Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, di era ketika koran-koran masih menjadi teman setia pagi-pagi di Jakarta, terjalinlah kisah yang sederhana namun penuh makna di bawah jembatan penyeberangan di tengah kota.
Saat itu, sebagai seorang manajer yunior di sebuah bank nasional, setiap pagi aku menyeberang jembatan dari tempat tinggalku menuju kantor di seberangnya. Di halte bus di bawah jembatan itu, aku sering melihat seorang bapak tua dengan barang-barang bekas yang selalu ia kumpulkan.
Botol plastik, kardus bekas, dan koran-koran usang membentuk latar belakang kesehariannya. Meski rumahnya berada di pinggiran kota Jakarta, semangatnya untuk pergi ke pusat kota Jakarta demi mencari rezeki tetap tak tergoyahkan.
Setiap pagi, duduk di halte bus, bapak tua itu tenggelam dalam dunia koran-koran bekas. Meski berita yang terpampang di halamannya sudah usang, namun matanya selalu berbinar membaca setiap kata dengan penuh antusias.
Suatu pagi, aku memutuskan untuk mendekatinya, ingin memahami lebih dalam kehidupan sederhananya yang penuh perjuangan.
Wajahnya yang bersahaja dan matanya yang penuh kearifan membuka pintu ke dalam kehidupannya. Kami berbincang sejenak, dan dalam percakapan ringan itu, aku menyadari bahwa keberadaannya tidak sekadar mengumpulkan barang bekas. Ia adalah pahlawan sejati yang setiap hari menembus kemacetan Jakarta untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
"Semua ini aku lakukan demi mereka," ucapnya dengan mata yang berkilat oleh kebulatan tekad. Sederet doa yang terhanyut lembut dari bibirnya menembus ruang antara kita, menyentuh hatiku dengan sentuhan keikhlasan yang meresapi ruang sekitarnya.
Saat itulah, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu membutuhkan panggung megah yang bersinar terang. Terkadang, keajaiban terbesar tersembunyi di belakang panggung kehidupan yang sering kali terlupakan. Sebagaimana peristiwa ini yang tersembunyi di balik punggung halte bus yang terlupakan.
Dengan hati-hati, aku menyodorkan sebagian rezekiku kepada bapak tua itu. Itu adalah bentuk penghargaan, sebuah pengakuan akan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan. Terima kasih yang terucap dari bibirnya bukan hanya kata-kata biasa; itu adalah syukur yang tulus dari hati yang telah merasakan getirnya hidup.
Saat itu, aku tak bisa mengabaikan panggilan kemanusiaan. Kusisihkan sebagian rizkiku untuknya. Saat menerima bantuan itu, matanya berkaca-kaca, dan doa yang terlontar dari bibirnya terasa seperti pencerahan di pagiku yang gelap. Ternyata, dalam sederhana itulah kita bisa menemukan kebesaran cinta.
Aku pun melanjutkan perjalanan menuju kantor, langkahku dipenuhi renungan. Kehidupan sederhana bapak tua itu, dengan segala keterbatasannya, mengajarkan bahwa cinta sejati tak selalu berkilau di atas panggung kehidupan.
Terkadang, ia berkembang di bawah jembatan penyeberangan, di tempat yang tak pernah terbayangkan. Dan dari sana, aku menyadari bahwa cinta sejati tak selalu memerlukan gemerlap.
Seringkali, kebesaran cinta terletak pada keberanian untuk tetap berjalan, terus membaca koran-koran bekas, meski sudah tak terbaca oleh banyak orang. Bapak tua itu, dengan sederhana, telah mengukir kisah cinta yang membuatku merenung, dan mungkin membuat orang lain juga ingin mengulurkan tangan pada cinta yang lebih sederhana dan tulus.
Aku meninggalkannya dengan perasaan haru, dan kisahnya terus membekas dalam pikiranku. "Sederet Doa di Halte yang Terlupakan," menjadi sebuah kenangan yang mengingatkan kehidupan sehari-hari yang sering kali terlupakan oleh kebisingan dunia.
Mungkin, di setiap halte yang terlewatkan, ada kisah cinta yang tak pernah terucap, namun selalu ada di sana, mengiringi langkah-langkah kita yang terburu-buru.