Saat matahari perlahan turun ke arah Barat di langit Kota Pontianak, saya memutuskan untuk menapaki jejak sejarah kota ini dengan mengunjungi dua bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya. Dua landmark yang menjadi penanda berdirinya Kota Pontianak pada tahun 1771, yaitu: Keraton Kadriyah dan Masjid Jami.
Perjalanan dimulai dari pusat kota, dan dalam waktu 15 menit dengan mobil, saya tiba di Keraton Kadriyah. Bangunan megah ini, terbuat dari kayu belian yang kokoh, masih menjaga keindahannya meskipun telah berdiri lebih dari 300 tahun.
Saat melangkah masuk, nuansa sejarah seakan menyapa saya. Dari singgasana raja hingga genta yang dulu dipakai sebagai peringatan marabahaya, setiap elemen di dalam keraton mengisahkan kehidupan istana pada masa lalu.
Meskipun usianya sudah tua, kayu belian yang menjadi bahan utamanya masih tetap kokoh, menciptakan atmosfer khusus yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dari pelataran istana, langit mulai menyingsing dan menampilkan senja yang memukau di atas Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Meriam kuno dari Perancis dan Portugis dan genta sebagai sarana komunikasi di depan istana menambahkan nuansa klasik. Saya pun melangkah ke anjungan, tempat Sultan dulu beristirahat sambil menikmati keindahan alam sekitar.
Setelah mengelilingi dan menikmati setiap sudut Keraton Kadriyah, saya pun melanjutkan perjalanan ke Masjid Jami, yang terletak di tepi Sungai Kapuas. Saat memasuki halaman masjid, suasana hening seketika menyelimuti.
Masjid ini, yang juga dikenal sebagai Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, menyimpan kisah panjang yang bermula pada tahun 1771. Syarif Abdurrahman, pangeran dari Kerajaan Matan, melakukan perjalanan epik menyusuri sungai Kapuas dari Mempawah.
Dalam rombongan yang menaiki 14 perahu, pada 23 Oktober 1771, mereka tiba di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Inilah tempat di mana hutan dibuka, pemukiman didirikan, dan kerajaan baru Pontianak muncul dengan masjid dan istana yang menjadi simbol keberanian dan keimanan.
Saat senja melabuhkan diri, suasana sekitar Masjid Jami semakin hidup. Masyarakat lokal berkumpul menjelang waktu magrib, menunggu dengan sabar untuk melaksanakan sholat berjamaah. Suara adzan mengalun, menciptakan harmoni yang menyatu dengan kegiatan sehari-hari masyarakat setempat.
Dari pelataran masjid, saya memutuskan untuk merenungi keindahan senja di tepian Sungai Kapuas. Cahaya senja yang memantul di permukaan air sungai menciptakan gambaran yang tak terlupakan. Sisi kota Pontianak di seberang sungai terlihat indah dengan gemerlapan lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Berkunjung ke Pontianak tanpa singgah ke Keraton Kadriyah dan Masjid Jami rasanya seperti melewatkan sejarah yang hidup. Kedua bangunan ini, meskipun berbeda dalam fungsi dan arsitektur, bersatu padu mengisahkan perjalanan panjang Kota Pontianak.
Seiring matahari terbenam dan lampu-lampu kota mulai bersinar, saya merenung tentang keindahan dan kebijaksanaan para pendiri kota ini. Pontianak, sebuah kota yang tumbuh dari perjalanan dan persatuan, masih menjaga keagungan sejarahnya dalam setiap batasan Keraton Kadriyah dan doa yang mengalun di Masjid Jami.
Setiap kunjungan menjadi sebuah episode dalam buku hidup Kota Pontianak, yang tak pernah berhenti menawarkan keindahan dan kekayaan sejarahnya kepada para pengunjungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H