Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cinta Ayah Menyambung Kasih Papa

15 November 2023   06:31 Diperbarui: 15 November 2023   06:38 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja menuntaskan semua tugas check-in dan pengecekan bagasi, ponselku berbunyi. Layar memperlihatkan panggilan dari Ayah. Aku menjawab, "Assalaamulaikum, Ayah di mana?"

Suara Ayah terdengar, "Ayah di depan pintu keberangkatan, masih sempat bertemu Alif?"

Rindu padanya memenuhi diriku sejak semalam. Aku ingin dia yang melepas keberangkatan ini, tapi tugasnya tak bisa ditinggalkan karena penggantinya sedang sakit. Sebelum adzan subuh, aku meninggalkan rumah menuju Bandara, dibantu oleh sahabat dan tetangga masa kecilku menuju pool Damri jurusan Bandara di Blok M. Tempat tinggalku berada di Blok S.

Aku menjawab, "Ya, Ayah. Alif masih punya waktu satu jam sebelum masuk ruang tunggu dan pemeriksaan imigrasi. Tunggu sebentar, Alif akan menyusul Ayah."

Sejak SMP, kami tinggal berdua setelah kepergian Ibu akibat Kanker Rahim. Ayah, seorang Satpam di kawasan Blok M, sangat menyayangiku dan bersikeras tidak ingin menikah lagi. Ketika aku lulus SMA, aku pernah mengajukan pertanyaan itu padanya. Alasannya simpel: dia takut aku akan mendapat ibu tiri yang tak mencintai.

Saat itu, aku menyarankan Ayah menikah lagi. Aku sudah cukup dewasa untuk merawat diri sendiri, bahkan jika ibu tiriku hanya mencintai Ayah. Namun, Ayah tidak pernah mengambil saran itu serius dan terus bertahan sebagai duda.

Di luar bandara, di teras keberangkatan, Ayah menanti. Aku segera mendekat, dan pelukan erat mengikuti. "Ayah, Alif akan selalu merindukan Ayah. Semoga kuliah Alif lancar dan bisa pulang tepat waktu ke tanah air."

Ayah merespon pelukanku dengan tetesan air mata di pipi kami. Dia berbisik, "Baik-baik di negeri orang, belajarlah sungguh-sungguh. Ayah menantimu di sini."

Aku berjanji untuk tidak mengecewakan Ayah. Jika bukan karena Ayah, mustahil bagiku melanjutkan S2 ke Jepang dan mendapatkan beasiswa dari Lembaga Persahabatan Alumni Jepang-Indonesia.

Sejak kepergian Ibu, Ayah bekerja sendirian untuk membiayai pendidikanku dan hidup kami berdua dari gaji Satpamnya. Jika Ayah tidak dinas malam, dia akan menemaniku belajar dan memberiku semangat. Selain sekolah di pagi hari, Ayah juga mengajakku belajar agama di sebuah madrasah sore hari.

Ayah, seorang Satpam dengan gaji UMR, tidak seperti Satpam di perusahaan besar atau bank. Namun, gajinya cukup untuk membiayai hidup kami dan mendukung pendidikanku.

Ketika masuk semester terakhir di SMA, aku berbicara pada Ayah bahwa aku akan bekerja untuk membantunya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan, tapi dia merespons dengan bijaksana, "Ayah ingin Alif kuliah. Ayah sudah memiliki tabungan untuk biaya masuk dan akan berusaha mendapatkan uang semester. Pasti Ibu di surga bangga melihat anaknya berhasil."

Beruntungnya, aku terpilih melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri di bidang Matematika di Fakultas MIPA sebuah PTN terkemuka di Jakarta. Biaya kuliahku tidak seharga jalur mandiri PTN atau universitas swasta.

Sejak SMP, aku sering mewakili sekolah dalam berbagai olimpiade, khususnya Olimpiade Matematika. Hal yang sama berlanjut di SMA, hingga saat kuliah di mana aku aktif dalam berbagai perlombaan dan penelitian di bidang sains dan matematika.

Pada semester terakhir, aku mengikuti berbagai tes untuk mendapatkan beasiswa S2 sesuai arahan dosen pembimbing dan fakultas. Akhirnya, setelah lulus dan meraih gelar S1, aku berangkat ke Jepang untuk matrikulasi dan kursus Bahasa selama 1 sampai 1,5 tahun sebelum kuliah di bidang Matematika Lanjutan selama 4 semester di universitas ternama di sana.

"Ayah, jaga dirimu baik-baik. Alif paling cepat pulang dalam 4 tahun jika lulus tepat waktu. Jangan terlalu berlebihan bekerja. Semoga Alif bisa membantu keuangan Ayah tanpa Ayah harus kembali menjadi Satpam," kataku, memeluk Ayah saat kami berada di luar bandara.

"Ayah akan baik-baik saja di sini, menunggu kelulusanmu dari Jepang," jawab Ayah, melepaskan pelukan dan menyeka airmatanya.

Aku merasa berhutang budi padanya. Aku tidak akan menyia-nyiakan harapannya dengan beasiswa dan biaya hidupku selama studi di Jepang. Aku berharap bisa hidup hemat di sana dan bekerja sebagai pelayan di luar jam kuliah untuk mengirimkan uang kepada Ayah. Ayah sudah mulai menua, usianya sudah lebih dari 45 tahun, tidak cocok lagi menjadi Satpam yang sering dinas malam.

Sebenarnya, Ayah bukanlah ayah kandungku. Ayah kandungku meninggal saat aku masih bayi karena kecelakaan. Ayah adalah sahabat Papa yang juga bekerja sebagai Satpam di kantor yang sama. Saat Papa kritis setelah kecelakaan motor di Blok M Plaza, dia berpesan pada Ayah untuk menjaga istri dan anaknya yang belum genap dua tahun, yaitu aku.

Setahun setelah Papa meninggal, Ayah yang masih bujangan menikahi Ibu dan membesarku seolah anak kandungnya. Ibu hamil satu kali dan keguguran setelah itu. Kesehatan Ibu memburuk, dan Ayah dan Ibu menganggapnya sebagai masalah menstruasi biasa.

Ketika aku berusia sepuluh tahun, sakit Ibu semakin sering. Dibawa ke Puskesmas, Ibu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah. Ternyata, sakit perut yang diderita Ibu adalah tumor ganas. Hasil pemeriksaan lanjutan di Rumah Sakit Kanker Dharmais mengkonfirmasi bahwa itu adalah kanker.

Dua tahun setelah Ibu diketahui menderita kanker, Ibu meninggal dunia. Tinggallah kami berdua, Ayah dan aku. Ayah tetap menolak menikah lagi dan tidak ingin aku kehilangan kasih sayangnya. Waktu terus berjalan, aku tumbuh besar. Ketika Ibu meninggal, aku baru saja menyelesaikan SD dan melangkah ke SMP. Ayah selalu memastikan kebutuhanku terpenuhi dan mendidikku dengan baik, hingga aku menyelesaikan SMA dan akhirnya meraih gelar S1.

Keberuntungan dan nasib baik menyertai. Aku dapat kuliah di PTN terkemuka di Indonesia melalui jalur undangan. Sebelum meraih gelar, aku juga diterima untuk melanjutkan studi di universitas terkenal di Jepang. Ayah, seorang Satpam, memang memiliki pemikiran luar biasa yang tidak kalah dengan teman-teman kuliahku dari keluarga berada. Aku bahkan dapat menambah penghasilan keluarga dari les-les yang kuberikan kepada pelajar SD hingga SMA.

Namun, beban tanggung jawab Ayah tetap besar. Dia tidak ingin berhenti bekerja dan menolak membuatku mencari uang untuk hidup kami. Uang dari les-les itu sebagian besar aku tabung dan transfer ke rekening tabungan gaji Ayah, meski awalnya Ayah menolak.

Aku berkata, "Simpan saja, Ayah, hingga Alif butuh. Jika disimpan bersama Alif, takutnya habis begitu saja, dan saat dibutuhkan, uangnya sudah tidak ada."

Akhirnya, Ayah menerima alasan itu, dan uang tidak kembali ke rekeningku.

Waktu telah menunjukkan bahwa aku harus masuk ruang tunggu dan menjalani pemeriksaan imigrasi sebelum keberangkatan. Aku mengucapkan selamat tinggal pada Ayah, dan dia memelukku erat lagi, sambil berbisik, "Doa Ayah menyertaimu. Ibu dan Papa pasti bangga melihatmu sukses."

Aku melepaskan pelukan Ayah dan masuk ke ruang tunggu. Panggilan untuk boarding terdengar, dan aku menyeka air mata yang terus mengalir. Aku melangkah maju ke proses pemeriksaan sebelum naik pesawat. Dan, aku pun terbang ke Narita.....

Penulis: Merza Gamal (Kakek Merza, Pensiunan Gaul Banyak Acara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun