Kerinduan itu menyeruak lagi malam ini. Ya, kerinduan yang begitu menghunjam sanubari. Kerinduan yang rasanya tak akan bermuara lantaran sosok yang dirindu tak lagi nyata di dunia fana ini. Saat ini, hanya mampu menggali kembali ingatan tentang segala pikir, ucap dan tindak bijaknya semasa usia masih menyertainya.
Keheningan menyelimuti ruang tamu yang tenang. Hujan turun dengan gemerlap lampu yang menyentuh jendela, menciptakan suasana yang mendalam. Dalam keheningan itu, sebatang pena mulai merayap di atas kertas, merangkai kisah tentang kerinduan dan penyesalan yang selalu menghantui.
Kenangan tentang Ibu memenuhi setiap sudut pikiranku. Titik-titik bening membasahi pipi, mencerminkan perjalanan jiwa yang tak pernah sepenuhnya mengamalkan ajaran-Nya. Namun, di balik setiap goresan sesal, terbayang semangat hidup Ibu yang berkobar, membakar setiap jiwa yang menyaksikannya.
"Dulu, aku memandang Ibu sebagai orang yang keras, yang selalu ingin mencampuri urusan anaknya," kata-kata itu bergema di keheningan malam. Prasangka dan ketidakpahaman menciptakan kesenjangan antara anak dan ibu. Namun, kini, dengan pemahaman yang tumbuh, aku menyadari betapa hebatnya Ibu.
Pemahaman itu hanya menjadi kenangan tentang segala tetes air mata dan cucuran keringatnya yang tak menuntut balas. Atas segala pengorbanan dengan jiwa tulusnya, atas tauladan yang dilakukannya, atas kasih sayangnya yang seakan tak berbatas, kerinduan ini menggeliat.
Ibu, semoga Allah memperkenankanmu berada di tempat yang layak...
Dalam kebesaran karirnya, Ibu masih menemukan waktu untuk memikirkan, merawat, dan menyiapkan anak-anaknya. Rasa cinta yang begitu besar mendorongnya untuk melakukan segala sesuatu dengan tulus. Namun, dalam kehidupan yang sederhana ini, aku merasa kecil. Karirku yang biasa-biasa saja tak mampu menandingi dedikasi kehebatan Ibu.
"Maafkan aku Ibu, hingga hari-hari akhirmu pun aku tak sempat membalas kasih sayangmu," kata-kata permintaan maaf itu terucap dalam hati yang penuh penyesalan. "Semoga Allah menjagamu di sisi-Nya."
Pagi ini di "Hari Ibu", aku pun membawa rangkaian bunga segar ke makam Ibu. Setiap helai bunga adalah doa dan rasa syukur yang tak terucapkan. "Dalam setiap langkah hidupku, Ibu, aku merindukanmu. Terima kasih atas segala cinta dan pengorbananmu."
Peluk kasih Ibu terasa di setiap hembusan angin yang lembut. Hujan yang reda adalah simbol pembersihan dan harapan baru. "Peluklah aku Ibu, di balik waktu yang tak mungkin kembali. Semoga kenangan ini menjadi saksi cinta kita yang abadi."
Bacaan Al-Qur'an yang engkau ajarkan padaku bukan hanya kata-kata di atas kertas. Ia menjadi petunjuk dalam mengarungi kehidupan. Ayat-ayat itu menyulut semangat hidupmu yang berkobar, membakar jiwa-jiwa di sekitarmu. Lantas saja ayat-ayat itu seperti berkumandang, mengalun perlahan menelusup ke lubang telinga dan memenuhi rongga dada.
Engkau tak lewatkan sedetikpun untuk mendoakan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi anak-anak, menantu, cucu, hingga cicit-cicitmu.
Saat ini, di tengah ketidaksempurnaan hidupku, aku menyadari kehebatanmu, Ibu. Karirku mungkin tak setinggi milikmu, namun aku tak sanggup menyamai dedikasi dan perhatianmu. Maafkan aku Ibu, yang tak mampu membalas kasih sayangmu sepenuhnya.
Akhir kata:Â
Peluk Kasih Ibu di Balik Waktu yang Tak Mungkin Kembali adalah kisah yang merangkai kenangan dan harapan, diiringi oleh rindu yang teramat mendalam, menciptakan narasi yang menggugah dan penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H