Saat itu, aku tak bisa mengabaikan panggilan kemanusiaan. Kusisihkan sebagian rizkiku untuknya. Saat menerima bantuan itu, matanya berkaca-kaca, dan doa yang terlontar dari bibirnya terasa seperti pencerahan di pagiku yang gelap. Ternyata, dalam sederhana itulah kita bisa menemukan kebesaran cinta.
Aku pun melanjutkan perjalanan menuju kantor, langkahku dipenuhi renungan. Kehidupan sederhana bapak tua itu, dengan segala keterbatasannya, mengajarkan bahwa cinta sejati tak selalu berkilau di atas panggung kehidupan.
Terkadang, ia berkembang di bawah jembatan penyeberangan, di tempat yang tak pernah terbayangkan. Dan dari sana, aku menyadari bahwa cinta sejati tak selalu memerlukan gemerlap.
Seringkali, kebesaran cinta terletak pada keberanian untuk tetap berjalan, terus membaca koran-koran bekas, meski sudah tak terbaca oleh banyak orang. Bapak tua itu, dengan sederhana, telah mengukir kisah cinta yang membuatku merenung, dan mungkin membuat orang lain juga ingin mengulurkan tangan pada cinta yang lebih sederhana dan tulus.
Aku meninggalkannya dengan perasaan haru, dan kisahnya terus membekas dalam pikiranku. "Sederet Doa di Halte yang Terlupakan," menjadi sebuah kenangan yang mengingatkan kehidupan sehari-hari yang sering kali terlupakan oleh kebisingan dunia.
Mungkin, di setiap halte yang terlewatkan, ada kisah cinta yang tak pernah terucap, namun selalu ada di sana, mengiringi langkah-langkah kita yang terburu-buru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI