Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Kisah Mengharukan: Aku Menangis untuk Adikku

29 Oktober 2023   08:44 Diperbarui: 29 Oktober 2023   08:48 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Ilustrasi, sumber gambar: Dokumentasi keluarga Merza Gamal

Sebuah kisah dari negeri sakura yang diterjemahkan dan disusun ulang dari "I Cried for My Brother Six Times" yang mungkin dapat kita petik hikmahnya sebagai cermin dalam kehidupan. Sebaiknya sebelum membaca kisah di bawah ini, sediakan dulu sapu tangan Anda. Selamat membaca dan mengambil hikmahnya.

Aku Menangis untuk Adikku

Aku lahir di dusun terpencil di lereng pegunungan. Orangtuaku bekerja keras membajak tanah kering berwarna kuning, punggung mereka selalu melawan langit biru. Aku adalah anak sulung dari keluarga kami, dengan adik yang tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu hari, ketika keinginanku untuk memiliki sebuah sapu tangan yang sedang menjadi tren di kalangan gadis-gadis di sekitarku, aku tergoda untuk mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Keputusanku itu segera terbongkar, dan ayah mengambil langkah tegas. Dia membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, memegang tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" tanya ayah. Aku terdiam, terlalu takut untuk berbicara. Tanpa pengakuan, ayah dengan marah mengumumkan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua akan menerima hukuman yang pantas!"

Tongkat bambu itu diangkat tinggi-tinggi, siap menjatuhkan hukuman. Namun, tiba-tiba, adikku dengan penuh keberanian mencengkram tangan ayah dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat itu turun dengan kejam, menghantam punggung adikku berkali-kali, hingga ia hampir kehilangan nafas. Ayah marah, dan kata-kata kerasnya tak henti-henti, "Kamu belajar mencuri di rumah sekarang, dan kamu memalukan keluarga kita! Bagaimana mungkin kamu menjadi seorang pencuri yang tak tahu malu?"

Baca juga: Ibuku Penarik Ojek

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dengan erat. Tubuhnya penuh luka, tapi ia tidak menitikkan air mata sedikit pun. Saat malam tiba, aku mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangannya yang kecil, mengatakan, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Rasa bersalahku tak kunjung hilang, karena aku tidak cukup berani untuk mengaku. Insiden itu terus menghantuiku sebagai kenangan yang tak pernah pudar. Aku takkan pernah melupakan bagaimana adikku telah melindungiku. Waktu itu, adikku berusia delapan tahun dan aku sebelas tahun.

Ketika adikku memasuki tahun terakhir SMP-nya, ia berhasil lulus ujian dan diterima di SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke universitas propinsi.

Malam itu, ayah duduk di luar rumah, menghisap rokok tembakau dan bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya bergumam, "Anak-anak kita berdua telah memberikan hasil yang sangat baik. Hasil yang sangat baik." Ibu menghapus air mata yang mengalir dan menghela nafas, "Tapi bagaimana kita bisa membiayai keduanya?"

Adikku mendekat dan berkata, "Ayah, saya tidak ingin melanjutkan sekolah lagi, saya sudah belajar banyak." Ayah dengan cepat menegurnya dan menggebraknya, "Mengapa kamu begitu lemah? Meskipun aku harus mengemis di jalanan, aku akan memastikan kamu berdua menyelesaikan pendidikan kalian!" Ia kemudian menjalani perjalanan ke seluruh dusun, meminjam uang demi masa depan kami.

Aku meraih tangan adikku dengan lembut dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus menyelesaikan sekolahnya. Tanpa pendidikan, kita tidak akan pernah bisa keluar dari kemiskinan ini. Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak melanjutkan ke universitas."

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, adikku pergi. Ia meninggalkan beberapa helai pakaian lusuh dan beberapa kacang yang sudah mengering. Ia meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, dengan kata-kata, "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari pekerjaan dan mengirimkan uang kepadamu." Aku memegang kertas itu dan menangis sejadi-jadinya. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun dan aku 20.

Beberapa tahun kemudian, dengan uang yang ayah pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari pekerjaan kerasnya di lokasi konstruksi, akhirnya aku bisa mencapai tahun ketiga di universitas.

Suatu hari, ketika sedang belajar di kamarku, teman sekamarku masuk dengan berita, "Ada seseorang dari dusun menunggumu di luar." Aku bergegas pergi dan melihat adikku dari kejauhan, tubuhnya penuh dengan debu semen dan pasir. Aku bertanya, "Mengapa kamu tidak mengatakan pada teman sekamarku bahwa kamu adalah adikku?" Dia tersenyum dan menjawab, "Lihat penampilanku. Apakah mereka tidak akan menertawakanmu jika tahu bahwa aku adalah adikmu? Aku tidak perduli, tapi aku tidak ingin mereka mengejekmu."

Aku merasa tersentuh dan air mata pun mengalir. Aku menghapus debu-debu dari tubuh adikku dan berkata, "Tidak perduli apa kata mereka, kamu adalah adikku, dan aku bangga padamu, tak peduli penampilanmu."

Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut kupu-kupu. Ia memakainya padaku dan mengatakan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tak bisa menahan air mata dan menarik adikku ke dalam pelukanku, menangis. Tahun itu, ia berusia 20 dan aku 23.

Ketika aku menikah dan tinggal di kota, seringkali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk tinggal bersama kami, tapi mereka selalu menolak. Mereka berkata, setelah meninggalkan dusun, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan di kota. Adikku pun tidak setuju. Ia berkata, "Kak, kamu harus menjaga mertuamu. Aku akan merawat ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur di pabriknya, dan kami mencoba untuk memberikan adikku pekerjaan sebagai manajer di departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran itu. Ia lebih memilih menjadi pekerja pemeliharaan biasa.

Suatu hari, ketika sedang bekerja di atas tangga untuk memperbaiki kabel, adikku mendapat sengatan listrik dan harus masuk rumah sakit. Suami dan aku datang menjenguknya. Melihat gips putih yang melingkari kakinya, aku mengeluh, "Mengapa kamu tidak menerima tawaran menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah melakukan pekerjaan berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu serius. Mengapa kamu tidak mendengarkan kami sebelumnya?"

Namun, adikku dengan tegas membela pilihannya, "Pikirkan suamimu yang baru menjadi direktur dan aku yang hampir tidak berpendidikan. Jika aku menerima tawaran itu, apa yang akan dikatakan orang tentangmu?"

Mata suamiku berkaca-kaca, dan aku dengan susah payah mengucapkan, "Tapi kamu tidak memiliki pendidikan karena aku!" Lalu adikku berkata, "Mengapa kita membicarakan masa lalu?" Ia meraih tangan saya. Tahun itu, adikku berusia 26 dan aku 29.

Adikku menginjak usia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun kami. Dalam pesta pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"

Dengan tulus, adikku menjawab, "Kakak saya." Ia menceritakan sebuah kisah yang bahkan aku lupa. "Ketika saya pergi ke SD, sekolah kami berada di dusun yang berbeda. Setiap hari, kakak dan saya harus berjalan dua jam pergi ke sekolah dan dua jam lagi untuk pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan salah satu sarung tangan saya. Kakak memberikan salah satu dari miliknya, padahal dia hanya memakai satu sarung tangan dan berjalan sejauh itu dengan satu tangan terbuka di cuaca yang begitu dingin. Sejak saat itu, saya berjanji, selama saya hidup, saya akan menjaga kakakku dan berbuat baik padanya."

Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Semua tamu memandangku. Air mata tak terbendung keluar dari mataku, dan dengan susah payah aku mengucapkan, "Orang yang paling aku berterima kasih dalam hidupku adalah adikku."

Photo ilustrasi, sumber gambar: Dokumentasi Keluarga Merza Gamal
Photo ilustrasi, sumber gambar: Dokumentasi Keluarga Merza Gamal

Cerita ini mengingatkan kita akan pentingnya cinta, pengorbanan, dan kesetiaan dalam keluarga. Ketika kita saling mendukung dalam keluarga, kita tidak hanya memperkuat hubungan satu sama lain, tetapi juga melahirkan keberanian dalam diri kita. Dengan cinta dan keberanian, kita dapat menghadapi rintangan hidup apa pun dan berkembang dengan harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun