Sejak masa kecil saya, peringatan Hari Kartini seringkali diidentikkan dengan momen mengenakan kebaya dan mengadakan berbagai lomba kewanitaan di sekolah maupun kantor. Bahkan, tidak jarang terdapat lomba masak yang melibatkan partisipasi para bapak.
Namun, disayangkan bahwa semangat peringatan tersebut sering kali jauh dari esensi yang sebenarnya, yakni perjuangan dan idealisme yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini.
Banyak dari kita, bahkan di antara para perempuan yang turut serta dalam merayakan Hari Kartini, belum sepenuhnya mengenal sosok Kartini dan makna sebenarnya dari perjuangannya. Kartini, yang meninggalkan dunia dalam usia yang begitu muda, hanya 25 tahun, telah meninggalkan warisan berharga dalam perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia.
Kebanyakan orang hanya tahu Kartini dikenal karena Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang merupakan kumpulan surat-surat beliau kepada sahabat-sahabatnya di Belanda.
Pertanyaan mendasar muncul: Apakah para wanita yang memperingati Hari Kartini benar-benar memahami perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia? Apakah mereka memahami sepenuhnya apa yang dihadapi oleh wanita Indonesia lainnya selama dan setelah masa Kartini?
Tidak dapat disangkal bahwa Kartini telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan akses pendidikan. Namun, apakah peran dan kontribusinya sebanding dengan tokoh-tokoh lain yang mungkin kurang dikenal, tetapi memiliki dampak yang sama pentingnya dalam perjuangan emansipasi perempuan?
Misalnya, sejumlah tokoh perempuan lainnya seperti Dewi Sartika, Laksamana Hayati, atau Cut Nyak Dien mungkin tidak sepopuler Kartini, tetapi mereka juga merupakan bagian integral dari sejarah perjuangan emansipasi perempuan Indonesia. Mereka terlibat dalam berbagai bentuk perjuangan, dari memperjuangkan hak pendidikan hingga berjuang di medan perang untuk kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, pemahaman tentang perjuangan Kartini juga sering kali terbatas pada narasi yang dihasilkan oleh surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Belanda. Namun, sedikit yang menyadari bahwa Kartini juga memiliki dampak yang signifikan dalam mendorong terjemahan Al Quran ke dalam Bahasa Jawa oleh Kiai Sholeh.
Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah perayaan Hari Kartini mencerminkan sepenuhnya perjuangan emansipasi perempuan Indonesia menjadi semakin relevan. Apakah peringatan ini hanya sebatas perayaan kebudayaan yang tradisional, ataukah mencerminkan penghargaan yang mendalam terhadap perjuangan perempuan Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan?
Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momen untuk mengenang dan mengapresiasi perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan memperjuangkan pendidikan bagi mereka. Namun, sering kali peringatan tersebut hanya menjadi rutinitas seremonial yang kehilangan substansi dari pesan dan nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh Kartini.
Untuk mengembalikan makna sejati dari peringatan Hari Kartini, penting bagi kita semua untuk lebih mendalami dan memahami perjuangan dan visi Kartini. Selain itu, kita juga perlu mengenalkan Kartini secara lebih luas kepada masyarakat, terutama generasi muda, sehingga mereka dapat mengapresiasi warisan dan nilai-nilai yang ditinggalkan oleh salah satu pahlawan emansipasi perempuan Indonesia ini.
Kritik terhadap peringatan Hari Kartini dan pemilihan Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan memang pernah timbul, terutama setelah era Orde Baru di Indonesia. Beberapa argumen yang sering muncul antara lain:
- Kartini sebagai Simbol yang Tidak Mewakili Semua: Kritikus menyoroti bahwa Kartini, meskipun merupakan tokoh penting dalam perjuangan emansipasi perempuan, tidak mewakili semua aspek perjuangan perempuan di Indonesia. Ada banyak pejuang perempuan lain yang berkontribusi dalam berbagai bidang, termasuk di medan perang, dalam perjuangan politik, dan dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan. Oleh karena itu, memilih Kartini saja sebagai simbol emansipasi perempuan dianggap tidak adil bagi kontribusi beragam perempuan lainnya.
- Kartini dari Kelas Sosial yang Berbeda: Kritik juga muncul karena latar belakang Kartini yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa, sehingga mungkin sulit bagi banyak perempuan Indonesia pada masa itu untuk mengidentifikasi diri dengan Kartini. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah Kartini benar-benar mewakili aspirasi dan perjuangan semua perempuan Indonesia, terutama mereka yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda.
- Minimnya Representasi Terhadap Pejuang Perempuan Lain: Selama periode tertentu dalam sejarah Indonesia, ada minimnya representasi terhadap pejuang perempuan lain selain Kartini dalam narasi sejarah resmi. Hal ini dapat mengaburkan kontribusi dan peran penting perempuan lain dalam sejarah Indonesia. Pejuang-pejuang seperti Laksamana Hayati, Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahuhu, HR Rasuna Said, dan Dewi Sartika, yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia, sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang sebanding dengan Kartini.
Oleh karena itu, kritik ini menyoroti perlunya mengakui kontribusi dan perjuangan beragam perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan kemerdekaan bangsa. Banyaknya pejuang perempuan yang berperan dalam sejarah Indonesia menunjukkan pentingnya menggali lebih dalam dan memberikan apresiasi yang setara terhadap semua kontribusi mereka.
Meskipun peringatan Hari Kartini sering kali dipenuhi dengan seremoni yang kehilangan makna esensial dari perjuangan Kartini, kita memiliki kesempatan untuk mengubah paradigma tersebut.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang kontribusi Kartini dan pengakuan terhadap beragam pejuang perempuan lainnya, kita dapat merenungkan arti sejati dari emansipasi perempuan dan perjuangan untuk kesetaraan gender.
Kita dapat mengambil inspirasi dari Kartini dan para pejuang perempuan lainnya untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan, menghapus stigma, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pemberdayaan perempuan di semua bidang kehidupan. Dengan demikian, peringatan Hari Kartini dapat menjadi momentum untuk refleksi, pembelajaran, dan aksi menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua.
Mari kita tingkatkan kesadaran dan apresiasi kita terhadap perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia, tidak hanya pada tanggal 21 April, tetapi setiap hari, sebagai langkah menuju masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Semoga semangat perjuangan Kartini dan para pejuang perempuan lainnya terus menyala dalam hati kita dan menginspirasi perubahan positif dalam masyarakat kita.
Â
Penulis: Merza Gamal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H