Suatu hari, seorang warga datang ke kantor Perdana Menteri Natsir mengadukan masalah tikar yang rusak dan bedug yang pecah di Masjid Kramat Sentiong. Sekretaris Perdana Menteri berkata, "Buat apa soal-soal begitu kamu bawa-bawa ke Perdana Menteri?"

Warga tersebut menjawab bahwa Pak Natsir mau menerima dan mau menyelesaikan masalah itu. Sekretaris merasa heran, "Perdana Menteri ngurusin bedug? Itu kan soal kecil," katanya.

Namun, Natsir yang ada di sana segera menjawab, "Bagi kita, tak ada soal besar atau soal kecil. Bedug pecah, itu mungkin soal kecil bagi kita, tapi bagi orang kampung, itu soal besar!" Dengan demikian, Natsir mengurusi masalah bedug dan tikar, dan segera menyelesaikannya.

Hidup Sederhana Meski Berjabatan Tinggi

Salah seorang peneliti dari Cornell University, Mc. T. Cahin, menyatakan bahwa Mohammad Natsir tidak tampak seperti seorang menteri pada umumnya. Jasnya bertambal, dan bajunya hanya ada dua stel yang sudah butut.

Haji Agus Salim pernah mengisahkan bahwa staf Natsir patungan untuk membelikan baju bagi Menteri Penerangan mereka. Kejadian ini terulang lagi saat Natsir memimpin Dewan Dakwah, menunjukkan konsistensi hidup sederhananya.

Episode mengontrak dan menumpang rumah berakhir ketika Pemerintah memberikan rumah di gang sempit di Jalan Jawa, Jakarta, sebagai 'rumah untuk Menteri Penerangan'. Puterinya, Sitti Muchliesah, menceritakan bahwa mereka mengisi rumah tersebut dengan perabot bekas. Meskipun sudah menjadi menteri, Natsir tetap hidup sederhana di gang sempit itu, sering menggunakan sepeda ontelnya untuk bepergian.

Pada tahun 1950, setelah melancarkan Mosi Integral, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri, jabatan tertinggi di Indonesia pada saat itu. Namun, menjadi orang nomor satu di Indonesia tidak membuatnya berubah menjadi glamor. Tidak ada mobil mewah atau gaya hidup berlebihan.

Sumber gambar: Koleksi Merza Gamal
Sumber gambar: Koleksi Merza Gamal

Rumahnya di Jalan Jawa dinilai tidak layak untuk seorang Perdana Menteri, sehingga ia pindah ke rumah dinas di Jalan Proklamasi, yang sebelumnya ditempati Soekarno. Meskipun tinggal di rumah dinas yang lebih layak, Natsir tetap tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

Anak-anaknya tetap naik sepeda tua untuk sekolah, dan istrinya tetap menghidangkan makanan sendiri tanpa bantuan banyak pelayan. Hingga akhir hayatnya, Natsir tetap hidup sederhana. Kesederhanaan ini menjadi simbol integritas dan keteladanan bagi para pemimpin negeri dan rakyatnya.

Saat Menteri Keuangan tak punya uang, Menteri mengontrak rumah, Wakil Presiden tak mampu membeli sepatu, kesederhanaan dan pengabdian mereka di masa lampau walau berkuasa namun tanpa pamrih menjadi nilai utama yang sepantasnya diteladani di jaman sekarang.

Pelajaran Berharga dari Kehidupan Natsir

Kisah hidup Mohammad Natsir menunjukkan bahwa jabatan tinggi dan kekuasaan tidak harus disertai dengan kemewahan. Keputusan Natsir untuk mengalihkan dana taktis kepada koperasi karyawan mencerminkan komitmennya terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Integritasnya adalah pelajaran berharga bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi.

Natsir menunjukkan bahwa menjadi pemimpin tidak berarti harus hidup dalam kemewahan. Kesederhanaan dalam kehidupannya mengajarkan kita bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak diukur dari materi, tetapi dari pengabdian dan kontribusi nyata kepada masyarakat. Pengorbanan pribadi yang besar dalam pengabdiannya menunjukkan bahwa pelayanan publik sejati adalah memberikan yang terbaik bagi rakyat.

Kisah Natsir yang mengurusi masalah tikar dan bedug di Masjid Kramat Sentiong mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus peduli terhadap hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele. Natsir memahami bahwa masalah kecil bagi pemerintah bisa menjadi masalah besar bagi masyarakat. Kepedulian dan perhatian terhadap detail adalah kualitas penting dalam kepemimpinan.

Teladan Bagi Pemimpin Masa Kini

Kisah hidup Mohammad Natsir adalah contoh yang harus diteladani oleh pemimpin masa kini. Nilai-nilai seperti integritas, kesederhanaan, dan pengabdian tanpa pamrih adalah fondasi penting bagi kepemimpinan yang efektif dan bermakna.

Harapannya, akan muncul kembali sosok-sosok pemimpin seperti Natsir di negeri ini yang mampu menginspirasi dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Mohammad Natsir adalah simbol kesederhanaan dan integritas dalam kepemimpinan. Melalui kisah hidupnya, kita belajar bahwa jabatan dan kekuasaan seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Semoga kisah ini menginspirasi kita semua untuk menjadi pemimpin yang lebih baik dan lebih peduli terhadap masyarakat, serta menumbuhkan kembali nilai-nilai kesederhanaan dan integritas dalam kehidupan kita.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun