Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyusuri Dimensi Subyektif Waktu: Antara Keterikatan yang Pudar dan Loncatan Digitalisasi

16 Januari 2024   20:08 Diperbarui: 16 Januari 2024   21:49 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Ketika kita memasuki era digital yang dipenuhi dengan informasi seketika, media sosial, dan koneksi konstan, konsep waktu tampaknya mengalami transformasi tak terduga. Digitalisasi telah merambah ke setiap aspek kehidupan kita, mengubah cara kita memahami dan merasakan waktu.

Seiring loncatan digitalisasi yang tak kenal lelah, pengalaman waktu menjadi lebih subjektif daripada sebelumnya. Tanpa henti memeriksa ponsel cerdas, membaca berita di media sosial, dan terus-menerus terhubung secara daring, kita mungkin merasa terhubung tetapi, pada saat yang sama, terpisah dari aliran waktu konvensional.

Bagaimana perubahan ini memengaruhi persepsi waktu kita? Apakah digitalisasi membuat waktu semakin terfragmentasi atau malah mempercepat laju pengalaman waktu kita? Dalam mengejar informasi dengan kecepatan cahaya, apakah kita kehilangan sesuatu yang berharga dalam pengalaman waktu kita? Apakah kita benar-benar terhubung dengan orang di sekitar kita, ataukah kita hanya terikat dalam ruang digital yang tanpa batas?

Mari kita merenungkan apakah, dalam upaya untuk terus maju secara digital, kita kehilangan kekayaan dalam memahami, menghargai, dan menjalani waktu dengan penuh kesadaran.

Sementara dunia digital membawa manfaat luar biasa, mari kita selidiki apakah ada sesuatu yang hilang di tengah loncatan teknologi ini, dan apakah waktu benar-benar dapat diukur oleh detik dan like digital.

Pengalaman waktu kita, pada dasarnya, bersifat subyektif. Ia melibatkan perasaan peralihan, aliran pengalaman yang tak terputus. Waktu adalah proses berkelanjutan yang melekat pada eksistensi kita.

Sebelum era televisi, berita disampaikan melalui film pendek sebelum film utama dimulai. Mereka sering kali menampilkan gerakan yang tak terhindarkan atau perjalanan waktu ke rumah penonton dengan gemuruh terompet dan kekacauan seremonial lainnya. Citra bumi yang berputar muncul di layar dengan sorakan singa, diikuti oleh pernyataan yang menggetarkan, seolah-olah itu adalah pemikiran yang luar biasa: "WAKTU BERJALAN!"

Tanpa gemuruh dan sorak-sorai, kita tetap harus mengakui kenyataan ini sebagai kebenaran yang tak terhindarkan. "Waktu tidak menunggu siapa pun," seperti yang terdengar dalam lirik lagu yang lebih lembut, "Dia melewatimu seperti bunga di musim semi atau awan di langit."

Semoga contoh-contoh di atas dapat membangkitkan kesadaran kita akan kenyataan bahwa esensi waktu yang paling langsung dan nyata adalah perjalanan keberadaan yang terus menerus, tanpa putus.

Waktu mungkin tidak berhenti, tetapi pasti bisa melambat hingga merayap atau terbang sebelum kita menyadarinya. Bagaimana kita mengalami dimensi ini bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.

Variabilitas ini bergantung pada perubahan suasana hati dan minat kita. Artinya, pengalaman konkret kita terhadap waktu bersifat subjektif dan pribadi daripada bersifat bersamaan dan bersifat publik.

Misalnya ketika saya mengajar, di dalam ruang kelas, waktu tak terhindarkan terus berlalu, tetapi terkadang saya menyadari bahwa waktu berjalan dengan "lambat dan sangat lambat sampai akhir waktu yang tercatat" bagi beberapa siswa. Akan tetapi, waktu bisa terbang dengan cepat saat sepasang kekasih berpisah di stasiun kereta api, bandara, atau pelabuhan, berharap waktu bisa berhenti - membiarkan momen itu berlangsung selamanya.

Namun, itu adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Waktu terus berjalan. Sebaliknya, tiga menit di dalam ring tinju bisa terasa seperti selamanya, terutama ketika Anda berhadapan dengan lawan raksasa, atau seperti yang dialami seorang teman di sebuah pertunjukan - menemukan dirinya di ring dengan seekor kera!

Ini adalah ironi kehidupan bahwa kegiatan yang tidak kita sukai bisa terasa berlarut-larut, sementara peristiwa-peristiwa indah membuat waktu terasa berlalu tanpa disadari.

Hanya karakter waktu yang bersifat subjektif dan klasik inilah yang sepenuhnya diabaikan oleh konsep waktu terukur. Meskipun waktu terukur sepenuhnya mengabaikan variabilitas subjektif waktu seperti yang kita alami secara langsung, kita mengacu padanya sebagai waktu nyata dan objektif.

Versi waktu yang benar-benar abstrak dan objektif ini memecah aliran kontinu pengalaman langsung dan memisahkannya menjadi entitas yang murni dapat dibayangkan - dari mikro detik hingga milenia tak terbatas.

Pemahaman ini menuntut kemampuan untuk cukup sadar diri untuk fokus pada mentalitas kita yang berbeda dari pengalaman sederhana. Ketika kita menyepakati untuk bertemu di kelas pada pukul 10:00 pagi, itu akan tetap pada waktu yang ditentukan, tidak peduli suasana hati atau perbedaan suasana hati setiap individu.

Hal tersebut melampaui kegembiraan dan kebosanan subjektif kita. Ini menjadi penanda yang tetap pada keanehan pribadi, entah di dalam diri individu atau di antara banyak orang. Kepastian inilah yang saya maksudkan dengan "kita menghentikan arus yang tak terbendung" - perubahan terus-menerus - yang mencirikan indera waktu kita yang langsung.

Meskipun kita tidak dapat benar-benar kembali ke masa lalu, waktu berubah secara subjektif. Namun, secara objektif, kita membuatnya tetap. Meskipun sekejap setelah pukul 10:00 pagi berlalu, itu hilang selamanya, tetapi tidak hilang dari pikiran kita. Kita membawanya berkeliling dalam ingatan.

Pikiran kita memungkinkan kita untuk membawanya kembali atau untuk mengantisipasi waktu yang sama di masa depan. Dalam konteks ini, kita bisa mengatakan bahwa waktu telah berhenti - pukul 10:00 pagi, 16 Januari 2024, akan tetap abadi dalam ranah pengukuran matematis yang tidak tergantikan oleh waktu.

Meskipun kita mungkin memiliki pengalaman yang berbeda terhadap waktu, kita menciptakan kesatuan yang objektif dan bersamaan. Oleh karena itu, keberlanjutan ini memungkinkan kita untuk merencanakan dan bertemu secara teratur, meningkatkan kapasitas manusiawi kita untuk berkoordinasi sosial, bahkan jika itu tidak selalu sesuai dengan waktu subjektif.

Terdapat ketidakpastian yang jelas dalam cara kita membagi dan mengukur unit waktu. Apakah alam yang menentukan bahwa minggu harus terdiri dari tujuh hari? Ataukah alam yang menentukan bahwa satu dekade harus berlangsung selama sepuluh tahun?

Dalam perspektif mentalitas modern, jawabannya adalah bahwa unit-unit ini diciptakan oleh manusia, terutama oleh pikiran manusia. Setelah terbentuk dalam sejarah, mereka mengambil otoritas tradisi yang diterima tanpa ragu. Sangat penting untuk memahami bahwa tindakan kita terkait dengan waktu tidak melekat pada alam, tetapi pada kebudayaan dan sejarah sosial kita.

Indera objektif kita terhadap waktu terukur bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan seperti objek alam. Objek alam dikaitkan dengan rangsangan yang membangkitkan sensasi manusia. Sangat aneh untuk bertanya seperti apa tampilan, rasa, atau bunyi satu menit.

Menit adalah hasil kreasi manusia, tampak alami karena kita telah terbiasa berpikir dalam kerangka waktu ini sebagai bagian dari budaya kita.

Dan sebagai buatan manusia, pemisahan non-nyata ini bersifat analitis, suatu perbedaan buatan manusia. Dalam konteks ini, satuan waktu bukanlah perbedaan nyata; mereka murni mental dan buatan manusia.

Dalam mendekati pemahaman waktu, kita perlu memahami bahwa entitas abstrak dan analitis yang kita hasilkan dengan pikiran kita memiliki kualitas yang tidak dapat diubah.

Meskipun bersifat non-manusia dari perspektif sifat mereka, mereka hampir tidak sewenang-wenang secara sosial. Objek pikiran murni ini menjadi bagian dari realitas sosial yang diciptakan manusia dan, seiring waktu, dianggap sebagai sesuatu yang alami.

Meskipun mungkin hanya merupakan bagian sosial dari lingkungan kita, kita tidak menyadarinya sebagai anak kecil. Kebanyakan orang dewasa bahkan tidak dapat memahami pemisahan yang rumit ini.

Objek pikiran ini, ciptaan mental manusia yang dibuat oleh manusia namun terasa biasa, menjadi dialami sebagai sesuatu yang bukan manusia. Oleh karena itu, mereka mendapatkan sifat abadi dan dianggap nyata oleh masyarakat. Hanya karena manusia menciptakan sesuatu bukan berarti itu tidak nyata.

Fakta bahwa sesuatu itu diciptakan oleh masyarakat manusia menjadikannya nyata dalam realitas sosialnya. Realitas ini sangat berbeda dari realitas alam, tetapi kita sering menyamarkan perbedaan ini, khususnya dalam konteks waktu terukur, dengan menyajikannya seolah-olah itu adalah waktu yang objektif.

Objektivitas ini adalah pandangan yang sempit. Perasaan waktu yang langsung dan dinamis kita, yang tergantung pada suasana hati dan perbedaan interpersonal, disebut sebagai "subyektif," sementara waktu terukur dianggap sebagai waktu yang lebih "objektif."

Namun, untuk mendapatkan pengetahuan sistematis yang objektif, kita perlu memahami bahwa waktu subjektif dan waktu objektif adalah dua dimensi yang berbeda yang membentuk pengalaman waktu manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun