Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1934, Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di lembaga pelatihan guru Permi di Padang selama empat tahun. Selama waktu ini, ia juga aktif sebagai jurnalis, menulis artikel yang mengkritik kolonialisme Belanda di jurnal kampus Raya.
Pada tahun 1938, Rasuna pindah ke Medan, tetapi kembali ke Padang setelah invasi Jepang ke Hindia Belanda. Meskipun demikian, keanggotaannya dalam organisasi pro-kemerdekaan Indonesia membuatnya ditangkap oleh pihak Jepang. Namun, ia dibebaskan beberapa saat kemudian karena pihak berwenang khawatir akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Pada tahun 1943, Rasuna bergabung dengan pasukan sukarelawan militer Giygun yang sangat nasionalis, yang didirikan oleh Jepang di Sumatra. Di dalam organisasi ini, dia membantu mendirikan bagian wanita yang dikenal sebagai Hahanokai.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Rasuna Said aktif bekerja dengan organisasi pro-republik. Pada tahun 1947, ia menjadi anggota senior dan kemudian ketua seksi perempuan Front Pertahanan Nasional (Fron Pertahanan Nasional). Selanjutnya, Rasuna bergabung dengan Volksfront, sebuah bagian dari Persatuan Perjuangan yang didirikan oleh Tan Malaka yang memiliki latar belakang nasionalis-komunis.
Namun, karena gesekan antara organisasi ini dan pemerintah daerah, Rasuna pernah menjadi tahanan rumah selama seminggu. Selain itu, Rasuna juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera (Dewan Perwakilan Sumatera) dan pada bulan Juli 1947 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif sementara.
Menjelang sidang keenam badan tersebut pada tahun 1949, ia diangkat menjadi anggota Panitia Kerja KNIP yang mewakili Sumatera.
Pada tahun 1950, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Karirnya terus menanjak ketika pada tahun 1959, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Indonesia (DPA), sebuah posisi yang dipegangnya hingga kematiannya di Jakarta pada tahun 1965.
Sebagai seorang Muslim yang taat, Rasuna Said secara aktif memperjuangkan hak-hak pendidikan dan politik perempuan, percaya bahwa keyakinan reformisnya memberikan dasar untuk advokasi bagi perempuan. Keyakinan agamanya meyakinkannya bahwa perempuan harus dididik. Ketika pindah ke Padang pada tahun 1931, Rasuna merasa kecewa karena perempuan dilarang mendapatkan pendidikan dan berpartisipasi dalam politik. Di sana, ia mendirikan sekolah dan membentuk bagian Permi khusus untuk perempuan dan anak perempuan.
Pada tahun 1933, Permi, yang didirikan oleh aktivis muda yang mendukung hak perempuan atas pendidikan agama, memiliki ribuan anggota perempuan. Berbeda dengan organisasi Islam lainnya, perempuan tidak dikesampingkan di bagian bawahan, melainkan memiliki peran kunci dalam kepemimpinan partai.
Meskipun Rasuna Said membela hukum pernikahan Islam, termasuk poligami, ia menyatakan bahwa masalah yang timbul bukanlah akibat dari hukum itu sendiri, melainkan dari permasalahan sosial dalam masyarakat.
Setelah berjuang dengan gigih selama bertahun-tahun, Rasuna Said meninggal di Jakarta pada tanggal 2 November 1965 akibat kanker payudara. Jenazahnya dihormati dengan pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, sebuah tempat yang menjadi tempat istirahat terakhir bagi para pahlawan bangsa.
Pengabdiannya yang luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan akhirnya diakui secara resmi oleh negara. Pada tanggal 13 November 1974, Presiden Suharto mengumumkan bahwa Rasuna Said secara resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Penghargaan ini menempatkannya sebagai wanita kesembilan yang menerima kehormatan tersebut, dan mengukuhkan posisinya dalam sejarah Indonesia.