Pada hari ini, tanggal 21 April, masyarakat merayakan Hari Kartini sebagai momen penting dalam sejarah kebangkitan dan emansipasi perempuan Indonesia. Sebagai bagian dari perayaan ini, kita mengenang salah satu pahlawan wanita Indonesia yang memiliki peran krusial dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia, yaitu H.R. Rasuna Said.
Di pusat bisnis utama Jakarta, terdapat salah satu jalan protokol, selain Jalan Jenderal Sudirman dan M.H. Thamrin, yaitu H.R. Rasuna Said. Berbeda dengan Jenderal Sudirman yang sudah umum menjadi jalan protokol di setiap kota di Indonesia, dan M.H. Thamrin yang merupakan tokoh dari Betawi (Jakarta dan sekitarnya), nama Rasuna Said tidak banyak digunakan sebagai jalan protokol di kota-ota besar Indonesia.
Banyak orang, yang meskipun setiap hari melewati jalan HR. Rasuna Said di daerah Kuningan Jakarta, tetapi tidak tahu siapa sebenarnya Rasuna Said tersebut. H.R. Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Meskipun mungkin banyak yang tidak tahu tentangnya, namun pengetahuan tentang siapa Rasuna Said dan peran pentingnya dalam sejarah Indonesia adalah sesuatu yang patut untuk dipahami.
Rasuna Said adalah seorang tokoh perempuan yang gigih dan berani dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia. Dia aktif dalam berbagai organisasi politik, termasuk menjadi anggota Partai Persatuan Islam (Permi) dan terlibat dalam gerakan nasionalis. Perjuangan dan dedikasinya membawa pengaruh besar dalam membentuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Rasuna Said terlahir dari keluarga yang taat beragama Islam. Karena pekerjaan ayahnya sering membawanya jauh dari rumah, Rasuna dibesarkan di rumah pamannya. Berbeda dengan saudara-saudaranya, Rasuna mengenyam pendidikan di sekolah agama, bukan sekolah sekuler. Kemudian, ia pindah ke Padang Panjang di mana ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Diniyah, yang mengintegrasikan pendidikan agama dan sekuler.
Pada tahun 1923, Rasuna menjadi asisten guru di sekolah putri Diniyah Putri yang baru didirikan, yang diasuh oleh Rahmah el Yunusiyah. Namun, tiga tahun kemudian, Rasuna kembali ke kampung halamannya setelah sekolah tersebut hancur akibat gempa. Yunusiyah meminta Rasuna mengundurkan diri karena mengajar mata pelajaran politik kepada siswa, yang dilarang olehnya.
Setelah kembali ke kampung halamannya, Rasuna belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait dengan aktivisme politik dan agama. Di sana, ia menghadiri pidato-pidato yang membahas nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia, yang kemungkinan besar memperkuat tekadnya dalam perjuangan kemerdekaan dan hak-hak perempuan.
Rasuna Said kemudian pindah ke Padang, tempat keberadaan Permi (Persatuan Umat Islam Indonesia) berpusat, di mana ia mendirikan sekolah khusus perempuan.
Pada tanggal 23 Oktober 1932, dalam rapat umum seksi perempuan Permi di Padang Panjang, Rasuna memberikan pidato publik yang berjudul "Langkah-Langkah Kemerdekaan Rakyat di Indonesia Raya." Dalam pidatonya, ia mengutuk kehancuran masyarakat dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kolonialisme serta menyatakan bahwa Al Quran mengutuk kolonialisme.
Beberapa minggu kemudian, dalam pidatonya di Payakumbuh, ia menegaskan kebijakan Permi untuk memperlakukan imperialisme sebagai musuh, dengan menyatakan bahwa Al-Quran menyebut imperialisme sebagai musuh Islam.
Pernyataannya ini mengakibatkan penangkapannya dan dakwaan atas tuduhan "menabur kebencian," menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang didakwa melakukan pelanggaran berbicara. Rasuna kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 15 bulan, yang membuatnya terkenal secara nasional karena persidangan dan hukumannya yang dipublikasikan secara luas.
Dia menggunakan persidangannya untuk menyuarakan tuntutan akan kemerdekaan dan berhasil menarik dukungan luas. Rasuna dipenjara di Semarang, Jawa Tengah, dan lebih dari seribu orang datang untuk menyaksikan saat kapal membawanya ke Pulau Jawa.