Pada Jumat, 21 Juni 2024, saya berkesempatan mengikuti acara diskusi GagasRI episode 9 bertajuk "Pancasila Merajut Indonesia" yang diadakan di Studio 1 KompasTV.
Acara ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila dan bertujuan untuk membahas relevansi serta peran Pancasila dalam menjaga persatuan Indonesia di tengah dinamika zaman.
Meneguhkan Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa
Diskusi ini menampilkan Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, sebagai narasumber utama yang memberikan perspektif mendalam mengenai pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Dalam pidatonya, beliau menegaskan bahwa pengejawantahan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bukanlah tugas yang mudah. Hal ini karena Pancasila bukan sekadar semboyan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata oleh setiap warga negara Indonesia.
Kardinal Suharyo memaparkan dengan rinci visi Keuskupan Jakarta 2016-2026 yang berbunyi "100% Katolik, 100% Indonesia." Maksud dari visi ini adalah agar umat Katolik di Indonesia tidak hanya berkomitmen penuh terhadap ajaran agama mereka, tetapi juga turut aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain, mereka harus menjadi warga negara yang baik, yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan.
Beliau juga mengutip ajaran Paus Fransiskus tentang panggilan kesucian dalam dunia modern. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa keserakahan adalah berhala zaman ini, yang sering kali menjadi penghalang utama bagi kemajuan moral dan spiritual. Dalam konteks Indonesia, pesan ini sangat relevan mengingat negara ini masih berjuang melawan berbagai bentuk korupsi dan ketidakadilan sosial.
Paus Fransiskus menekankan bahwa untuk mencapai kesucian, setiap individu harus menghindari keserakahan dan materialisme yang berlebihan, serta fokus pada kebaikan dan keadilan. Kardinal Suharyo menambahkan bahwa nilai-nilai ini selaras dengan semangat Pancasila yang mendorong keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketika menjawab pertanyaan dari Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum UI, tentang perbedaan antara idealisme dan realitas di Indonesia, Kardinal Suharyo menggarisbawahi perbedaan antara harapan dan optimisme.
Harapan, menurut beliau, adalah sesuatu yang didasari oleh iman, memberikan kekuatan untuk terus berusaha meski dihadapkan pada tantangan. Sedangkan optimisme bisa berubah menjadi pesimisme jika harapan tidak tercapai. Ini adalah pengingat bahwa dalam membangun bangsa, kita harus memiliki keyakinan yang mendalam dan terus berusaha tanpa kenal lelah.
Cinta Tanah Air sebagai Manifestasi Iman
Habib Husein Ja'far Al Hadar, pendakwah muda yang juga menjadi panelis, menyampaikan bahwa nilai-nilai yang diungkapkan oleh Kardinal Suharyo juga sejalan dengan ajaran Islam. Beliau mengutip KH Muhammad Hasyim Asy'ari yang mengajarkan bahwa "Hubbul Wathan Minal Iman" (Cinta tanah air adalah bagian dari iman).
KH Hasyim Asy'ari, dengan semangat nasionalismenya, mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Ini menunjukkan bahwa cinta tanah air adalah nilai universal yang melampaui batas agama.
Menguatkan Persatuan dan Mengingat Sejarah
Kardinal Suharyo juga menekankan pentingnya mencintai tanah air dan merawat semangat cinta tanah air. Beliau mengingatkan pentingnya merawat ingatan bersama terkait peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, seperti Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi Kemerdekaan. Mengingat kembali peristiwa-peristiwa ini membantu memperkuat identitas nasional dan rasa persatuan.
Kebangkitan Nasional, yang merupakan titik awal dari kesadaran dan perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan, perlu dikenang dan dirayakan dengan penuh semangat. Ini termasuk mengenang jasa para pahlawan dan tokoh pergerakan nasional serta mengadakan kegiatan yang menumbuhkan semangat perjuangan dan kebersamaan.
Sumpah Pemuda, yang merupakan deklarasi persatuan dari pemuda-pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah, juga harus selalu diingat. Melalui Sumpah Pemuda, kita diingatkan akan komitmen pada satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, yaitu Indonesia.
Merawat ingatan tentang Sumpah Pemuda bisa dilakukan dengan mengadakan kegiatan yang mempromosikan persatuan dan kerukunan antar pemuda, seperti diskusi kebangsaan, lomba karya tulis, atau kegiatan sosial.
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 adalah puncak dari perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan. Peringatan Proklamasi Kemerdekaan harus dirayakan dengan penuh rasa syukur dan semangat untuk meneruskan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan dan kerja keras.
Refleksi dan Renungan
Mengikuti diskusi ini memberikan saya banyak wawasan dan refleksi tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat terus relevan dan menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa. Harapan yang didasari iman, cinta tanah air sebagai manifestasi iman, serta pentingnya merawat ingatan sejarah adalah pilar-pilar yang harus kita pegang teguh.
Pesan yang disampaikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo dan didukung oleh Habib Husein Ja'far Al Hadar menunjukkan bahwa nilai-nilai kebangsaan yang luhur adalah milik bersama, lintas agama dan budaya. Kedua tokoh agama ini mengajarkan bahwa cinta tanah air, semangat kebangsaan, dan komitmen terhadap keadilan sosial adalah fondasi yang kuat untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Semoga pesan-pesan yang disampaikan dalam acara ini dapat menjadi renungan bagi kita semua untuk terus bekerja keras mewujudkan Indonesia yang lebih baik, sejahtera, dan berkeadilan, sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045. Mari kita jadikan Pancasila sebagai panduan dalam setiap langkah kita, merajut Indonesia yang bersatu dalam keberagaman.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H